Thursday, December 31, 2009

Semarak Dakwah di Dunia Maya


Suatu hal yang sangat menggembirakan kami ketika mengetahui bahwa banyak dari para ustadz yang ikut ngeblog. Baru-baru ini, ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi ikut meramaikan dakwah di dunia maya melalui blongnya www.abiubaidah.com. Bagi pembaca Majalah Al-Furqon (Gresik), kami yakin tentu Anda sudah tidak asing lagi dengan beliau. Selain beliau, beberapa ustadz sudah lama memiliki blog, sebut saja:
www.media-ilmu.com yang diasuh ustadz Zainal Abidin
www.abuhaidar.web.id yang diasuh oleh ustadz Abu Haidar
www.ustadzkholid.com yang diasuh oleh ustadz Kholid Syamhudi
www.ustadzaris.com yang diasuh oleh ustadz Aris Munandar
www.abuzubair.net blog ustadz Abu Zubair
www.rumayshoh.com yang diampu oleh ustadz Muhammad Abduh
www.abumushlih.com yang diampu oleh ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi
http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com yang diasuh oleh ustadz Abdullah Roy
http://basweidan.wordpress.com yang diampu oleh ustadz Basweidan
http://abu0dihyah.wordpress.com yang diampu oleh ustadz Marwan
http://addariny.wordpress.com yang diampu oleh ustadz Musyaffa Ad-Dariny
http://abusalma.wordpress.com, blog Ustadz Abu Salma
http://noorakhmad.blogspot.com, milik ustadz Abu Ali
Ada yang ingin menambahi?

10 Kerusakan Dalam Perayaan Tahun Baru


Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id



[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.

Tuesday, December 29, 2009

Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengkafiran dan Sebagian Ciri-Ciri Khawarij (3)

Tulisan berikut ini adalah lanjutan fatwa para ulama tentang masalah Takfir dan Ciri-ciri khawarij. Insya Allah pada kesempatan ini, akan kami ketengahkan keterangan dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani serta beberapa komentar dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin terhadap perkataan Syaikh Al Albani rahimahumallah.
***
Jawaban dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Tanya: Syaikh yang terhormat, tidak asing bagi anda, tentang banyaknya kelompok dan jamaah-jamaah sesat di Afghanistan pada waktu itu, yang sangat disayangkan berhasil menebarkan ideologinya yang menyimpang dari manhaj salafushsholeh kepada para pemuda salafy yang berjihad di Afghanistan, di antara pemikiran-pemikiran itu adalah pengafiran pemerintah, dan menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang telah ditinggalkan seperti penculikan, sebagaimana yang mereka dakwakan dan sekarang ini setelah para pemuda salafy, kembali ke negara mereka masing-masing setelah berjihad, sebagian mereka menyebarkan pemikiran dan syubhat tersebut di masyarakat mereka, dan kami telah mengetahui bahwa telah terjadi diskusi panjang antara anda dan salah seorang ikhwan seputar masalah pengafiran, dan karena jeleknya rekaman diskusi tersebut, kami mengharap penjelasan dari anda seputar masalah ini, wa jazakumullahu khairan.
Jawab: Segala puji hanya milik Allah, kami memuji, meminta pertolongan dan ampunan-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejelekan diri dan perbuatan kami, barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk, saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma ba’du:
Sebenarnya masalah takfir bukan hanya tertuju pada pemerintah saja, akan tetapi ditujukan kepada seluruh rakyat juga, pengafiran adalah fitnah lama yang dipelopori oleh salah satu kelompok lama yang menisbatkan dirinya kepada islam, yang dikenal dengan khawarij. khawarij memiliki beberapa aliran, semuanya disebutkan dalam buku-buku yang membahas tentang aliran-aliran islam, sebagian mereka masih ada hingga hari ini, dengan menggunakan nama lain, yaitu “Ibadhiyah”. Orang-orang Ibadhiyah, hingga beberapa kurun waktu yang lalu, sangat eksklusif, mereka tidak memiliki kegiatan dakwah seperti yang terjadi sekarang ini. Beberapa tahun yang lalu, mereka mulai bergerak dalam dakwah dan menyebarkan beberapa risalah (tulisan singkat), dan sejumlah ideologi yang merupakan ideologi orang-orang khawarij terdahulu. Akan tetapi mereka itu bertopeng dengan perangai syi’ah yaitu taqiyyah (menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada pada hati mereka -pent). Mereka mengatakan: kami bukanlah orang khawarij, tapi anda sekalian telah mengetahui bahwa nama itu sama sekali tidak dapat mengubah hakikat sesuatu, mereka itu memiliki kesamaan dengan orang-orang khawarij dalam pengafiran pelaku dosa besar. Dan sekarang ini ideologi khawarij ada pada sebagian kelompok yang memiliki kesamaan dengan dakwah yang benar (Ahlus Sunnah), yaitu dalam mengikuti Al-Qur’an dan As Sunnah, dan menurut pemahaman para sahabat, sebabnya kembali kepada dua hal:
Pertama, dangkalnya ilmu dan pemahaman mereka tentang agama.
Kedua, – dan ini penting sekali-: Mereka itu tidak mempelajari kaidah-kaidah syariat, yang merupakan fondasi bagi dakwah islamiah yang benar. Kaidah-kaidah bila diselisihi oleh seseorang, ia dianggap sebagai salah satu kelompok yang menyimpang dari Al Jama’ah yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits, dan bahkan disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan dijelaskan bahwa orang yang keluar darinya adalah pembangkang Allah dan Rasul-Nya, yang saya maksud adalah firman Allah ta’ala:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalannya kaum mukminin maka Kami palingkan dia ke mana dia berpaling dan akan Kami masukkan ke dalam neraka jahanam, dan jahanam itu sejelek-jeleknya tempat kembali.” (Qs. An-Nisaa: 115)
Dalam ayat ini Allah tidak cukup (disebabkan hal yang sangat jelas menurut para ulama’) hanya dengan berfirman: “Barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk” tapi menambahnya dengan “dan dia mengikuti selain jalannya kaum mukminin.”
Dengan demikian, mengikuti jalan kaum mukminin atau tidak mengikutinya, adalah suatu perkara penting sekali, barang siapa mengikuti jalan kaum mukminin maka dialah yang akan selamat di sisi Allah, dan barang siapa yang menyelisihi jalan mereka, maka balasannya adalah neraka dan itu adalah sejelek-jelek tempat kembali. Dari sinilah banyak komplotan-komplotan yang sesat, baik pada zaman dahulu atau sekarang, dikarenakan mereka tidak komitmen dengan jalan kaum mukminin, mereka mengandalkan akal pikirannya sendiri, menuruti hawa nafsu dalam menafsirkan Al Quran dan As Sunnah, kemudian mereka membuat kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan karenanya mereka keluar dari metode salafushsholeh. Penggalan ayat berikut ini:
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan mereka mengikuti selain jalannya kaum mukminin”, sangat ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits. Hadits-hadits yang saya isyaratkan sekarang ini (dan akan saya sebutkan sebagian yang saya ingat), bukanlah hal yang asing bagi kaum muslimin secara umum, terlebih-lebih bagi para ulama. Akan tetapi yang mungkin masih asing bagi mereka adalah bahwa hadits-hadits ini menunjukkan akan kewajiban untuk komitmen dengan jalan kaum mukminin dalam memahami Al Quran dan As Sunnah. Perkara ini banyak dilalaikan oleh kebanyakan ulama, terlebih-lebih mereka yang dikenal dengan komplotan “Jama’ah Takfir”, atau sebagian komplotan yang menisbatkan dirinya kepada “jihad”, padahal pada hakikatnya mereka adalah sempalan “Jama’ah Takfir”. Mungkin saja niat yang ada dalam hati mereka adalah baik dan ikhlas, akan tetapi sekedar niat baik, tidak cukup untuk menjadikan pelakunya termasuk dari orang-orang yang selamat dan berbahagia di sisi Allah, karena setiap orang mukmin harus memiliki dua hal: Keikhlasan dan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian tidak cukup bagi seorang mukmin hanya ikhlas dalam niat dan bersungguh-sungguh ketika beramal dengan Al Quran dan As Sunnah serta berdakwah kepada keduanya, akan tetapi ia harus selalu komitmen di atas metode yang benar, lurus dan selamat.
Di antara hadits-hadits yang sudah diketahui bersama, yang saya isyaratkan tadi, adalah hadits perpecahan umat menjadi 73 golongan, yaitu sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة فواحدة في الجنة وسبعون في النار وافترقت النصارى على ثنتين وسبعين فرقة فإحدى وسبعون في النار وواحدة في الجنة، والذي نفس محمد بيده لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة واحدة في الجنة وثنتان وسبعون في النار. قيل: يا رسول الله من هم؟ قال: الجماعة، وفي رواية : ما أنا عليه وأصحاببي.
“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, satu golongan masuk surga dan tujuh puluh golongan lainnya masuk neraka, dan Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, tujuh puluh satu golongan masuk neraka, dan satu golongan masuk surga, dan Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, umatku sungguh akan terpecah menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga dan tujuh puluh dua golongan lainnya masuk neraka. Dikatakan kepada beliau: ‘Siapakah mereka (golongan yang masuk surga) itu ya Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Al-Jama’ah’.” (HR. Ibnu Majah, no: 3992, dan disahihkan oleh Al Albani dalam kitab Silsilah As Shohihah no: 203) dan dalam riwayat lain: “Agama yang aku dan sahabatku jalani.” (HR. Ahmad, no: 11798, dan Ibnu Majah, no: 3993, dan At Tirmizi no: 2641)
Kita dapatkan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut sangat sesuai dengan ayat di atas:
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan mengikuti selain jalan kaum mukminin”, orang pertama yang tergolong ke dalam keumuman ayat ini adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tidak hanya bersabda: “Agama yang aku dan sahabatku jalani”, seandainya beliau hanya berhenti hingga di sini, mungkin sudah cukup bagi seorang muslim yang benar-benar memahami Al Quran dan As Sunnah, akan tetapi beliau benar-benar merealisasikan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dengan orang-orang mukmin (beliau) sangat pengasih lagi penyayang.” (Qs. At-Taubah: 128), di antara tanda kesempurnaan kasih sayang beliau terhadap sahabat dan pengikut beliau: Beliau menjelaskan untuk mereka tanda-tanda golongan yang selamat, yaitu apabila mereka komitmen (berpegang teguh) dengan ajaran agama yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dijalani oleh para sahabatnya setelah beliau. Dengan demikian, maka tidak boleh bagi kaum muslimin secara umum, dan para da’i, dalam memahami Al Quran dan Sunnah hanya berdasarkan kepada ilmu-ilmu alat belaka, seperti: bahasa Arab, nasikh wal mansukh (yang menghapus dan yang dihapus) dan selainnya, bahkan harus mengacu kepada pemahaman para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka (sebagaimana telah terbukti melalui perjalanan hidup dan sejarah mereka) lebih ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam beribadah, lebih paham terhadap Al Quran dan As Sunnah dibanding kita, dan masih banyak kelebihan yang mereka miliki.
Hadits ini bila ditinjau dari kandungannya, semakna dengan hadits khulafa’urasyidin yang disebutkan dalam kitab Sunan, yang diriwayatkan oleh Al-’Irbadh bin Sariyah radhiAllahu ‘anhu, ia berkata:
وعظنا رسول الله  موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون، فقلنا: كأنها موعظة مودع، فأوصنا يا رسول الله، فقال: عليكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا، وسترون بعدي اختلافا شديدا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، عضوا عليها بالنواجذ، وإياكم والأمور المحدثات فإن كل بدعة ضلالة.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi pelajaran kepada kami dengan sebuah pelajaran yang membuat hati bergetar dan air mata berlinang, maka kami mengatakan: ‘Seolah-olah ini adalah pelajaran orang yang akan berpisah, berilah kami wasiat ya Rasulullah,’ beliau bersabda: ‘Saya berwasiat kepada kalian untuk selalu setia mendengar dan taat, walaupun (yang memimpin kalian) seorang budak Ethopia, sesungguhnya yang hidup di antara kalian setelahku nanti akan melihat banyak perpecahan, maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunnah khulafa’rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah erat dengan gigi gerahammu, dan berhati-hatilah kalian dari hal-hal yang baru, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah kesesatan’.” (Telah lalu takhrij hadits ini)
Yang menjadi dalil dari hadits ini adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pertanyaan tersebut, yang mana beliau menganjurkan umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnahnya, kemudian belum cukup hingga di situ, akan tetapi beliau melanjutkan sabdanya: “dan sunnah khulafa’urasyidin yang mendapat petunjuk”, oleh karena itu, kita harus selalu mengulang-ulangi seputar prinsip penting ini, jika kita benar-benar menginginkan untuk memahami akidah, ibadah, akhlak, perilaku kita (Ahli Sunnah wal Jama’ah). Tidak ada pilihan lain, selain merujuk kepada metode salafushsholeh dalam memahami seluruh perkara yang harus dimiliki oleh setiap muslim ini, agar tercapai keinginan kita untuk menjadi golongan yang selamat.
Dari sinilah komplotan-komplotan yang terdahulu maupun sekarang, tersesat, tatkala mereka enggan mengamalkan kandungan ayat di atas dan hadits khulafa’urasyidin. Sehingga sangat wajar jika mereka menyeleweng, sebagaimana orang sebelum mereka menyeleweng dari Al Quran dan As Sunnah serta metode salafushsholeh. Di antara orang-orang yang menyeleweng adalah orang-orang khawarij, baik khawarij zaman dahulu maupun sekarang. Karena dasar pemikiran takfir (pengafiran) yang saya singgung, dan yang ada pada zaman ini, adalah ayat yang selalu mereka dengungkan, yaitu firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Qs. Al-Maaidah: 44), kita semua telah mengetahui bahwa ayat ini terulang, dan diakhiri dengan tiga lafaz:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang dzolim.” (Qs. Al-Maaidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (Qs. Al-Maaidah: 47)
Di antara kebodohan orang-orang yang berdalil dengan ayat ini pada lafaz pertama:
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“maka mereka itu adalah orang-orang kafir”, mereka tidak mengerti (paling tidak) dengan sebagian dalil-dalil yang menggunakan kata (kufur), mereka memeganginya, dengan anggapan bahwa maknanya adalah keluar dari agama, dan tidak ada bedanya antara kekafiran orang ini, dengan kekafiran orang-orang musyrik, seperti Yahudi atau Nasrani dan penganut agama selain agama islam. Padahal lafaz kufur yang ada dalam bahasa Al Quran dan As Sunnah tidak selalu bermakna demikian, sebagaimana yang mereka dengungkan, kemudian mereka dengan dasar pemahaman mereka yang salah tersebut, menghukumi (mengafirkan) banyak orang, padahal mereka tidak demikian.
Kata kufur tidaklah hanya bermakna satu, sebagaimana halnya dengan kata zhalim dan fasik. Sebagaimana orang yang dikatakan zhalim atau fasik, tidak berarti dia telah keluar dari agama, demikian juga halnya dengan orang yang dikatakan kafir. Keanekaragaman makna satu kata tersebut, itulah yang pemahaman yang sesuai dengan bahasa Arab, dan juga syariat yang datang dengan bahasa Arab, bahasa Al Quran. Dari sinilah, wajib hukumnya atas setiap orang yang hendak memberikan fatwa terhadap kaum muslimin (baik pemerintah atau rakyat jelata) untuk menguasai ilmu Al Quran dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafushsholeh.
Al Quran dan As Sunnah (demikian juga yang berhubungan dengan keduanya) tidak mungkin untuk dipahami, melainkan dengan menguasai bahasa Arab dan sastranya, di antara yang dapat membantu untuk menguasai hal itu adalah dengan cara merujuk kepada pemahaman orang-orang sebelumnya dari kalangan ulama, khususnya tiga generasi tiga pertama, yang telah mendapatkan persaksian baik.
Kita kembali ke ayat di atas:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir”, apa yang dimaksud dengan kafir di sini? Apakah keluar dari agama atau yang lain?
Di sini diperlukan kejelian dalam memahami ayat ini, karena mungkin saja maksudnya adalah kufur amalan, yaitu melakukan beberapa amalan yang keluar dari sebagian hukum islam. Dan yang menguatkan pemahaman kita ini adalah penjelasan habrul ummah dan penerjemah Al Quran, yaitu Abdullah bin Abbas radhiAllahu ‘anhu, karena dia adalah salah seorang sahabat yang diakui oleh semua kaum muslimin (kecuali komplotan sesat) bahwa beliau adalah seorang imam yang hebat dalam ilmu tafsir. Seakan-akan beliau mendengar apa yang kita dengar sekarang ini, bahwa ada sekelumit orang yang memahami ayat ini secara lahirnya saja, tanpa perincian. Beliau radhiAllahu ‘anhu berkata: “Itu bukanlah kufur yang kalian pahami, itu bukan kufur yang mengeluarkan dari agama, yang dimaksud adalah kekufuran yang lebih ringan dibanding kekafiran (kufrun duna kufrin).” (Riwayat Al Hakim, 2/313, dan ia menyatakan: sanadnya sahih, dan disetujui oleh Adz Dzahaby)
Mungkin yang beliau maksud adalah orang-orang khawarij yang memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiAllahu ‘anhu, lalu di antara akibat dari kesalahpahaman mereka ini adalah: mereka menumpahkan darah orang-orang mukmin, mereka melakukan tindakan yang tidak mereka lakukan dengan orang-orang musyrik. Beliau berkata: “Bukanlah permasalahannya seperti yang mereka katakan, atau yang mereka duga, akan tetapi yang dimaksud adalah kekufuran yang lebih ringan dibanding kekafiran.” Jawaban ringkas dan jelas dari penerjemah Al Quran dalam menafsiri ayat ini, suatu penafsiran yang tidak mungkin kita memiliki kesimpulan dari dalil-dalil tersebut di awal pembicaraanku, kecuali penafsiran ini.
Catatan:
Syaikh Al Utsaimin ketika mengomentari penjelasan Syaikh Al Albani, berkata: Syaikh Al Albani berdalil dengan perkataan Ibnu Abbas radhiAllahu ‘anhu, demikian juga halnya dengan ulama lainnya, semuanya menerima dan mendukung penjelasan Ibnu Abbas radhiAllahu ‘anhu ini… karena penjelasan beliau ini sesuai dengan banyak dalil. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Walaupun demikian, sesungguhnya memerangi seorang muslim tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama islam (murtad), berdasarkan firman Allah:
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan apabila ada dua golongan dari kaum mukminin berperang, maka damaikanlah antara keduanya” sampai pada firmannya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara keduanya.” (Qs. Al Hujuraat: 8-9)
Akan tetapi karena kenyataan ini tidak sesuai dengan keinginan orang-orang yang telah terfitnah dengan pengafiran orang lain, mereka berkata: Penjelasan Ibnu Abbas ini tidak dapat diterima, dan tidak benar penisbatannya kepada beliau. Maka kita katakan kepada mereka: Bagaimana tidak benar, padahal para ulama yang lebih besar, lebih mulia, lebih pandai dibanding kalian tentang ilmu hadits telah menerimanya, kemudian kalian tetap tidak mau menerimanya juga? Cukup bagai kami bahwa para ulama besar, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim dan lainnya telah menerimanya, dan berbicara sesuai dengannya, menukilkannya, dengan demikian penjelasan ini sahih. Kemudian, anggaplah bahwa penjelasan ini tidak sahih, sebagaimana anggapan kalian, maka kami masih memiliki banyak dalil yang membuktikan bahwa kata “kufur/kafir” bisa saja diucapkan, akan tetapi tidak dimaksudkan darinya kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, sebagaimana halnya pada ayat di atas, dan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اثنان في الناس هما بهم كفر: الطعن في النسب والنياحة على الميت
“Ada dua perkara amalan manusia, keduanya adalah kekufuran, yaitu: mencela nasab, dan meratapi orang mati”, jelas sekali bahwa kedua amalan ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama, akan tetapi -sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Al Albani pada awal penjelasannya: Sedikitnya ilmu, kurang memahami kaidah-kaidah umum dalam syariatlah yang menjadikan mereka sesat.
Kemudian ada hal ketiga yang saya tambahkan, yaitu: Keinginan jahat, yang menjadikan mereka salah paham, karena apabila seseorang menginginkan sesuatu, menjadikan pemahamannya selalu mengarah kepada keinginannya, kemudian ia akan memutar balikkan dalil, agar mendukung keinginannya. Di antara kaidah yang terkenal sekali di kalangan para ulama’ adalah “Berdalil terlebih dahulu, kemudian menyimpulkan” bukan menyimpulkan terlebih dahulu kemudian mencari dalil, sehingga akibatnya engkau sesat. Yang paling penting, ada tiga sebab bagi kesesatan mereka:
Ilmu yang dangkal.
Tidak menguasai kaidah-kaidah umum dalam syariat.
Kesalahpahaman yang dilandasi oleh keinginan jahat.
***Selesai Perkataan Syaikh Al Utsaimin rahimahullah***
Sesungguhnya kata kufur disebutkan dalam banyak dalil dan tidak mungkin untuk ditafsiri dengan “keluar dari agama”, di antaranya hadits yang sudah terkenal, dalam kitab As Shohihain, dari sahabat Abdullah bin Mas’ud rodhiAllahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر
“Mencela orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.” (HR. Bukhari, pada kitab: Al Iman, Bab: “Seorang mukmin takut bila amalannya gugur, sedangkan ia tidak menyadarinya”, no: 48, dan Muslim pada kitab: Al Iman, bab: “Penjelasan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Mencela seorang muslim adalah kefasikan” no: 64), kekafiran di sini maksudnya adalah kemaksiatan, yaitu keluar dari batas ketaatan, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan satu-satunya orang yang paling fasih dalam mengucapkan huruf “dhod” membuat aneka ragam ungkapan, dengan tujuan agar lebih larangannya lebih terkesan, sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mencela orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.”
Dari sisi lain, apakah mungkin penggalan pertama dari hadits ini yaitu: “Mencela orang muslim adalah kefasikan” ditafsirkan dengan kefasikan yang disebut dalam ayat ketiga di atas:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang fasik”?
Jawabannya: Mungkin bisa jadi kefasikan ini sama dengan kekufuran yang berarti keluar dari agama, dan bisa jadi kefasikan itu sama dengan kekufuran yang tidak sampai keluar dari agama, yaitu yang dimaksudkan oleh penerjemah Al Quran dengan perkataannya: “kekufuran yang lebih ringan dibanding kekafiran”, dan hadits ini menguatkan bahwa kata “kufur/kafir” bisa saja bermakna demikian, kenapa?
Karena Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam Al Quran:
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ
“Dan jika dua golongan dari kaum mukminin berperang, maka damaikanlah diantara keduanya, dan bila salah satu diantaranya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu hingga kembali kepada perintah Allah.” (Qs. Al Hujuraat: 9)
Allah menyebutkan di sini golongan orang mukmin yang berlaku aniaya yang memerangi golongan orang mukmin yang benar, tapi Allah ‘azza wa jalla tidak menghukuminya sebagai orang kafir (keluar dari agama) padahal hadits mengatakan “…memeranginya adalah kekafiran.”
Dengan demikian, memeranginya adalah kekufuran yang lebih ringan dibanding kekafiran, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat tadi. Sehingga seorang muslim memerangi orang muslim lainnya adalah aniaya, pelanggaran, kefasikan dan kekafiran, akan tetapi hal ini bisa jadi yang dimaksud adalah kufur amalan dan mungkin juga bermaksud kufur keyakinan. Dari sini datanglah perincian detail, yang dijelaskan oleh Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan setelah beliau oleh muridnya, yaitu Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, dua orang ini berjasa dalam mendengungkan pembagian kekufuran ini. Pembagian yang benderanya dikibarkan oleh penerjemah Al Quran dalam ungkapan yang padat dan ringkas tersebut.
Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qoyyim rahimahumallahu selalu mendengung-dengungkan pentingnya membedakan antara kufur i’tiqadi (kufur keyakinan) dan kufur amali (kufur amalan). Jika hal ini diabaikan, maka seorang muslim tanpa ia sadari akan terjerumus ke dalam kubangan menentang jamaah kaum muslimin, sebagaimana orang-orang khawarij terdahulu dan pengekornya sekarang ini telah tercebur ke dalamnya.
Dengan demikian sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “dan memeranginya adalah kekufuran” tidak secara mutlak berartikan keluar dari agama. Hadits-hadits semisal ini banyak sekali, seandainya ada yang mau mengumpulkannya, niscaya ia akan menghasilkan satu buku yang bermanfaat sekali, yang di dalamnya terdapat bantahan kuat terhadap orang-orang yang kolot pada pemahaman picik mereka terhadap ayat tersebut, kemudian menafsirinya dengan kufur i’tiqodi. Saat ini saya rasa cukup dengan menyebutkan hadits ini, sebagai dalil yang kuat bahwa memerangi orang muslim lain adalah kufur dengan makna kufur amali, bukan kufur i’tiqadi.
Jika kita perhatikan Jama’ah Takfir (atau sempalan mereka) dan vonis mereka terhadap pemerintah serta orang yang hidup di bawah kekuasaannya, lebih-lebih yang tunduk kepada kepemimpinan dan menerima jabatan dari mereka, maka akan kita dapatkan bahwa sudut pandang mereka adalah: mereka (pemerintah dan bawahannya) telah melakukan maksiat dan mereka telah kafir karenanya.
Di antara hal yang saya diingatkan oleh penanya tadi, bahwa saya berjumpa dengan sebagian mereka yang dahulunya bergabung dengan Jama’ah Takfir, kemudian Allah memberinya hidayah, saya bertanya kepadanya: “Kalian dahulu mengafirkan pemerintah, akan tetapi mengapa kalian mengafirkan imam-imam masjid, para khatib, muazin, dan takmir masjid, mengapa kalian mengafirkan para guru-guru agama di sekolahan?” Mereka berkata: “Karena mereka itu ridho dengan sistim kepemimpinan pemerintah yang berhukum dengan selain hukum Allah.”
Saya berkata: Jika ridhonya yang anda sebut adalah ridho dalam hati dengan hukum selain hukum Allah, maka pada waktu itu juga kufur amalan berubah menjadi kufur i’tiqadi (keyakinan), pemerintah manapun yang berhukum dengan selain hukum Allah, dan dia berpendapat bahwa hukum tersebut layak untuk dijalankan pada zaman sekarang, dan bahwa hukum syariat yang ada dalam Al Quran dan As Sunnah tidak layak lagi, maka tidak diragukan lagi bahwa pemerintah ini telah kufur i’tiqad dan bukan kufur amali, dan barang siapa yang ridho sepertinya, maka dia pun sama hukumnya. Kalian (pertama) tidak dapat untuk mengklaim bahwa setiap pemerintah yang berhukum dengan undang-undang barat atau dengan banyak sebagian besar dari undang-undang barat tersebut, bahwa seandainya dia itu ditanya, maka dia akan menjawab: bahwa berhukum dengan undang-undang ini adalah kebenaran dan yang layak untuk diterapkan pada zaman ini, dan tidak boleh berhukum dengan hukum islam? Karena seandainya mereka berkata demikian, niscaya (anpa diragukan lagi) mereka telah kafir (murtad).
Jika alihkan pandangan kita kepada rakyat mereka, sedangkan ada di antara mereka: para ulama, orang-orang shalih, …dst, maka mengapa kalian mengklaim mereka sebagai orang kafir, hanya karena mereka itu hidup di bawah sistem kepemerintahan, persis sebagaimana yang terjadi pada diri kalian? Akan tetapi kalian mengklaim bahwa mereka itu telah kafir, murtad dari agama, berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah adalah wajib. Kemudian kalian mencari alasan untuk diri kalian dengan mengatakan: menyelisihi hukum syariat dengan perbuatan saja, tidak menjadikan pelakunya dihukumi murtad, keluar dari agama? Dan alasan ini juga yang dikatakan oleh selain kalian, hanya saja kalian mengklaim orang lain telah kafir dan murtad.
Di antara yang diskusi yang membuktikan kesalahan dan kesesatan mereka: Saya berkata kepada mereka: kapan seorang muslim yang mengucapkan Laa ilaha illallahu wa anna Muhammadur Rasulullahu, dia sholat, baik sedikit atau banyak, dapat dihukumi telah kafir keluar dari islam? apakah cukup dengan sekali berhukum dengan undang-undang manusia, atau ia harus menyatakan dengan perilakunya atau lisannya bahwa dia telah keluar dari agama?
Mereka nampak kebingungan, maka saya pun terpaksa mendatangkan untuk mereka contoh berikut: “Seorang jaksa yang berhukum dengan syariat, dan itulah kebiasaan dan peraturannya, akan tetapi pada satu peradilan, dia tergelincir dan memutuskan hukuman yang menyelisihi syariat, apakah ia dikatakan telah berhukum dengan selain hukum Allah atau tidak?” Mereka menjawab: “Tidak.” Saya bertanya: “Mengapa tidak?” Mereka menjawab: “Karena hal itu terjadi hanya sekali saja.” Saya katakan: “Baik, kalau ia mengulangi keputusan tersebut dua kali, atau dia memutuskan hukum lain, tapi menyelisihi syariat juga, apakah kufur?” Saya pun mengulang-ulang tiga atau empat kali: “Kapan kalian dapat mengatakan dia itu telah kafir?” Mereka tidak akan dapat meletakkan batasan jumlah keputusan hukum yang menyelisihi syariat, sehingga mereka tidak mengafirkan orang yang belum mencapai batasan tersebut.
Padahal mereka dapat dengan mudah memberikan batasan, yaitu bila telah diketahui bahwa pada putusan hukum pertama, dia menganggap baik berhukum dengan undang-undang selain hukum Allah, dan menganggap jelek hukum syariat, pada saat inilah klaim bahwa ia telah murtad keluar dari agama islam, benar adanya, walau hanya sekali. Kebalikan dari itu, seandainya engkau melihatnya (jaksa) berpuluh-puluh kali dan pada berbagai perkara, ia menyelisihi syariat dalam keputusannya, dan jika engkau bertanya kepadanya: “Mengapa anda berhukum dengan selain hukum Allah?” dan dia menjawab: “Saya takut akan keselamatan diriku, atau saya disuap,” dan ini lebih jelek dari yang pertama …. Engkau tidak dapat mengatakan dia telah kafir, hingga ia mengutarakan isi hatinya, bahwa dia tidak setuju dengan hukum Allah ‘azza wa jalla, hanya pada waktu itulah engkau bisa mengatakan bahwa dia itu kafir dan murtad.
Kesimpulannya sekarang adalah: Kita harus mengetahui bahwa kekufuran itu seperti kefasikan dan kezaliman, terbagi menjadi dua:
Kekufuran, kefasikan dan kezaliman yang mengeluarkan pelakunya dari agama, semuanya itu kembali kepada penghalalan secara keyakinan.
Kebalikan dari itu (penghalalan hati -pent) kembali kepada penghalalan dengan amalan, Seluruh perbuatan maksiat (terutama yang telah merajalela pada zaman ini) seperti riba, zina, minum khomer, dan selainnya, semua ini adalah kufur amalan.
Sehingga kita tidak boleh mengafirkan pelaku maksiat, hanya karena mereka melakukannya, kecuali jika kita mendapatkan sesuatu yang menunjukkan akan isi lubuk hati mereka, bahwa mereka tidak meyakini akan keharaman apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan. Apabila kita telah mengetahui bahwa mereka telah jatuh ke dalam pelanggaran secara keyakinan, maka pada saat itu kita hukumi bahwa mereka itu kafir, keluar dari agama islam. Adapun jika kita tidak mengetahui yang demikian itu, maka tidak ada jalan bagi kita untuk mengklaim mereka telah kafir, karena kita takut tertimpa ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أيما امرئ قال لأخيه يا كافر، فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال، وإلا رجعت عليه
“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai orang kafir,’ maka pengafiran itu pasti mengenai salah seorang dari mereka, jika betul apa yang ia katakan (maka habis perkara -pent) jika tidak, maka ucapan itu akan kembali kepada dirinya.” (Telah lalu takhrij hadits ini) dan hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak sekali.
Saya mengingatkan pada kesempatan ini dengan kisah seorang sahabat yang berperang melawan salah seorang musyrik, tatkala orang musyrik tersebut telah berada di bawah tebasan pedang sahabat tersebut, dia (orang musyrik itu) berkata: “Asyhadu alla ilaha illallahu” dan sahabat tersebut tidak menghiraukannya, lalu dia pun membunuhnya, ketika kejadian ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat mengingkarinya, maka sahabat itu pun beralasan bahwa orang tersebut mengucapkan syahadat hanya karena takut dibunuh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
هلا شققت عن قلبه؟
“Mengapa engkau tidak membelah hatinya.” (Telah lalu pula takhrij hadits ini)
Kesimpulannya kufur i’tiqod tidak berkaitan dengan amalan, ia hanya berkaitan dengan hati, dan kita tidak bisa mengetahui apa yang ada dalam hati orang fasik, penjahat, pencuri, penzina, pemakan riba dan lainnya, kecuali kalau ia mengutarakan dengan lisannya tentang isi hatinya. Adapun perbuatannya, hanya menunjukkan bahwa ia melanggar syariat, yaitu pelanggaran dalam bentuk amalan, sehingga kita hanya dapat berkata: “Anda telah melanggar, anda telah berbuat kefasikan, anda telah berbuat kejahatan, akan tetapi kita tidak dapat mengatakan: anda telah kafir atau murtad dari agamamu,” hingga nampak darinya sesuatu yang bisa kita jadikan alasan di sisi Allah ‘azza wa jalla dari menghukuminya sebagai orang murtad. Dan setelah itu datanglah hukum yang sudah diketahui bersama dalam agama islam, yaitu yang terkandung dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من بدل دينه فاقتلوه
“Barang siapa yang mengubah agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari, pada kitab: Memerintahkan orang yang murtad untuk bertaubat, bab: “Hukum orang murtad” no: 6922)
Kemudian saya senantiasa mengatakan kepada mereka yang selalu menggembar-nggemborkan pengafiran pemerintah, Anggap mereka itu benar-benar telah kafir, keluar dari agama islam, dan seandainya ada pemerintahan yang lebih tinggi dibanding mereka, dan telah terbukti bahwa mereka telah kafir, keluar dari agama islam, maka wajib atas pemerintah yang lebih tinggi tersebut, untuk menegakkan hukuman kepadanya. Nah sekarang secara realita, tindakan apa yang kalian lakukan, kita seandainya kita menerima bahwa semua pemerintah yang ada telah kafir dan murtad? Apa yang dapat kalian perbuat? Mereka orang-orang kafir tersebut telah menjajah negara-negara islam, dan kita di sini (sangat disayangkan) ditimpa musibah dengan adanya penjajahan orang-orang Yahudi terhadap Palestina, apa yang bisa kami dan kamu sekalian lakukan untuk menghadapi mereka? Sehingga kalian ingin menghadapi pemerintah yang kalian tuduh telah kafir secara sendirian?
Catatan:
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah menimpali dengan berkata: “Ungkapan beliau ini sangat bagus sekali, maksudnya: mereka yang memvonis para pemerintah muslim telah kafir, apa yang dapat mereka petik? Apakah mereka dapat menggulingkannya? Tidak mungkin, Apabila orang-orang Yahudi telah menjajah Palestina semenjak kurang lebih 50 tahun silam, dan bersamaan dengan itu, seluruh umat islam, baik bangsa Arab atau lainnya, tidak mampu untuk mengusir mereka? Maka apa gunanya kita mengusik pemerintahan yang membawahi kita? Padahal kita sadar bahwa kita tidak mampu untuk menggulingkan mereka, dan akan terjadi pertumpahan darah, perampokan harta benda, bahkan bisa jadi kehormatan kita, dan kita tidak akan sampai kepada tujuan. Kalau demikian apa gunanya? Walaupun seandainya ada orang yang meyakini dalam hatinya, bahwa pemerintahan tersebut benar-benar telah kafir, apa gunanya kita mengumumkan, menyebarkannya, dan menyulut fitnah?
Perkataan Syaikh Al Albani ini bagus sekali. Akan tetapi saya sedikit berbeda pendapat dengan beliau dalam masalah: Bahwa tidak boleh divonis kafir orang yang menerapkan hukum selain hukum Allah, kecuali bila telah terbukti bahwa tindakannya itu halal (boleh), permasalahan ini perlu dibahas lebih lanjut. Karena kita berkata: Barang siapa yang menerapkan hukum/undang-undang hukum Allah, sedang ia meyakini bahwa undang-undang selain hukum Allah lebih bagus, maka ia telah kafir, walaupun ia menerapkan hukum Allah, dan kekafirannya adalah kekafiran secara keyakinan (ideologi). Akan tetapi yang kita bicarakan di sini adalah amalan, menurut praduga saya, bahwa tidak mungkin ada orang yang menerapkan undang-undang yang bertentangan dengan syariat Allah, ia terapkan kepada masyarakatnya, kecuali bila ia menganggap bahwa perbuatannya tersebut dibolehkan, dan meyakini bahwa undang-undang tersebut lebih baik dibanding undang-undang syariat, sehingga ia benar-benar telah kafir, dan inilah yang nampak secara lahir. Kalau tidak demikian, lantas apa yang menyebabkan ia melakukan hal itu? Mungkin saja yang menyebabkan ia melakukan hal itu, adalah rasa takut kepada orang yang lebih kuat dari dirinya, bila ia tidak melakukannya, sehingga yang terjadi di sini adalah ia telah menjilat kepada orang tersebut, dengan demikian kita katakan: Sesungguhnya orang ini sebagaimana umumnya para penjilat dalam amalan maksiat lainnya. Dan yang paling penting bagi kita dalam bab ini adalah: pengafiran yang hanya mempertimbangkan amalan, dan pemberontakan terhadap pemerintah tersebut, inilah yang menjadi masalah.
***Selesai Perkataan Syaikh Al Utsaimin rahimahullah***
Apakah tidak lebih baik bagi kalian untuk meninggalkan saja perkara ini, (pengafiran pemerintah -pent) dan kalian mulai dengan membangun fondasi yang di atasnyalah negara islam akan berdiri, yaitu dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu beliau mendidik dan mengader sahabatnya di atas peraturan negara islam dan prinsip-prinsipnya. Metode demikian itu sering kita ungkapkan dalam berbagai kesempatan semacam ini, yaitu: Wajib atas setiap jama’ah islam untuk bersungguh-sungguh dalam upaya mengembalikan hukum islam, bukan hanya dibumi islam, bahkan diseluruh penjuru dunia, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas semua agama walaupun orang-orang musyrik itu benci.” (Qs. Ash-Shaf: 9)
Dan telah disebutkan dalam sebagian hadits shohih, bahwa ayat ini akan terealisasi pada masa yang akan datang, dan agar kaum muslimin bisa merealisasikan dalil Al Quran ini, apakah caranya dengan mengudeta pemerintah yang mereka vonis telah kafir, keluar dari agama islam?
Kemudian dengan prasangka mereka ini (dan ini adalah prasangka yang tidak benar) mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Apa solusinya? Bagaimana metodenya? tidak diragukan lagi bahwa metodenya adalah metode yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mendengungkan dan mengingatkan para sahabat dengannya, pada setiap khotbah, yaitu:
وخير الهدي هدي محمد
“Dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad.” (HR. Muslim pada kitab: Al Jum’ah, bab: “Memendekkan sholat dan khotbah” no: 867)
Wajib atas seluruh kaum muslimin, terutama mereka yang memiliki semangat untuk mengembalikan kejayaan islam, agar memulai perjuangannya dari arah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai darinya, yaitu dengan menerapkan metode yang sering saya sebut dengan dua kata singkat: “At Tashfiyah dan At Tarbiyah” (Pembersihan dan Pendidikan). Yang demikian ini, dikarenakan kita memahami suatu hal yang banyak dilalaikan (atau pura-pura lalai) oleh mereka orang-orang yang ekstremis, yang tidak memiliki ambisi, kecuali mengumandangkan pengafiran terhadap pemerintah, kemudian tidak ada hasilnya sama sekali, dan mereka akan senantiasa mengumandangkan pengafiran terhadap pemerintah, dan setelah itu tidak akan muncul dari mereka kecuali api fitnah.
Fakta yang telah kalian ketahui sendiri, pada beberapa tahun terakhir ini, dimulai dari fitnah di Masjid Haram di kota Mekkah, hingga fitnah yang terjadi di Mesir dan terbunuhnya Presiden Anwar Sadat serta ditumpahkannya darah banyak kaum muslimin yang tak berdosa, dengan sebab fitnah ini, dan yang terakhir di Suria, kemudian sekarang di Mesir dan Aljazair, sangat disayangkan semua ini disebabkan mereka menyelisihi banyak dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah, dan yang paling utama adalah:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Dan sungguh ada bagi kalian pada diri Rasulullah sauri teladan yang baik bagi yang mengharapkan Allah dan hari kemudian dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. Al-Ahzaab : 21)
Jika kita ingin menegakkan hukum Allah di muka bumi, apakah kita memulainya dengan memerangi pemerintah, padahal kita tidak mampu untuk memerangi mereka? Apakah kita memulai dengan sesuatu yang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwah dengannya? tidak diragukan lagi bahwa jawabannya adalah:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Dan sungguh ada bagi kalian pada diri Rasulullah sauri teladan yang baik.”
Akan tetapi dengan apa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai? kalian telah mengetahui bahwa beliau memulai dengan mendakwahi orang-orang yang diduga siap untuk menerima kebenaran, kemudian dari mereka ada yang menerima, sebagaimana yang telah diketahui bersama dalam sejarah Nabi. Lalu terjadi penyiksaan dan masa-masa susah, yang menimpa kaum muslimin di kota Mekkah, lalu turunlah perintah untuk berhijrah yang pertama, kemudian kedua, dst. Hingga akhirnya Allah memberikan kekuatan kepada kaum muslimin di kota Madinah, dari sinilah dimulai gerilya, dan peperangan antara kaum muslimin dan orang-orang kafir dari satu sisi, dan dengan orang-orang yahudi dari sisi lain.
Dengan demikian kita harus memulai dakwah kita dengan mengajari masyarakat agama islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi kita tidak cukup hanya dengan mengajari saja, karena islam telah dimasuki oleh banyak hal yang bukan darinya, dan yang tidak ada kaitan dengannya, berupa bid’ah dan hal-hal yang direkayasa oleh manusia. Semua itu di antara sebab runtuhnya istana islam. Oleh karena itu, wajib atas para da’i agar memulai dakwahnya dengan pembersihan agama islam dari setiap hal yang menyusup ke dalamnya, dan yang kedua adalah mengiringi pembersihan ini dengan mendidik generasi islam di atas ajaran islam yang telah suci.
Apabila kita mempelajari ideologi dan kiprah komplotan-komplotan islam yang ada sekarang ini, semenjak seabad yang lalu, kita dapatkan mereka tidak berhasil meraih manfaat dan juga tidak mempersembahkan sesuatu apapun yang berarti kepada agama islam, walaupun mereka itu telah berteriak dan mendengungkan ingin mendirikan negara islam. Mereka tumpahkan banyak darah orang-orang yang tak bersalah dengan dalih semu ini, tanpa menghasilkan apapun, akan tetapi hingga saat ini kita masih mendengar dari mereka keyakinan-keyakinan yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, dan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keduanya.
Dan pada kesempatan ini saya katakan: ada satu ucapan salah seorang da’i yang saya harapkan dari para pengikutnya agar komitmen dan merealisasikannya, yaitu: “Tegakkanlah negara islam di hatimu, niscaya negara islam akan ditegakkan di bumimu.” (Yaitu ustad Hasan Al Hudhaiby rahimahullah, salah seorang pembina kelompok Ikhwanul Muslimin. Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: Ucapan ini baik, wallahul musta’an, karena seorang muslim bila telah memperbaiki akidahnya, sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa sesudah itu ibadah, akhlak, dan perilakunya dst akan baik pula, akan tetapi ucapan yang baik ini sangat disayangkan tidak diamalkan oleh mereka, dan mereka senantiasa meneriakkan pendirian negara islam tanpa hasil, mereka benar-benar seperti ucapan seorang penyair:
ترجو النجاة و لم تسلك مسالكها إن السفينة لا تجري على اليبس
Keselamatan kau dambakan, tapi jalannya kau tinggalkan
Sungguh bahtera takkan berlayar di daratan
Semoga penjelasan yang saya sebutkan ini sudah cukup sebagai jawaban atas pertanyaan tadi. (Fitnatut Takfir, disusun oleh Ali bin Husain Abu Lauz hal. 44).
–bersambung–
***
Disusun Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Artikel www.muslim.or.id

Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengkafiran dan Sebagian Ciri-ciri Khawarij (4)

Tulisan berikut ini adalah lanjutan fatwa para ulama tentang masalah Takfir dan Ciri-ciri khawarij yang disusun oleh Ustadz Muhammad Arifin Badri hafizhahullah. Insya Allah pada kesempatan ini, akan kami ketengahkan komentar Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin terhadap keterangan yang telah disampaikan oleh Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani (lihat bagian III). Selain itu juga dilengkapi dengan makalah yang sangat bagus yang telah ditulis oleh Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah.
***
Tanggapan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan atas Rasulullah, keluarga, dan semua sahabatnya serta orang yang mengikuti ajaran beliau. Amma ba’du:
Saya telah mendengar jawaban berguna lagi bagus sekali, yang disampaikan oleh yang terhormat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, (semoga Allah melimpahkan taufik-Nya kepada beliau) yang dimuat oleh harian Al Muslimun. Beliau menjawab orang yang bertanya kepada beliau seputar: “Pengafiran orang yang menerapkan undang-undang selain hukum yang Allah turunkan, tanpa ada perincian.” Saya dapatkan jawaban beliau merupakan penjelasan berharga dan sesuai dengan kebenaran, beliau telah menempuh jalannya kaum mukminin. Beliau menjelaskan bahwa tidak boleh bagi siapa pun untuk mengafirkan orang yang menerapkan undang-undang selain hukum Allah, hanya berdasarkan kepada perbuatan semata, tanpa mengetahui bahwa dia menghalalkannya. Beliau berdalil dengan pernyataan Ibnu Abbas rodhiAllahu ‘anhu dan ulama salaf lainnya.
Tidak diragukan lagi bahwa apa yang beliau sampaikan -pada jawabannya- tentang tafsir firman Allah ta’ala:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Qs. Surat Al Maaidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang zalim.” (Qs. Surat Al Maaidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (Qs. Surat Al Maaidah: 46) adalah benar. Beliau telah menjelaskan bahwa kufur itu ada dua macam: kufur besar dan kufur kecil, sebagaimana kezaliman itu ada dua macam, demikian pula kefasikan ada dua macam, besar dan kecil.
Barang siapa yang menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah atau zina, atau riba atau lainnya dari perbuatan haram yang telah disepakati akan keharamannya, maka dia telah kafir dengan kekufuran besar (murtad), zalim dengan kezaliman besar dan fasik dengan kefasikan besar. Dan barang siapa yang mengerjakannya tanpa penghalalan, maka kekufurannya adalah kufur kecil, kezalimannya adalah zalim kecil, dan demikian pula dengan kefasikannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Mas’ud rodhiAllahu ‘anhu:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر
“Mencela orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (Telah lalu takhrij hadits ini)
Yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan dari hadits ini adalah kefasikan kecil dan kekufuran kecil, beliau sengaja mengatakan kata-kata ini tanpa disertai penjelasan, dalam rangka menakut-nakuti dari perbuatan mungkar tersebut, demikian juga halnya dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اثنان في الناس هما بهم كفر: الطعن في النسب والنياحة للميت
“Dua perkara yang ada pada manusia, keduanya merupakan kekufuran, yaitu : mencela nasab dan meratapi orang mati.” (HR. Muslim pada kitab: Al Iman, bab: “Menyebut perbuatan mencela nasab sebagai kekufuran” no: 67)
Dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا ترجعوا بعدي كفاراً يضرب بعضكم رقاب بعض
“Janganlah kalian setelahku kembali menjadi kafir, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain.” (HR. Bukhori, kitab: Al Ilmu, bab: “Diam mendengarkan ulama” no: 121), dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak sekali.
Langkah yang harus ditempuh oleh setiap orang muslim, terlebih-lebih para ulama adalah senantiasa selektif dalam setiap urusan dan bijaksana, selaras dengan Al Quran dan As Sunnah serta metode salafus sholeh, dan senantiasa berhati-hati dari jalan kebinasaan yang ditempuh oleh banyak orang, yaitu gegabah dalam mengklaim tanpa merinci. Dan hendaknya para ulama’ bersungguh-sungguh dalam berdakwah kepada jalan Allah subhanahu wa ta’ala dengan teliti, menjelaskan Islam kepada masyarakat disertai dengan dalil-dalil dari Al Quran dan As Sunnah, menganjurkan mereka untuk senantiasa istiqomah di atasnya. Saling menasihati dalam menjalankan tugas tersebut, dan memperingatkan mereka dari setiap yang menyelisihi hukum islam.
Dengan cara ini, berarti mereka menempuh jalannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jalan khulafa’ rasyidin, serta para sahabatnya dalam menjelaskan jalan kebenaran serta membimbing menuju kepadanya, dan memperingatkan dari setiap yang menyelisihinya; dalam rangka mengamalkan firman Allah:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru kepada Allah dan beramal saleh dan dia berkata sesungguhnya aku adalah orang yang berserah diri.” (Qs. fushshilat: 33), dan firman Allah ‘azza wa jalla:
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah inilah jalanku aku menyeru kepada Allah di atas ilmu dan orang-orang yang mengikutiku (begitu juga), dan Maha Suci Allah dan aku bukanlah dari orang-orang musyrik.” (Qs. Yusuf: 108), dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Qs. An Nahl: 125), serta sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من دل على خير فله مثل أجر فاعله
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala pelakunya.” (HR. Muslim pada kitab: Al Imarah, bab: “Keutamaan membantu pejuang di jalan Allah” no: 1893), dan sabda beliau:
من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص ذلك من أجورهم شيئاً ومن دعا إلى ضلالة كان عليه من الاثم مثل آثام من تبعه لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا
“Barang siapa yang menyeru kepada hidayah, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikit pun, dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa pengikutnya sedikit pun.” Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali rodhiAllahu ‘anhu ketika beliau mengutusnya menuju kepada orang-orang yahudi di Khoibar:
أدعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم، فو الله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من أن يكون لك حمر النعم
“Serulah mereka kepada agama islam, dan kabarkan kepada mereka tentang kewajiban mereka, demi Allah seandainya Allah memberi hidayah kepada seseorang lewat perantaramu, maka itu lebih baik daripada engkau memiliki unta merah.” (HR. Muslim pada kitab: Al Ilmu, bab: “Barang siapa yang membuat contoh baik” no: 2574)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di kota Mekkah selama 13 tahun, beliau menyeru manusia untuk mengesakan Allah dan masuk ke dalam islam dengan nasihat, hikmah, sabar, dan dengan cara yang baik, hingga Allah memberi hidayah melalui para sahabatnya orang yang telah dituliskan akan mendapatkan kebahagiaan, kemudian beliau hijrah ke kota Madinah. Beliau bersama sahabatnya terus menerus berdakwah kepada jalan Allah subhanahu wa ta’ala dengan hikmah, pelajaran yang baik, sabar, dan diskusi yang kondusif, hingga akhirnya Allah mensyariatkan jihad dengan pedang, menghadapi orang-orang kafir. Maka beliau dan para sahabatnya melaksanakan tugas ini dengan baik, sehingga Allah menolong mereka dan menjadikan kemenangan bagi mereka, demikianlah pertolongan dan kemenangan akan diberikan kepada para pengikut mereka, dan yang menempuh jalan mereka, hingga hari kiamat.
Semoga Allah menjadikan kita dan semua saudara kita termasuk pengikut mereka, dan menganugerahkan kepada kita serta saudara-saudara kita para da’i ilmu yang bermanfaat, amal saleh, dan kesabaran di atas kebenaran, hingga kita berjumpa dengan-Nya subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya Dialah yang Kuasa atas hal ini. Sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat dan orang yang mengikuti mereka hingga hari kemudian. (Majmu Fatawa wa Maqolat Mutanawi’ah oleh Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz bin Baz 9/124).
Komentar Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin Tentang Penjelasan Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al Albani
Yang terpahami dari keterangan dua syaikh di atas, bahwa kekufuran hanya jatuh pada orang yang menghalalkannya, sedangkan orang yang tetap menganggapnya sebagai perbuatan maksiat dan pelanggaran, maka dia tidak kafir, pasalnya dia tidak menghalalkannya. Tapi bisa jadi lantaran rasa ketakutan atau ketidakberdayaan dan lainnya. Berdasarkan pernyataan ini, maka ketiga ayat (dalam Surat Al Maaidah) berlaku pada tiga kondisi:
Pertama: Orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, dalam rangka mengganti agama-Nya. Ini adalah kufur akbar, mengeluarkan pelakunya dari agama islam. Karena ia telah mendaulat dirinya sebagai pembuat undang-undang (syari’at) bersama Allah ‘azza wa jalla.
Kedua: Orang yang berhukum dengan selain syariat yang diturunkan oleh Allah ‘azza wa jalla, karena terdorong oleh hawa nafsu dan alasan serupa lainnya. Ini tidak kafir, tapi mengalihkannya kepada kefasikan.
Ketiga: Orang yang berhukum dengan selain syariat Allah karena terdorong rasa permusuhan dan kezalimannya. Hal ini tidak mungkin terjadi pada orang yang berhukum dengan undang-undang buatan manusia, tapi pada peradilan tertentu, seperti memvonis seseorang dengan selain hukum Allah, untuk balas dendam kepadanya, ini disebut sebagai orang zalim.. Jadi tiap-tiap karakter (klaim kafir, atau fasik, atau zalim) diletakkan sesuai dengan kondisinya masing-masing.
Sebagian ulama menilai bahwa ayat-ayat tersebut merupakan kumpulan karakter untuk satu jenis orang, artinya setiap orang kafir adalah zalim, dan setiap orang kafir adalah fasik, dengan berpedoman pada firman Allah:
وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al Baqoroh: 254)
وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَاهُمُ النَّارُ
“Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah neraka.” (Qs. As Sajadah: 20)
Inilah kefasikan akbar. Dan pendapat manapun yang lebih benar, sebagaimana yang telah disinggung oleh Syaikh Al Bani, seseorang manusia harus selalu memperhatikan hasil akhirnya? Permasalahan ini tidak berhenti hanya sebatas teori, tapi yang lebih penting adalah aplikasinya, apa dampaknya?
Syaikh juga menjawab satu pertanyaan dengan berkata:
Termasuk kesalahpahaman, adalah: orang yang menisbatkan pernyataan berikut kepada Ibnu Taimiyah: “Kalau kata kufur disebut tanpa ada keterangan lebih lanjut, maka yang dimaksud adalah kufur akbar, berdalih dengan ayat:
فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Mereka adalah orang-orang kafir.” Padahal pada ayat tersebut tidak hal yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kufur (yang mengeluarkan pelakunya dari keislaman).
Adapun perkataan yang benar dari Syaikhul Islam adalah: membedakan antara kufur yang mu’arraf (diawali dengan alif dan lam) dengan kata kufur yang munakkar (tidak diawali dengan Alif dan lam). Adapun bila kata-kata (kufur) dijadikan sebagai kata sifat, maka kita boleh mengatakan (هؤلاء كافرون) “Mereka orang-orang kafir” atau (هؤلاء الكافرون), berdasarkan pada sifat kekufuran yang tidak sampai mengeluarkan mereka dari agama, yang ada pada mereka. Beliau membedakan antara perbuatan yang disifati kufur dengan pelaku kekufuran.
Berdasarkan penjelasan di atas, dengan penafsiran kita terhadap ayat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa berhukum dengan selain syariat yang diturunkan Allah tidak tergolong ke dalam kekufuran yang mengeluarkan dari agama, tapi merupakan kufur amali (kufur perbuatan). Sebab pelakunya dengan kebijakannya tersebut, telah melenceng dari jalan yang benar. Dan tidak dibedakan antara orang yang mengadopsi hukum perundangan dari pihak lain dan kemudian memberlakukannya di negerinya dari orang yang memproduksi hukum sendiri dan memberlakukannya. Yang penting apakah perundangan ini melanggar aturan Allah apa tidak? (Fitnatut Takfir hal: 25, penyusun: Ali bin Husain Abu Luz).
Makalah Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan
Segala puji hanya milik Allah, sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kepada keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du:
Tidak diragukan lagi bahwa terpenuhinya rasa aman, merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendesak, melebihi kebutuhan kita kepada makanan dan minuman. Oleh karenanya, Nabi Ibrahim mendahulukan doa memohon keamanan dari doa memohon rizki:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo’a: ‘Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan.’” (Qs. Al Baqoroh: 126)
Sebab manusia tidak akan mungkin bisa menikmati kelezatan makanan bila dihantui perasaan takut. Akibat lainnya, lumpuhnya alur lalu lintas, yang menjadi jalur distribusi rezeki dari satu daerah ke daerah lainnya. Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala menyediakan siksa yang pedih bagi para perampok di tengah jalan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.” (Qs. Al Maaidah: 33)
Islam datang dengan mensyariatkan pemeliharaan lima hal primer, yaitu: agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda. Islam juga telah menetapkan hukuman yang keras bagi mereka-mereka yang melanggar kelima hal primer ini, baik itu terjadi pada kaum muslimin, maupun pada mereka yang tinggal di negara islam, yang terikat perjanjian aman (mu’ahad). Para mu’ahad memiliki hak yang sama dengan orang muslimin dan mereka juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti halnya kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة
“Barang siapa yang membunuh orang kafir yang mu’ahad (terikat perjanjian aman dengan kaum muslimin) maka ia tidak akan mencium wanginya surga.”
Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَعْلَمُونَ
“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Qs. At Taubah: 6)
Jika kaum muslimin khawatir terhadap pengkhianatan orang-orang mu’ahad terhadap perjanjian itu, mereka tidak boleh langsung memerangi mereka, hingga memberitahu mereka tentang pemutusan perjanjian tersebut, juga tidak boleh langsung menyerbu mereka tanpa adanya informasi sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang di firmankan Allah subhanahu wa ta’ala:
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوْمٍ خِيَانَةً فَانبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاء إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الخَائِنِينَ
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfaal: 58)
Orang kafir yang masuk dalam kategori mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, ada tiga macam:
Pemohon suaka (musta’min) yaitu: orang kafir yang masuk kawasan negara islam dengan jaminan keamanan dari kaum muslimin, untuk menjalankan suatu tugas pekerjaan dan segera kembali ke negaranya, seusai menjalankan tugasnya.
Mu’ahad yaitu: orang kafir yang menjalin perjanjian damai dengan kaum muslimin. Orang ini dilindungi hingga habis masa perjanjian antara kedua belah pihak, dan tidak boleh bagi siapa pun untuk mengganggu mereka, sebagaimana mereka tidak boleh untuk mengganggu orang muslim.
Orang kafir yang membayar jizyah/upeti (Ahlu Dzimmah) kepada kaum muslimin dan tunduk di bawah hukum Islam.
Islam telah memberikan jaminan keamanan atas darah, harta dan kehormatan ketiga golongan ini. Barang siapa yang melanggar hak mereka, berarti ia telah berkhianat kepada agama Islam dan pantas untuk mendapat hukuman berat.
Sikap adil harus ditegakkan kepada siapa pun, baik orang muslim ataupun orang kafir, biarpun bukan mu’ahad, musta’min ataupun ahli dzimmah (yang membayar jizyah). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ
“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka).” (QS Al Maaidah: 2)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Qs. Al Maaidah: 8)
Orang-orang yang selalu mengganggu stabilitas keamanan, bisa saja dari golongan: orang-orang khawarij atau perampok jalanan atau para pemberontak. Dan setiap gerakan ini, harus dijatuhi hukuman yang sangat keras, agar jera dan kejahatannya tidak menimpa kaum muslimin, musta’min, mu’ahad dan ahli dzimmah.
Dan oknum-oknum yang mengadakan pengeboman, di mana saja, yang menelan korban jiwa dan harta benda yang dilindungi, baik milik kaum muslimin atau mu’ahad, menyebabkan wanita-wanita menjadi janda, banyak anak-anak menjadi yatim, mereka termasuk orang-orang yang Allah sebutkan dalam sebuah firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّهَ عَلَى مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي الأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيِهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الفَسَادَ
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya, yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (sebagai balasannya) neraka jahanam, Dan sungguh neraka jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (Qs. Al Baqoroh: 204-206)
Dan yang sangat diherankan dari itu semua, bahwa mereka, para penjahat dan orang-orang yang sangat jauh dari ajaran islam, mereka menamakannya sebagai jihad fi sabilillah, dan ini termasuk kedustaan terbesar terhadap Allah, sebab Allah telah menamakannya kerusakan bukan Jihad. Tetapi heran lagi, bila kita tahu bahwa nenek moyang mereka, adalah kaum Khawarij yang mengafirkan para sahabat, mereka membunuh sahabat Usman dan Ali (semoga Allah meridhoi keduannya) padahal keduanya adalah termasuk Al Khulafa’ Ar Rasyidin, dan sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga, akan tetapi mereka tetap membunuhnya juga. Mereka namakan perbuatan ini Jihad di jalan Allah, yang benar adalah jihad di jalan setan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut.” (Qs. An Nisa’: 76)
Agama Islam tidak menanggung dosa mereka, sebagaimana yang dituduhkan oleh musuh-musuh islam (dari orang-orang kafir dan munafik) bahwa islam adalah agama teroris, berdalih dari perilaku penjahat-penjahat tersebut. Perbuatan mereka bukan dari ajaran Islam, dan tidak dibenarkan oleh islam atau agama apapun. Akan tetapi ini adalah ideologi orang khawarij, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan untuk membunuh orang yang berpaham semacam ini, beliau bersabda:
أينما لقيتموهم فاقتلوهم
“Di mana pun kalian dapati mereka, bunuhlah mereka.”
Dan beliau menjanjikan pahala besar bagi yang berhasil membunuhnya, tentunya yang membunuh mereka adalah waliyyul amr (pemerintah) kaum muslimin, seperti yang dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dipimpin oleh sahabat Ali bin Abi Thalib rodhiAllahu ‘anhu. Orang-orang munafik atau dungu, menyangka bahwa sekolah-sekolah islamlah yang mengajarkan pola pikir terorisme ini, dan kurikulumnya memuat ideologi ini, dan akhirnya mereka menuntut agar diubah.
Kita katakan bahwa yang memikul pemikiran ini bukan alumni sekolah-sekolah islam, dan tidak menimba ilmu dari ulama-ulama kaum muslimin; sebab mereka sendiri mengharamkan belajar di sekolah-sekolah, sekolah kejuruan, juga universitas-universitas. Mereka meremehkan ulama kaum muslimin, menganggap mereka bodoh, dan sebagai kaki tangan pemerintah. Mereka belajar kepada orang-orang yang menyimpang, orang-orang yang masih muda belia dan picik pikiran, seperti halnya mereka, sebagaimana nenek moyang mereka telah menganggap bodoh para sahabat, dan bahkan mengafirkannya.
Yang kami harapkan, semenjak hari ini adalah: hendaknya masing-masing orang tua memperhatikan anak-anaknya, tidak membiarkan mereka dipengaruhi oleh para penjaja pemikiran-pemikiran kelam, kemudian membawanya kepada jurang kesesatan, dan metode-metode menyeleweng. Hendaknya mereka tidak membiarkan anak-anaknya menghadiri perkumpulan yang mencurigakan, training-training yang tidak jelas arah tujuannya. Tidak membiarkan mereka menghadiri tempat-tempat pesta yang menjadi lahan subur bagi penjaja kesesatan, dan serigala buas. Tidak membiarkan anak-anaknya bepergian keluar negeri Saudi, sedangkan umur mereka masih kecil. Dan atas para ulama agar selalu memberikan pengarahan-pengarahan yang baik, mengajarkan mereka aqidah yang benar, di sekolah-sekolah, masjid-masjid, atau pun di media-media informasi, sehingga tidak meninggalkan kesempatan bagi para penjaja kesesatan yang beraksi pada saat orang-orang baik sedang lalai.
Semoga Allah membimbing kita semua kepada ilmu yang bermanfaat dan amalan yang soleh. Dan semoga shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Harian Ar Riyadh, edisi: Kamis 21/3/1424).
–bersambung–
***
Disusun Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Artikel www.muslim.or.id

Fatwa Ulama Seputar Sikap Ekstrem, Pengkafiran dan Sebagian Ciri-Ciri Khawarij (5)


Tulisan berikut ini adalah lanjutan sekaligus bagian terakhir dari fatwa para ulama tentang masalah Takfir dan Ciri-ciri khawarij yang disusun oleh Ustadz Muhammad Arifin Badri hafizhahullah. Insya Allah pada kesempatan ini, akan kami ketengahkan fatwa dari Syaikh Sholih bin Fauzan Al Fauzan serta sebuah artikel tentang tanda-tanda khawarij. Semoga Allah ta’ala memberika epada kita semua pemahaman Islam yang benar sehingga kita bisa selamat dari fitnah syubhat.
***
Jawaban Syaikh Sholeh Bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
Pertanyaan: Syaikh yang terhormat, nampak dengan jelas sekarang ini munculnya sikap ekstrem, dan banyak masyarakat umum mulai hanyut terbawa oleh arus pemikiran ekstrem ini, bagaimana cara menanggulanginya, dan siapakah yang bertanggung jawab?
Jawaban: Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari sikap ekstrem, dalam salah satu sabdanya beliau berkata:
إياكم والغلو فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو
“Hindari oleh kalian sikap berlebih-lebihan (ekstrem), sebab sesungguhnya yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan.”
هلك المتنطعون هلك المتنطعون هلك المتنطعون
“Celakalah orang yang berlebih-lebihan (dalam agama) 3x.”
Allah berfirman:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (Qs. An Nisa’: 171)
Maka kewajiban kita selaku orang yang beriman adalah selalu istiqomah di jalan Allah tidak berlebih-lebihan ataupun sebaliknya, Allah berfirman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (Qs. Huud: 112)
Maksudnya: jangan engkau menambahkan dan jangan berlebih-lebihan, yang dituntut dari kaum muslimin adalah sikap istiqomah, yaitu tengah-tengah antara sikap meremahkan dan sikap ekstrem. Dan inilah metode agama islam, yaitu metode seluruh para nabi, yaitu beristiqomah di atas agama Allah, tanpa bersikap ekstrem lagi melampaui batas dan juga tanpa meremehkan atau bahkan meninggalkan agama (Muraja’at fi Fiqh Waqi’ as Siyasi wal Fikri ‘ala Dhaui Al Kitab was Sunnah hal. 48).
Pertanyaan: Ilmu pengetahuan islam yang ada pada masa kini, telah ternodai oleh sebagian pemikiran beberapa aliran sesat, seperti khawarij dan mu’tazilah, sehingga kita dapatkan ada pemikiran yang mengarah kepada pengafiran terhadap masyarakat dan individu-individu, membolehkan sikap anarkis terhadap pelaku maksiat dan orang fasik, maka apa nasihat anda?
Jawaban: Ini adalah metode yang salah, karena agama islam melarang sikap anarkis dan keras dalam berdakwah, Allah ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah manusia ke jalan Robb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Qs. Surat An Nahl: 125), dan Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Harun alaihimas salaam tentang raja Fir’aun:
فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Katakanlah kepadanya perkataan yang lembut semoga dia ingat dan merasa takut.” (QS Thoha: 44)
Kekerasan akan dihadapi dengan kekerasan, dan tidak akan menghasilkan kecuali kegagalan, dan akan berakibat buruk bagi kaum muslimin. Yang diharapkan adalah berdakwah dengan bijak dan dengan cara yang baik, dengan lemah lembut terhadap orang yang didakwahi. Adapun menggunakan kekerasan, dan meremehkan orang yang didakwahi, bukanlah dari ajaran islam. Kaum muslimin dalam berdakwah harus meniru metode Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selaras dengan petunjuk Al Quran.
Pengafiran harus memperhatikan ketentuan-ketentuannya dalam syariat. Barang siapa yang melakukan salah satu pembatal keislaman yang telah disebutkan oleh para ulama’ Ahli Sunnah Wal Jama’ah, maka dia telah kafir, tentunya setelah ditegakkan hujjah kepadanya. Dan barang siapa yang tidak melakukan salah suatu pembatal tersebut, maka dia bukan orang kafir, walaupun ia telah melakukan sebagian dosa besar yang masih di bawah derajat kesyirikan.
Pertanyaan: Ada orang yang menyifati masyarakat muslim sebagai masyarakat jahiliah, karena di dalamnya ada berbagai pelanggaran, dan kemudian ia dengan dasar ini mengambil sikap tertentu, yang telah anda ketahui, apakah ucapan ini benar?
Jawaban: Jahiliah yang menyeluruh telah musnah dengan diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan alhamdulillah telah datang agama islam, ilmu dan cahaya, hal ini akan terus berlangsung hingga hari kiamat. Setelah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, tidak ada lagi jahiliah yang menyeluruh, yang ada hanya sisa-sisa jahiliah, akan tetapi jahiliah pada hal-hal tertentu, jahiliah yang ada pada sebagian pelakunya. Adapun jahiliah menyeluruh telah sirna dengan diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak akan kembali lagi hingga hari kiamat.
Adapun keberadaan sebagian sifat jahiliah pada sebagian orang atau kelompok, atau masyarakat, maka hal ini terjadi, akan tetapi jahiliah khusus pada pelakunya saja, bukan jahiliah menyeluruh. Oleh karena itu, tidak boleh untuk mengatakan jahiliah secara menyeluruh (mutlak), sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab “Iqtidho’ Shirothol Mustaqim”.
Pertanyaan: Nampak dengan jelas pada orang-orang yang menyifati masyarakat muslim sebagai masyarakat jahiliah, mereka hendak mengafirkan masyarakat tersebut, dan setelah itu pemberontakan?
Jawaban: Pengafiran bukanlah hak setiap orang, atau mengafirkan kelompok tertentu atau individu tertentu. Pengafiran harus melalui ketentuan-ketentuannya, barang siapa yang melakukan salah satu pembatal islam, maka ia dihukumi telah kafir. Dan hal-hal yang membatalkan keislaman sudah diketahui bersama, dan yang paling besar adalah perbuatan syirik kepada Allah ‘azza wa jalla, pengakuan bahwa ia mengetahui hal-hal gaib, menerapkan hukum selain hukum Allah. Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Qs. Al Maaidah: 44)
Pengafiran itu sangat berbahaya, tidak boleh bagi setiap orang untuk mengklaim orang lain dengannya, akan tetapi pengafiran merupakan wewenang hakim syariat, ulama yang ilmunya mendalam, yang menguasai agama islam, pembatal-pembatal keislaman, mengetahui situasi dan kondisi, dan mempelajari realita yang ada pada masyarakat. Merekalah yang berhak untuk mengafirkan dan lainnya. Adapun orang bodoh atau orang awam atau pelajar ingusan, maka tidak berhak untuk mengafirkan orang lain, atau kelompok tertentu atau suatu negara, karena mereka tidak memiliki keahlian untuk mengemban tugas ini.
Pertanyaan: Ada sebagian penuntut ilmu yang gegabah dalam mengatakan kata-kata murtad kepada orang muslim, bahkan jika pemerintah tidak menegakkan hukuman kepada orang yang telah mereka anggap murtad, mereka menuntut kaum muslimin agar menunjuk seseorang yang dianggap dapat menegakkan hukuman atas orang tersebut?
Jawaban: Menegakkan hukuman pidana itu adalah wewenang pemerintah kaum muslimin, bukan hak setiap orang untuk menegakkan hukuman pidana, karena hal itu dapat menimbulkan kekacauan, kerusakan, perpecahan, mengobarkan api balas dendam, fitnah dan malapetaka. Penegakan hukum pidana adalah wewenang pemerintah muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تعافوا الحدود فيما بينكم فإذا أبلغت الحدود السلطان فلعن الله الشافع والمشفع
“Saling memaafkanlah di antara kalian dalam hal hukuman pidana, karena jika (masalah yang mengakibatkan) hukuman pidana telah sampai (diangkat) ke pemerintah, maka laknat Allah bagi orang yang meminta keringanan dan yang diberi keringanan.” (HR. An Nasa’i, pada kitab: Memotong Tangan Pencuri, Bab: “Batasan Tempat Menyimpan” no: 4885)
Di antara tugas dan wewenang pemerintah dalam ajaran islam adalah menegakkan hukum pidana. Setelah betul-betul terbukti secara syar’i di pengadilan syariat pelaku kejahatan tersebut, syariat islam menetapkan hukuman pidananya, seperti hukuman orang murtad, pencuri dan seterusnya.
Ringkas kata, bahwa penegakan hukum pidana adalah tugas dan wewenang pemerintah, jika kaum muslimin tidak mempunyai pemerintah (yang menerapkan hukum syariat), maka cukup dengan beramar ma’ruf dan nahi mungkar serta berdakwah kepada jalan Allah ‘azza wa jalla, dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta dengan dialog yang kondusif. Tidak boleh bagi perorangan untuk menegakkan hukuman pidana, karena hal ini akan menimbulkan kekacauan, dan menyulut api balas dendam dan fitnah, serta akan mendatangkan bencana yang lebih besar dari pada maslahatnya. Padahal di antara kaidah syariat yang sudah disepakati adalah: “Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan.”
Pertanyaan: Siapakah orang yang dikatakan telah murtad? kami mohon definisinya dengan jelas, kadang kala ada orang yang masih memiliki syubhat, telah diklaim sebagai orang murtad?
Jawaban: Mengklaim orang telah murtad dan keluar dari agama, adalah wewenang ulama yang keilmuannya telah kokoh, yaitu para hakim di pengadilan syariat, dan para pemberi fatwa yang telah diakui. Perkara ini sebagaimana halnya perkara lain, bukan wewenang setiap orang atau pelajar yang masih ingusan, atau yang mengaku-ngaku sebagai orang yang berilmu, yang pemahamannya terhadap agama masih dangkal. Bukan wewenang mereka untuk menghukumi (seseorang) telah murtad, karena hal ini akan mengakibatkan kerusakan. Mungkin saja mereka mengklaim seorang muslim, bahwa ia telah murtad, padahal kenyataannya tidak demikian. Pengafiran seorang muslim yang tidak melanggar salah satu pembatal keislaman, sangat berbahaya, barang siapa yang mengatakan kepada saudaranya: wahai orang kafir atau wahai orang fasik dan kenyataannya dia tidak demikian, maka tuduhan tersebut akan kembali kepada yang mengucapkannya. Yang berhak untuk mengklaim orang, bahwa ia telah murtad adalah para hakim syar’i dan para mufti yang telah diakui, dan yang melaksanakan hukuman adalah pemerintah, dan bila dilakukan oleh selain mereka, maka akan terjadi kekacauan. (Muraja’at fi Fiqh al Waqi’ 49).
Pertanyaan: Point terakhir yang ingin saya tanyakan seputar masalah ini, adalah tentang orang yang melanggar terhadap wewenang pemerintah, yaitu tentang hukum orang yang menerapkan hukum pidana terhadap seseorang, sebab ada yang mengatakan bahwa pemerintah tidak melakukan apa-apa, kecuali memenjarakan?
Jawaban: Tidak boleh menentang pemerintah dan melanggar wewenang pemerintah islam. Bila orang tersebut membunuh orang lain tanpa didasari dengan hukum syariat, akan tetapi ia membunuhnya hanya didasari oleh kebijakannya sendiri, maka bila keluarga orang yang dibunuh menuntut, orang ini harus ditegakan atasnya hukum qisos. Kecuali bila telah terbukti secara syariat bahwa yang dibunuh itu telah murtad, keluar dari agama islam, maka ia tidak diqishos. Akan tetapi pemerintah tetap berhak untuk menjatuhkan hukuman peringatan sesuai dengan yang ia anggap pantas, kepada orang tersebut, karena ia telah melanggar wewenangnya. (Muraja’at fi Fiqh al Waqi’).
Tanda-Tanda Orang Khawarij
Syekh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan berkata: “Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Risalah Beliau “Qoidah Ahli Sunnah wal Jamaah” setelah ia menukilkan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Qs. Ali Imron: 103), sampai ayat:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka putih bersih, dan ada pula muka yang hitam muram.” (Qs. Ali Imron: 106)
Dan juga perkataan Ibnu Abbas radhiAllahu ‘anhu: “Putih berseri muka Ahlusunnah wal Jamaah, dan hitam muram muka Ahlu Bid’ah wal Furqah”, beliau berkata: “Dalam Sunan Tirmidzy dari Abi Umamah al-Bahily dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda tentang orang Khawarij:
أنهم كلاب أهل النار
“Bahwasanya mereka adalah anjing-anjing penghuni Neraka.” (HR. Tirmidzi 3000 beliau menghasankannya, Ibnu Majah 176. Ahmad 5/352 dan dishohehkan Hakim 2/163)
Ia membaca Ayat:
ي يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka putih bersih, dan ada pula muka yang hitam muram…”
Imam Ahmad berkata: Hadits tentang khawarij Shohih dari sepuluh jalan, dikeluarkan Muslim dalam Shahihnya, dan Bukhori mengeluarkan sebagiannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يحقر أحدكم صلاته مع صلاتهم وصيامه مع صيامهم وقراءته مع قراءتهم يقرؤون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية
“Salah seorang kalian meremehkan sholatnya di hadapan sholat mereka, puasanya di hadapan puasa mereka, dan bacaannya di hadapan bacaan mereka, mereka membaca Al Quran (akan tetapi) tidak melampaui tenggorokan mereka, mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah keluar (saat menembus) sasarannya.” (HR. Bukhari (3610), (3344), Muslim (1064) dari hadits Abi Sa’id)
Dalam riwayat lain:
يقتلون أهل الإسلام ويدعون أهل الأوثان
“Mereka membunuhi pemeluk agama Islam, dan membiarkan penyembah-penyembah berhala.” (HR. Bukhari (3610), (3344), Muslim (1064) dari hadits Abi Sa’id)
Kemudian Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan Siapa itu Khawarij? beliau berkata: “Khawarij itu adalah orang pertama yang mengafirkan kaum muslimin, mereka mengafirkan lantaran dosa-dosa (yaitu dosa-dosa selain syirik) dan juga mengafirkan siapa yang bertentangan dengan mereka dalam bid’ah mereka itu, menghalalkan darah dan hartanya, begitulah halnya Ahlul bid’ah; mereka mengadakan suatu bid’ah dan mengafirkan siapa yang bertentangan dengan mereka dalam bid’ah itu.”
Ini perkataan Ibnu Taimiyah dalam menjelaskan hakikat Khawarij, pada kesempatan ini saya menimpali: Karena hakikat khawarij adalah orang-orang yang mengafirkan pelaku dosa besar selain syirik dari kaum muslimin, maka sesungguhnya pada zaman sekarang ini ada orang yang melontarkan julukan ini (khawarij) kepada ulama’ yang mengklaim kafir orang yang telah berhak (menerimanya), dari ahlu riddah (orang murtad) dan pelaku pembatal keislaman, seperti penyembah-penyembah kuburan, dan pengikut kelompok-kelompok sesat, contohnya: Partai Ba’ts, kapitalis dan lain-lain. Mereka mengatakan: Kalian mengafirkan kaum muslimin, maka kalian adalah khawarij. Hal ini terjadi, karena mereka tidak mengetahui hakikat Islam, dan tidak mengetahui hal-hal yang membatalkannya, dan juga tidak mengetahui hakikat mazhab khawarij, yaitu menghukum kafir orang yang tidak berhak (menerimanya) dari kaum muslimin, (sedangkan) menghukum kafir orang yang berhak karena melakukan hal yang membatalkan keislaman adalah mazhab Ahlusunnah wal Jamaah.
Dari sifat-sifat khawarij banyak beribadah misalnya, banyak membaca Al Quran, zuhud, disertai tidak adanya pemahaman dalam agama, disimpulkan bahwasanya banyak amalan tanpa mengikuti Al Quran dan Sunnah, tanpa pemahaman terhadap makna-maknanya tidaklah memberi faedah yang berarti terhadap manusia, dan (juga) tidak boleh tertipu oleh orang yang sifatnya begitu, dan tidak boleh mengklaim kafir setiap orang yang melakukan dosa-dosa besar, kecuali bila dosa besar itu termasuk pembatal keislaman yang telah diketahui, seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih, bernazar kepada kuburan, dan semacam itu.
Kemudian Ibnu Taimiyah rahimahullah melanjutkan: “Ahlusunnah wal Jamaah (senantiasa) mengikuti Al Quran dan Sunnah, menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka mengikuti Al Haq, dan menyayangi makhluk. Adapun Bid’ah yang pertama sekali muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij dan Syi’ah, muncul di masa khilafah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib rodhiAllahu ‘anhu. beliau lalu menghukum kedua kelompok ini. Adapun khawarij mereka telah memberontak kepada beliau, sehingga beliau akhirnya membasmi mereka. Sedangkan orang Syi’ah, maka beliau membakar orang-orang yang ekstrem dari mereka. Beliau (juga) berusaha menangkap Abdulloh bin Saba’ untuk dibunuh, tapi ia melarikan diri, beliau (juga) memerintahkan untuk mencambuk orang yang lebih mengutamakannya dibanding sahabat Abu Bakar dan Umar, (ini semua) diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab shohehnya.” (HSR Bukhari no. 3671).
Ibnu Taimiyah juga berkata: “Di antara dasar-dasar aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah mereka menunaikan sholat Jumat, ‘Ied dan sholat berjamaah, mereka tidak meninggalkan sholat Jumat dan jamaah, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul bid’ah seperti Rafidhah dan selain mereka. Jika penguasa mastur (tertutup keadaannya) tidak tampak darinya perbuatan bid’ah dan maksiat, maka menurut kesepakatan imam yang empat dan selain mereka dari para ulama dikerjakan sholat Jumat dan jamaah di belakang mereka (sebagai makmum), tidak seorang pun dari para ulama yang mengatakan tidak boleh sholat (bermakmum) kecuali di belakang penguasa yang diketahui keadaan pribadinya, bahkan kaum muslimin setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berjamaah di belakang orang muslim yang belum jelas keadaannya, akan tetapi apabila tampak bid’ah atau perbuatan maksiat (dan telah terlaksanakan sholat di belakang orang yang diketahui kebid’ahan dan kefasikannya itu) bersamaan dengan mungkinnya sholat bermakmum dengan yang lain, sebagian besar ulama mensahkan sholat (tersebut).”
Ini adalah mazhab Syafi’i dan Abu Hanifah dan juga salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Imam Malik dan Ahmad. Dan adapun apabila tidak mungkin untuk sholat kecuali berimam dengan seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) atau fajir (pelaku dosa) seperti sholat Jumat yang diimami oleh mubtadi’ atau fajir, dan tidak ada sholat Jumat di tempat lain, dalam hal ini dilaksanakan sholat di belakang mubtadi’ dan fajir menurut pendapat umumnya Ahlusunnah wal Jamaah. Ini adalah mazhab Syafi’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dan lain-lain dari imam Ahlusunnah tanpa ada perselisihan di antara mereka.
Ada (pula) sebahagian orang yang pada saat hawa nafsu merajalela, ia lebih suka untuk tidak sholat kecuali di belakang orang yang ia ketahui keadaannya, ini merupakan (hal yang) mustahab (sunat), sebagaimana dinukilkan dari Imam Ahmad saat menjawab pertanyaan tentang itu, beliau tidak mengatakan: bahwasanya tidak sah sholat kecuali di belakang orang yang saya ketahui keadaannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melanjutkan: “Maka (hukum) sholat di belakang orang yang tidak diketahui keadaannya menurut kesepakatan ulama Islam boleh, Barang siapa yang mengatakan haram atau batal sholat di belakang orang yang tidak diketahui keadaannya, maka ia telah menyelisihi ijma’ Ahlusunnah wal Jamaah, karena sesungguhnya para sahabat rodhiAllahu ‘anhum melakukan sholat di belakang orang yang mereka ketahui kefasikannya, Ibnu Mas’ud dan sahabat lainnya sholat di belakang Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith, Ibnu Umar dan sahabat lainnya sholat di belakang Hajjaj bin Yusuf, dan para tabi’in sholat di belakang Ibnu Abi ‘Ubaid. (di sini berakhir perkataan Syekhul Islam).”
Maksud beliau adalah bahwa sholat sah hukumnya di belakang setiap muslim, meskipun ia fasik, terlebih lagi jika ia termasuk Waliyyul Amri (penguasa), agar terbuhul persatuan, atau (jika) tidak ada imam-imam mesjid yang saleh selain mereka, (kemudian) kalau tidak sholat berimam dengan mereka akan luput pelaksanaan sholat Jumat dan jamaah. Adapun orang yang melakukan pembatal dari pembatal-pembatal keislaman seperti istighotsah kepada orang yang sudah meninggal, menyembelih, dan thowaf di kuburan, dalam rangka mendekatkan diri kepada mereka, meminta hajat dari mereka, maka dalam hal ini tidak sah sholat berimam dengan mereka, karena imam tersebut adalah kafir murtad dari agama islam, sedangkan sholat hanya sah (jika) berimam dengan muslim.
Perincian seperti ini penting sekali, khususnya pada zaman sekarang ini yang banyak terjadi peribadatan kepada kuburan, dan terkadang ada imam-imam mesjid yang termasuk penyembah kuburan, dalam hal ini tidak sah sholat di belakang mereka, tidak ada daya dan tidak pula kekuatan kecuali dengan Allah yang maha tinggi dan maha agung. (Adhwaa min Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah karya Syaikh Sholeh Fauzan Al Fauzan 1/269).
Syekh Sholeh Fauzan hafizhahulloh berkata: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwa beliau panjang lebar menjelaskan manhaj Ahlusunnah, dan beliau menyinggung suatu permasalahan penting, di mana sering kaki tergelincir, pemahaman melenceng, dan sering terjadi kekeliruan padanya, yaitu permasalahan pengafiran muslim, dan menjelaskan sikap Ahlusunnah wal Jamaah dalam masalah ini, beliau berkata:
“Dan tidak boleh mengafirkan muslim lantaran dosa yang ia lakukan, juga tidak karena kesalahan yang ia kerjakan, seperti halnya masalah-masalah yang diperselisihkan oleh Ahlul Qiblah (kaum muslimin), sesungguhnya Allah ta’ala berfirman:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, (mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya,’ dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat,’ (mereka berdoa): ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkau lah tempat kembali’.” (Qs. Al Baqoroh : 285)
Disebutkan dalam sebuah hadits shohih bahwa Allah telah mengabulkan doa ini, dan mengampunkan kesalahan kaum mukminin (HR. Muslim 125 dari hadits Abu Hurairoh).
Khawarij para pemberontak yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diperangi (HR. Bukhari 3344, Muslim 1064 dari hadits Abu Sa’id) telah diperangi oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib salah seorang Khulafaur Rosyidin, dan para ulama dari kalangan para sahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka telah bersepakat agar mereka diperangi. Namun Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash dan sahabat yang lain tidak mengafirkan mereka, (sebaliknya) masih tetap menganggap mereka sebagai orang-orang muslim, meskipun diperangi. Ali bin Abi Thalib belum enggan untuk memerangi mereka, hingga mereka berani menumpahkan darah seseorang yang di lindungi, merampas harta kaum muslimin. Lalu beliau memerangi mereka guna menghentikan kezaliman dan kesewenang-wenangan mereka, bukan karena mereka telah kafir, oleh sebab itu ia tidak menawan wanita-wanita mereka, dan juga tidak merampas harta-harta mereka.
Jika mereka yang telah jelas kesesatannya berdasarkan dalil dan ijma’ tidak diklaim kafir, meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar diperangi, bagaimana halnya dengan berbagai kelompok yang beraneka ragam, yang belum jelas bagi mereka kebenaran dalam masalah-masalah rumit, yang orang lebih berilmu dari mereka (saja) jatuh kepada kesalahan? maka haram atas setiap kelompok tersebut untuk saling mengafirkan, dan tidak halal darah dan hartanya, meskipun jelas-jelas terdapat bid’ah, apalagi kelompok yang mengafirkannya juga kelompok bid’ah?! dan terkadang bid’ah mereka lebih berbahaya. Pada umumnya mereka semua jahil terhadap hakikat apa yang mereka perselisihkan.
Pada asalnya darah, harta dan kehormatan kaum muslimin adalah haram satu sama lain, tidak halal kecuali apabila diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada’ bersabda:
إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا في بلدكم هذا في شهركم هذا
“Sesungguhnya darah kalian, harta dan kehormatan kalian haram atas kalian seperti haramnya hari ini, di negeri ini, dan pada bulan ini.” (HR. Bukhari 105, Muslim 1679 dari hadits Abu Bakrah)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
كل المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه
“Setiap muslim atas muslim lainnya haram; darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim 2564)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
من صلى صلاتنا واستقبل قبلتنا وأكل ذبيحتنا فهو المسلم له ذمة الله ورسوله
“Siapa yang sholat seperti sholat kita, menghadap kiblat kita, dan memakan binatang sembelihan kita, maka ia adalah orang muslim, ia memilik jaminan keamanan dari Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari 391 dari hadits Anas bin Malik)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار. قيل: يا رسول الله! هذا القاتل، فما بال المقتول؟ قال: إنه أراد قتل صاحبه
“Apabila dua orang muslim saling menyerang dengan pedangnya, maka pembunuh dan yang terbunuh masuk neraka” Rasulullah ditanya: “(kalau) pembunuh (jelas), bagaimana dengan yang terbunuh?” beliau menjawab: “Sesungguh ia berniat untuk membunuh lawannya.” (HR. Bukhari/31, Muslim/2888 dari hadits Abu Bakrah)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لا ترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب بعض
“Jangan sampai kalian setelah aku (wafat) menjadi orang-orang kafir yang saling memenggal leher satu sama lain.” (HR. Bukhari 440, Muslim 1679 dari hadits Abu Bakrah)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إذا قال المسلم لأخيه: يا كافر، فقد باء بها أحدهما
“Apabila seorang muslim mengatakan kepada saudara (seislam): ‘Wahai orang kafir,’ maka perkataan itu pasti kembali kepada salah seorang dari keduanya.” (HR. Bukhari 6104 dari hadits Ibnu Umar). Semua hadits di atas terdapat dalam kitab-kitab shohih.
Jika seorang muslim dalam membunuh atau mengafirkan berdasarkan ta’wil maka ia tidak dihukumi kafir, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Khatthab kepada Hathib bin Abi Balta’ah: “Ya Rasulullah! izinkan saya memenggal leher orang munafik ini,” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya ia telah mengikuti perang Badar, tidakkah engkau tahu sesungguhnya Allah menyaksikan Ahlu Badr (yang mengikuti perang badr), lalu berfirman: ‘Berbuatlah semau kalian, sungguh Aku telah memberi ampunan kepada kalian ?!’” (hadits) ini terdapat dalam kitab shohih (HR. Bukhari 3007, Muslim 2494 dari hadits Ali)
Juga terdapat dalam kitab shohih hadits Al-Ifki (Kedustaan): “Bahwa Usaid bin Khudair berkata kepada Sa’ad bin Ubadah: ‘Sesungguhnya engkau adalah orang munafik membela orang munafik!’ kedua belah pihak saling bertengkar, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendamaikan antara keduanya.” (HR. Bukhari 2661 Muslim 2770 dari hadits Aisyah)
Mereka yang ikut perang Badar ada yang mengatakan kepada sesama mereka: “Sesungguhnya engkau orang munafik,” dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengafirkan yang ini dan tidak pula yang itu, bahkan beliau menjamin surga untuk mereka semua. Dan juga terdapat dalam shohih Bukhori dan Muslim dari Usamah bin Zaid bahwa ia telah membunuh seorang (musuh) setelah mengucapkan: “Laa ilaha illAllah”, setelah berita itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat murka, dan berkata: “Hai Usamah! Engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan: ‘Laa Ilaha illAllah’?” Beliau terus mengulangi pertanyaan itu, sampai-sampai Usamah menceritakan: “Saya berangan-angan seandainya saya belum masuk islam kecuali hari itu.” (HR. Bukhari 4269, Muslim 96 dari hadits Usamah bin Zaid). Meskipun begitu beliau tidak menghukuminya, tidak dengan qishash, membayar diyat dan tidak pula kaffarat, (hal itu) karena ia melakukan berdasarkan ta’wil, ia mengira boleh membunuh orang itu karena ia mengucapkan “Laa ilaha illAllah” hanya untuk melindungi diri.
Maka begitu pula halnya salafus sholeh yang saling berperang dalam peperangan Jamal dan Shiffin dan semacamnya, semua mereka adalah muslim dan mukmin sebagaimana yang difirmankan Allah:
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al Hujuraat: 9)
Allah ta’ala menjelaskan bahwasanya mereka bersaudara dalam keimanan meskipun mereka saling berperang dan saling menganiaya satu sama lain, dan Ia memerintahkan untuk mendamaikan antara mereka dengan cara yang adil. Oleh karena itu para salafus sholeh meskipun terjadi peperangan sesama mereka, satu sama lain saling berloyalitas karena agama, dan tidak saling bermusuhan seperti memusuhi orang kafir, sebagian mereka menerima persaksian sebagian yang lain, saling menimba ilmu, saling mewarisi, menikah, dan saling berinteraksi satu sama lain di atas dasar islam, walaupun mereka saling berperang.
Disebutkan dalam sebuah hadits shohih:
أن النبي  سأل ربه أن لا يهلك أمته بسنة عامة، فأعطاه ذلك، وسأله أن لا يسلط عليهم عدوا من غيرهم فأعطاهم ذلك، وسأله أن لا يجعل بأسهم بينهم فلم يعط ذلك.
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar umatnya tidak dibinasakan dengan bencana yang merata, lalu Allah mengabulkannya, dan beliau memohon agar umatnya tidak dikalahkan oleh musuh dari pihak selain diri mereka, lalu Allah mengabulkannya, dan beliau memohon agar tidak dijadikan kebinasaan mereka karena peperangan di antara saudara di antara mereka, maka Allah tidak mengabulkannya.” (HR. Muslim 2889 dari hadits Tsauban)
Beliau mengabarkan bahwa Allah tidak menimpakan kepada mereka (umatnya) musuh yang meluluh lantakkan mereka, sehingga sebagian mereka membunuh sebagian yang lain, dan sebagian mereka menjadikan sebagian lainnya sebagai tawanan.
Dan terdapat dalam shohih Bukhari dan Muslim bahwa tatkala turun ayat:
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَاباً مِنْ فَوْقِكُمْ
“Katakanlah: Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu dari atas kamu” Beliau berdoa: “Aku berlindung dengan wajahMu, “atau dari bawah kakimu.” Beliau berdoa: Aku berlindung dengan wajahMu, “atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain.” Beliau berkata: “Yang dua lebih ringan.” (HR. Bukhari 7313 dari hadits Jabir bin Abdillah).
Bersamaan dengan ini Allah memerintahkan untuk berkumpul dan bersatu, dan melarang dari bid’ah dan perpecahan, Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعاً لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawab terhadap mereka.” (Qs. Al-An’am: 159)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عليكم بالجماعة فإن يد الله مع الجماعة
“Hendaklah kalian bersatu, maka sesungguhnya Tangan Allah berada di atas persatuan.” (HR. Tirmidzi 2165, ia berkata: Hasan Shohih Gharib, dan Nasai 2165 dari hadits Ibnu Umar)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد
“Syaithan bersama orang yang sendirian, dan ia dari dua orang lebih jauh.” (HR. Tirmidzi 2165, ia berkata: Hasan Shoheh Gharib, dan Nasai 2165 dari hadits Ibnu Umar)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الشيطان ذئب الإنسان كذئب الغنم والذئب إنما يأخذ من القاصية والنائية من الغنم
“Syaithan adalah srigala bagi manusia, seperti halnya srigala kambing, dan srigala itu hanya memangsa kambing yang menyendiri dan memisah.” (HR. Ahmad (5/232), Thabrani (20/344 – 355), didhoifkan oleh ‘Iraqy sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Faidh karya Munawy (2/350), hanya saja ia mempunyai penguat terdapat dalam kitab Syu’ab karya Baihaqy 2860 kemungkinan ia menjadi kuat dengannya)
(Adhwaa min Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah oleh Syekh Sholeh Fauzan al-Fauzan 1/273).
–selesai–
***
Disusun oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Artikel www.muslim.or.id