Thursday, January 29, 2009

Ilmu Melahirkan Amalan

Posted: 27 Jan 2009 09:25 PM CST

Keutamaan Ilmu

Imam Ahmad mengatakan, “Menuntut ilmu dan mengajarkannya lebih utama daripada berjihad dan amal sunnah lainnya.” Karena ilmu itu adalah asas dan pokok segala urusan, bahkan dia merupakan ibadah paling agung serta kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang paling ditekankan. Bahkan dengan ilmulah Islam dan kaum muslimin tetap hidup.

Adapun ibadah-ibadah sunnah hanya akan memberikan manfaat bagi diri pelakunya sendiri dan tidak mengenai orang lain. Ilmu itulah warisan yang ditinggalkan para Nabi dan cahaya yang akan menerangi hati. Orang yang mewarisinya adalah golongan Allah dan pembela-Nya, mereka adalah orang yang paling utama di sisi Allah, paling dekat dengan-Nya, paling takut kepada-Nya serta paling tinggi derajatnya.” (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 11)

Ibarat Pohon yang Tak Berbuah

Namun ingat, bahwa ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang membuahkan amalan, itulah ilmu yang bermanfaat.

Syaikh Abdurrahman bin Qasim An Najdi rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu dicari demi mencapai sesuatu yang lain. Fungsi ilmu ibarat sebatang pohon, sedangkan amalan seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh.

Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama untuk menyalakan api neraka.

Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,

Orang alim yang tidak mau

Mengamalkan ilmunya

Mereka akan disiksa sebelum

Disiksanya para penyembah berhala. (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)

Ancaman Bagi Orang yang Berilmu Tapi Tidak Beramal

Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al Watr mengatakan, “Di dalam al-Qur’an Allah ta’ala sering sekali menyebutkan amal shalih beriringan dengan iman. Allah juga mencela orang-orang yang mengatakan apa-apa yang mereka tidak kerjakan. Dan Allah mengabarkan bahwa perbuatan seperti itu sangat dimurkai-Nya.

Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)

Di dalam shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadits Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan ada seseorang yang didatangkan kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Isi perutnya terburai, sehingga ia berputar-putar sebagaimana berputarnya keledai yang menggerakkan penggilingan. Penduduk neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka bertanya, ‘Wahai fulan, apakah yang terjadi pada dirimu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’. Dia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kalian berbuat baik akan tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang kemungkaran sedangkan aku sendiri justru melakukannya’.”

Oleh sebab itu ilmu harus diamalkan. Shalat harus ditegakkan. Zakat juga harus ditunaikan, dan lain sebagainya. Karena sesungguhnya Allah tidak memiliki tujuan lain dalam menciptakan makhluk kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 56)” (Lihat Taisirul Wushul, hal. 10)

Berilmu Tidak Beramal Menyerupai Kaum Yahudi

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Maksud perkataan beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), “Beramal dengannya” adalah beramal dengan perkara-perkara yang dituntut oleh ilmu ini, yaitu beriman kepada Allah, menaati-Nya dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Beramal dengan ibadah yang khusus maupun ibadah yang berdampak keluar. Ibadah yang khusus seperti shalat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah yang berdampak keluar ialah seperti beramar ma’ruf dan nahi munkar, berjihad di jalan Allah dan lain sebagainya.

Pada hakikatnya amal adalah buah ilmu. Barang siapa yang beramal tanpa ilmu maka dia telah menyerupai orang Nasrani. Dan barang siapa yang berilmu tapi tidak beramal maka dia telah menyerupai orang Yahudi.” (Lihat Syarhu Tsalatsatul Ushul, hal. 22)

Belum Layak Disebut ‘Alim Jika Belum Beramal

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Ilmu tidaklah dituntut melainkan supaya diamalkan. Yaitu dengan mewujudkan ilmu dalam praktek nyata, yang tampak dalam bentuk pola pikir seseorang dan perilakunya. Terdapat nash-nash syari’at yang mewajibkan untuk mengikuti ilmu dengan amalan dan agar akibat dari ilmu yang dipelajari muncul pada diri orang yang menuntut ilmu. Dan terdapat ancaman yang keras terhadap orang yang tidak beramal dengan ilmunya. Dan begitu pula bagi orang yang tidak memulai perbaikan dari dirinya sendiri sebelum memperbaiki diri orang lain. Dan dalil-dalil tentang hal itu sudah sangat populer dan dikenal.

Sungguh indah ucapan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang ‘Aalim itu masih dianggap Jaahil (bodoh) apabila dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka jadilah dia seorang yang benar-benar ‘Aalim.”

Ini adalah ungkapan yang sangat tepat. Karena apabila seseorang memiliki ilmu, akan tetapi dia tidak mengamalkan ilmu tersebut maka dia tetaplah disebut jahil. Sebab tidak ada perbedaan antara keadaan dirinya dengan keadaan orang yang jahil. Apabila dia berilmu tetapi tidak mengamalkannya maka orang yang alim itu belumlah pantas disebut sebagai orang berilmu yang sesungguhnya, kecuali bila di sudah beramal dengan ilmunya.” (Hushulul Ma’mul, hal. 16)

Beramal Adalah Sarana Mempertahankan Ilmu

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Kemudian perlu dimengerti pula bahwa sebenarnya beramal itu juga termasuk penyebab ilmu tetap ada dan bertahan. Oleh sebab itulah, dapat anda jumpai bahwa orang yang beramal dengan ilmunya akan mudah mengeluarkan ilmunya kapanpun dia mau.

Adapun orang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmu yang didapatkannya sangat cepat hilang. Sebagian ulama salaf mengatakan, “Dahulu kami mencari sarana pendukung dalam rangka menghafalkan hadits dengan cara mengamalkannya.”

Selain itu, ulama lain mengatakan, “Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu lain yang belum dia ketahui. Dan barang siapa yang tidak beramal dengan ilmu yang sudah diketahuinya maka sangat dikhawatirkan Allah akan melenyapkan ilmu yang dimilikinya.”

Perkataan ini dianggap hadits oleh sebagian orang, padahal sebenarnya itu bukan hadits. Sebab itu hanyalah ungkapan yang disebutkan Syaikhul Islam rahimahullah. Makna dari kalimat ‘Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dimilikinya’ adalah Allah akan menambahkan keimanan dan menyinari pandangan mata hatinya serta membukakan baginya berbagai jenis ilmu dan cabang-cabangnya.

Oleh sebab itulah anda temukan orang alim yang senantiasa beramal terus mendapatkan peningkatan dan memperoleh limpahan barakah dari Allah dalam hal waktu dan ilmunya. Dalil pernyataan ini terdapat di dalam kitabullah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tetap mencari petunjuk maka Allah akan tambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah anugerahkan kepada mereka ketakwaan.” (QS. Muhammad [47]: 17)

Asy Syaukani mengatakan, “Artinya Allah pasti akan menambahkan kepada mereka keimanan, dan ilmu serta bashirah dalam beragama. Sehingga maknanya orang-orang yang mencari hidayah dengan meniti jalan kebaikan, beriman kepada Allah, dan mengamalkan perintah-Nya niscaya Allah akan tambahkan keimanan, ilmu dan bashirah dalam beragama kepada mereka”. Maka seorang muslim hendaknya mengenali urgensi mengamalkan ilmu.” (Hushulul Ma’mul, hal. 17)

Ilmu Akan Menjadi Pembela Atau Penentangmu

Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Dan hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya.

Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.”

Ini bukan hanya berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut.

Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu.” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)

Hukum Bila Ilmu Tidak Diamalkan

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata, “Beramal dengan ilmu itu ada yang apabila ditinggalkan menyebabkan kekafiran, ada pula yang menyebabkan terjatuh dalam kemaksiatan, dan ada pula yang membuat dirinya terjatuh dalam perkara yang makruh, dan ada juga yang apabila ditinggalkan boleh. Lantas bagaimanakah maksudnya ?

Ilmu itu terbagi menjadi beberapa bagian. Ilmu tentang tauhid, yaitu meyakini bahwasanya Allah sajalah yang berhak diibadahi. Maka apabila seorang hamba mengetahui ilmu ini lalu tidak beramal dengan ilmu ini sehingga dia berbuat syirik kepada Allah jalla wa ‘ala maka ilmunya itu tidak akan bermanfaat baginya. Maka pada saat semacam itu bagi dirinya meninggalkan amalan menyebabkan dia kafir.

Dan terkadang bisa dikategorikan maksiat yaitu misalnya apabila seseorang mengetahui bahwa khamr haram diminum, dijual, dibeli, memberikan, memintanya, dan seterusnya. Kemudian dia menyelisihi ilmu yang dimilikinya padahal dia mengetahui keharamannya, tetapi dia tetap nekat melakukannya. Maka tindakannya ini dikategorikan kemaksiatan. Artinya dia telah terjatuh dalam dosa besar.

Dalam pembahasan ini, ada pula ilmu yang apabila tidak diamalkan dihukumi sebagai hal yang makruh. Seperti contohnya apabila seseorang mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dengan tata cara tertentu yang termasuk sunnah-sunnah shalat kemudian dia tidak mengamalkannya maka ini makruh hukumnya. Karena dia telah meninggalkan sebuah amal sunnah, bukan wajib. Sehingga hukum meninggalkannya adalah makruh saja sedangkan mengamalkannya hukumnya mustahab.

Dan terkadang beramal dengan ilmu itu mubah saja begitu pula mubah meninggalkannya. Seperti perkara-perkara mubah dan adat dan semacamnya. Seperti misalnya apabila sampai kepada kita hadits bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian dengan model tertentu, atau cara berjalan beliau adalah demikian dan demikian. Perkara-perkara ini adalah perkara manusiawi dan kebiasaan saja, sebagaimana sudah kita pelajari bahwa hal seperti ini tidak termasuk perkara yang kita diperintahkan untuk menirunya. Sehingga tidak mengerjakannya adalah mubah sebab seorang muslim memang tidak diperintahkan untuk meniru perkara-perkara semacam ini. Yaitu perkara-perkara seperti tata cara berjalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, suaranya, atau hal-hal lain yang termasuk perkara manusiawi dan kebiasaan saja yang dilakukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mengamalkan hal itu mubah saja. Dan terkadang bisa juga diberi pahala apabila disertai niat ingin meneladani beliau. Karena itulah maka meninggalkan amal dalam hal ini juga mubah…” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul, hal. 5)

Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Penuntut Ilmu Sejati

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Ustaimin rahimahullah menyebutkan bahwa salah satu adab yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang dimiliki. Beliau mengatakan, “Sudah seyogyanya penuntut ilmu beramal dengan ilmunya, baik yang terkait dengan masalah akidah, akhlak, adab maupun muamalah. Karena sesungguhnya inilah buah ilmu dan hasil yang bisa dipetik darinya.

“Seseorang yang membawa ilmu itu seperti orang yang membawa senjata. Bisa jadi senjata itu membelanya atau justru berbalik mengenai dirinya. Oleh sebab itulah terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Al-Qur’an adalah hujjah pembelamu atau yang menjatuhkanmu.” (HR. Muslim). Al-Qur’an akan membelamu jika kamu beramal dengannya. Dan dia akan berubah menjadi musuhmu apabila kamu tidak mengamalkannya…” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 32)

Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Da’i Sejati

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Salah satu akhlak dan sifat yang semestinya bahkan wajib dimiliki oleh da’i adalah beramal dengan isi dakwahnya. Dan hendaknya dia bisa menjadi teladan yang baik dalam perkara yang didakwahkannya. Bukan termasuk orang yang mengajak kepada sesuatu kemudian meninggalkannya. Atau melarang sesuatu tetapi kemudian dia sendiri justru melakukannya. Ini adalah keadaan orang-orang yang merugi, kita berlindung kepada Allah darinya.

Adapun keadaan orang-orang yang beriman dan beruntung adalah menjadi da’i kebenaran, mereka mengamalkan ajakannya, bersemangat melakukannya, bersegera mengerjakannya serta berusaha menjauhi perkara yang dilarangnya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang kalian sendiri tidak mengerjakannya. Sungguh besar murka Allah atas perkataan kalian terhadap sesuatu yang kalian sendiri tidak kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman dalam konteks celaan terhadap kaum Yahudi karena mereka menyuruh orang untuk berbuat baik sementara mereka sendiri melupakan diri sendiri, “Apakah kalian menyuruh orang untuk mengerjakan kebaikan sedangkan kalian melupakan kewajiban diri kalian sendiri. Padahal kalian juga membaca Al Kitab. Tidakkah kalian memahami.” (QS. Al Baqarah [2]: 44)…” (Wujuubu Da’wah ilallaah wa Akhlaaqu Du’aat, hal. 52)

Mengamalkan Ilmu Adalah Bagian dari Shirathal Mustaqim

Setiap kali shalat kita senantiasa memohon petunjuk kepada Allah agar diberi hidayah menuju dan meniti jalan yang lurus atau shirathal mustaqim. Apakah yang dimaksud shirathal mustaqim ?

Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)

Kemudian Allah memperjelas hakikat shirathal mustaqim ini di dalam ayat berikutnya, “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al Fatihah)

Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Shirathalladziina an’amta ‘alaihim adalah jalan para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan orang-orang shalih. “Bukan” jalan “orang-orang yang dimurkai” yaitu orang-orang yang telah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya, seperti halnya orang Yahudi dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka. Bukan pula jalan “orang-orang yang sesat” yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan, seperti halnya orang Nasrani dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)

Oleh sebab itulah kita dituntunkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah; baik hidayah ilmu (hidayatul irsyad) maupun hidayah amal (hidayatu taufiq) minimal 17 kali sehari semalam.

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Seandainya bukan karena betapa besar kebutuhan hamba untuk meminta hidayah sepanjang siang dan malam tentulah Allah tidak akan menuntunnya untuk melakukan hal itu.

Karena sesungguhnya seorang hamba senantiasa membutuhkan bimbingan Allah ta’ala pada setiap saat dan keadaan. Yaitu supaya dia memperoleh ketegaran di atas hidayah, mengokohkan diri di dalamnya, mendapatkan pencerahan, hidayah semakin bertambah dan terus menerus menyertai dirinya.

Karena seorang hamba tidak bisa menguasai barang sedikitpun manfaat maupun mudharat bagi dirinya sendiri, kecuali sebatas yang diinginkan Allah. Sehingga Allah ta’ala pun membimbingnya agar meminta petunjuk pada setiap waktu, yang dengan sebab itu Allah akan membentangkan pertolongan, ketegaran dan taufik kepadanya.

Maka orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala untuk selalu meminta petunjuk, karena Allah menjamin akan mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya. Terlebih lagi apabila orang yang meminta sedang berada dalam keadaan terjepit dan sangat merasa butuh kepada Allah, di waktu siang maupun malam… (Tafsir Ibnu Katsir, I/37-38)

Wallahul muwaffiq.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Pelajaran dari Jalur Gaza

Posted: 27 Jan 2009 01:48 AM CST

Petaka yang sedang menimpa umat Islam secara umum, dan yang sedang diderita oleh saudara-saudara kita di Jalur Gaza adalah menuntut kita untuk berpikir serius nan tulus. Kita mencari sumber permasalahan, kelemahan dan kekalahan, lalu kita membenahinya, satu demi satu.

Betapa tidak, jumlah umat Islam pada zaman ini telah mencapai seperlima dari penduduk dunia. Akan tetapi mengapa di berbagai belahan dunia, umat Islam senantiasa tertindas, terampas hak-haknya? Bukankah Allah ta’ala telah berjanji akan melimpahkan kejayaan, kemakmuran, dan kedamaian kepada mereka?

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS. An Nur: 55)

Mengapa sekarang ini, umat Islam di seluruh belahan bumi tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan kebengisan dan kekejaman zionis terhadap saudara kita di Jalur Gaza? Mengapa umat Islam saat ini hanya bisa berteriak, mengutuk? Bahkan karena merasa putus asa, mereka malah ikut menambah derita dengan demonstrasi yang mereka adakan? Jalan-jalan menjadi macet, berbagai sarana umum menjadi rusak. Tidak cukup sampai di situ, demonstrasi mereka semakin menambah lemah pemerintahan mereka sendiri. Pemerintah-pemerintahan negeri Islam saat ini menjadi disibukkan dengan kegiatan meredam berbagai aksi demonstrasi masyarakatnya.

Tidakkah ini semua menggugah hati nurani kita untuk berpikir dan mencari akar permasalahan?! Akankah hingga saat ini, kita hanya mampu menyalahkan musuh, dan mencari bukti tentang adanya permusuhan dan kekejaman mereka?!. Kapankah kita dapat mempercayai kabar Allah ta’ala bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah tenteram menyaksikan umat Islam hidup di dunia?

مَّا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ الْمُشْرِكِينَ أَن يُنَزَّلَ عَلَيْكُم مِّنْ خَيْرٍ مِّن رَّبِّكُمْ

“Orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrikin tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. Al Baqarah: 105)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin berkata: “Andai orang-orang kafir, dari kalangan Yahudi, Nasrani dan kaum musyrikin mampu untuk menghalangi turunnya hujan dari umat Islam, niscaya akan mereka lakukan. Itu karena mereka tidak senang bila kita mendapatkan kebaikan, walau hanya sedikit. Andai mereka mampu menghalangi kita dari memperoleh ilmu yang bermanfaat, niscaya pasti mereka melakukannya. Perangai buruk ini bukan hanya ada ahlul kitab dan kaum musyrikin yang hidup semasa dengan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam saja, akan perangai ini senantiasa ada pada mereka di sepanjang zaman. Oleh karena itu pada ayat ini Allah ta’ala mengungkapkan fakta ini dengan fi’il mudhari’ (ما يود ) yang berartikan bahwa perangai ini bersifat “terus menerus.”

Pada ayat lain Allah berfirman:

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu, hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqarah 120)

Oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengajak saudara-saudaraku untuk bersama-sama mencari akar permasalahan yang sedang kita hadapi:

Permasalahan Pertama: Lalai Akan Kehidupan Akhirat

Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menggambarkan fakta yang sedang kita alami ini kepada para sahabatnya:

(يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها ، فقال قائل: و من قلة نحن يومئذ ؟ قال: بل أنتم يومئذ كثير و لكنكم غثاء كغثاء السيل و لينزعن الله من صدور عدوكم المهابة منكم و ليقذفن الله في قلوبكم الوهن ، فقال قائل: يا رسول الله و ما الوهن ؟ قال حب الدنيا و كراهية الموت ). روا أحمد وأبو داود وغيرهما.

“Tidak lama lagi umat-umat lain akan saling menyeru untuk menggerogoti kalian bak para penyantap makanan saling menyeru sesama mereka untuk menyantap hidangannya.” Salah seorang sahabat bertanya: Apakah dikarenakan kita berjumlah sedikit kala itu? Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menjawab: Bahkan kalian kala itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian buih bak buih air bah. Allah sungguh akan menyirnakan rasa segan terhadap kalian dari jiwa musuh-musuhmu, dan Ia akan menimpakan penyakit “al wahanu” pada jiwa kalian. Salah seorang sahabat bertanya: Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan penyakit “al wahanu”? Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam menjawab: “Cinta kepada kehidupan dunia dan benci terhadap kematian.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain)

Pada hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:

(إذا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ الله عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لَا يَنْزِعُهُ حتى تَرْجِعُوا إلى دِينِكُمْ.) رواه أحمد وأبو داود والبيهقي وصححه الألباني

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘Inah, membuntuti ekor sapi, merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al Baihaqy dan dishohihkan oleh Al Albani)

Gambaran transaksi ‘inah adalah: A menjual barang dagangan, misalnya, seekor sapi, kepada B yang sedang membutuhkan uang, seharga Rp 2.000.000,- dengan pembayaran di hutang selama 5 bulan. Setelah transaksi jual beli ini selesai, dan sapi telah berpindah tangan kepada pembeli, yaitu B, pada gilirannya B menjual kembali sapi tersebut kepada A seharga Rp. 1.500.000,- dengan pembayaran kontan. Sehingga pada gambaran transaksi ini, A berhasil mendapatkan kembali sapinya, dan mendapatkan bunga/riba sebesar Rp. 500.000,- atas piutangnya.

Inilah akar permasalahan pertama, kita terlalu disibukkan dengan urusan dunia sehingga lalai dengan urusan akhirat kita. Untuk sedikit membuktikan akan penyakit ganas yang sedang menggerogoti kita ini, saya mengajak saudara-saudaraku seiman untuk bersama-sama menjawab pertanyaan berikut:

1. Setiap kali adzan dikumandangkan, berapakah jumlah orang yang menghentikan kegiatannya dan mendirikan shalat berjama’ah di masjid?
2. Berapakah jumlah penonton konser suatu klub musik dan pertandingan sepak bola?
3. Berapakah wanita yang berjilbab dengan baik dan benar?
4. Pernahkah kita memikirkan bagaimana dan dengan apa kita memperjuangkan kemajuan dan kejayaan umat Islam?
5. Berapa banyak jumlah bar, pabrik rokok, tempat “remang-remang” di negeri Islam?
6. Pernahkah kita tatkala sedang menyendiri lalu memanjatkan doa kepada Allah untuk saudara-saudara kita seiman dan seakidah?

Tidak heran bila salah seorang ahli ibadah mendengar berbagai pemberitaan tentang kebengisan kaum Zionis di Jalur Gaza, berkata:

أي نصر يرجى لأمة عند صلاة الفجر نائمون وعند صلاة العصر لاعبون وعند صلاة العشاء أمام المسلسلات ساهرون.

“Kemenangan bagaimanakah, yang kita harapkan akan terwujud bagi umat yang bila shalat subuh tiba, larut dalam tidur nyenyak, bila shalat ashar tiba, sedang hanyut dalam permainan, dan bila shalat ‘Isya’ tiba, asyik menonton sinetron.”

Singkat kata, umat islam saat ini belum memenuhi persyaratan Allah ta’ala, karenanya Allah ta’ala belum memenuhi janji-Nya pada ayat di atas:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS. An Nur: 55)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Karena para sahabat -semoga Allah meridhoi mereka- sepeninggal Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam adalah orang paling banyak menegakkan perintah-perintah Allah, dan paling taat kepada Allah azza wa Jalla, maka pertolongan yang mereka dapatkan sesuai dengan amalan mereka. Mereka menegakkan kalimat Allah di belahan bumi bagian timur dan barat, maka Allah benar-benar meneguhkan mereka. Sehingga mereka berhasil menguasai umat manusia dan berbagai negeri. Dan tatkala umat Islam sepeninggal mereka melakukan kekurangan dalam sebagian syari’at, maka kejayaan mereka berkurang selaras dengan amalan mereka.”

Permasalahan Kedua: Terperdaya Oleh Kemajuan Musuh

Tidak kita pungkiri bahwa musuh-musuh umat Islam berhasil mencapai kemajuan dalam hal materi, ilmu pengetahuan dan persenjataan. Sebagaimana, kita juga mengakui bahwa saat ini umat Islam dalam keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan. Begitu jauhnya keterbelakangan umat Islam, sampai-sampai jarum jahitpun harus didatangkan dari negeri kafir.

Fenomena ini menjadikan banyak dari kita ditimpa down mental, sehingga kita berusaha mengais kemuliaan dengan membeo dan bahkan “mengabdi” kepada mereka. Berbagai lapisan masyarakat Islam menyerukan agar kita meneladani berbagai peradaban barat. Kita senantiasa siap untuk mengorbankan berbagai prinsip dan akidah kita demi mengais apa yang disebut dengan kemajuan dan tekhnologi. Kita beranggapan bahwa kejayaan pasti tercapai bila kita meniru mereka.

Tidak hanya berhenti pada meniru, bahkan pada saat-saat ditimpa musibah dan petaka seperti sekarang ini, umat Islam mengemis pertolongan dan pembelaan kepada mereka.

Kita lalai bahwa kejayaan, kemuliaan hidup dan pertolongan hanya dapat terwujud dengan iman dan ibadah kepada Allah ta’ala:

الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعًا

“Orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman penolong (pembela) dengan meninggalkan orang-orang yang beriman. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang-orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kemuliaan itu hanyalah kepunyaan Allah.” (QS. An Nisa 139)

Tidakkah umat Islam merenungkan pesan Khalifah Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ‘anhu tatkala datang ke Baitul Maqdis untuk menerima langsung kunci pintu Baitul Maqdis dari para pendeta ?

Setiba Khalifah Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ‘anhu di Palestina, beliau segera menuju ke Baitul Maqdis. Di tengah perjalanan, beliau melewati suatu parit. Tanpa pikir panjang, beliau segera menuntun untanya dan melepas kedua terompahnya lalu meletakkan keduanya di bahu beliau. Menyaksikan pemandangan yang demikian ini, sahabat Abu Ubaidah Al Jarrah berkomentar: Wahai Amirul Mukminin, Engkau melakukan hal ini, melepas kedua terompahmu, lalu meletakkan keduanya di atas bahumu, serta menyeberangi parit sambil menuntun unta. Sungguh aku mengkhawatirkan bila saat ini ada penduduk setempat yang menyaksikanmu. Mendengar ucapan ini, Khalifah Umar bin Al Khatthab menjadi tersentak dan berkata: Aduh! Andai yang berkata demikian adalah selain engkau, niscaya aku akan menghukumnya. Lalu beliau berkata:

إنا كنا أذل قوم فأعزنا الله بالإسلام فمهما نطلب العز بغير ما أعزنا الله به أذلنا الله . رواه الحاكم

“Sesungguhnya dahulu, kita adalah orang yang paling hina, lalu Allah memuliakan kita dengan menurunkan agama Islam, maka acapkali kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kita.” (HR. Al Hakim)

Saudaraku, tidakkah kita menyimak lalu mengamalkan wasiat pemimpin umat Islam pertama yang berhasil membebaskan Masjid Al Aqsha ini?

Sejarah telah menjadi bukti nyata akan wasiat Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu ini. Tatkala Shalahuddin Al Ayyubi hendak membebaskan Baitul maqdis dari belenggu pasukan salib, beliau memulainya dengan mendidik pasukannya untuk meningkatkan iman dan amal saleh, terutama shalat malam. Setiap kali beliau melewati sebagian pasukannya yang sedang membaca Al Qur’an atau shalat malam beliau berkata:

من هنا يأتي النصر

“Dari sinilah kemenangan akan datang.”

Sebaliknya bila ia melewati sebagian pasukannya yang sedang terlelap tidur, beliau berkata:

من هنا تأتي الهزيمة

“Dari sinilah kekalahan akan datang.”

Permasalahan Ketiga: Mempercayai Setiap Penebar Semangat

Pada saat terjadi petaka atau kejadian besar semacam ini, setiap orang memberikan ulasan, dan pandangannya. Setiap pengamat dengan berbagai latar belakang, aliran, dan bahkan kepentingan, mengutarakan ulasannya. Hal ini tidak mengherankan, yang mengherankan adalah bila umat Islam mempercayai dan membeo dengan setiap pahlawan kesiangan tersebut. Akibat dari sikap tidak terpuji ini, umat Islam di mana saja sering menjadi kelinci percobaan, bahkan tumbal bagi berbagai kalangan untuk mewujudkan kepentingannya.

Terlebih-lebih di negeri seperti negeri kita tercinta, Indonesia, terlebih lagi pada saat-saat pemilu. Berbagai partai menggunakan nama Islam, dan mengesankan sebagai pahlawan yang siap hidup dan mati demi umat Islam. Berbagai slogan, semboyan, dan janji diumbar, sehingga kebanyakan umat Islam menjadi terbuai karenanya. Akan tetapi bila masa-masa kampanye telah berlalu, semuanya sirna bak fatamorgana. Bahkan dengan tanpa rasa malu sedikitpun, berbagai partai Islam atau tokoh muslim menikmati jabatannya, tanpa menengok sedikitpun kepada kepentingan umat islam.

Saudaraku, pada saat-saat seperti ini, Allah ta’ala telah mengajarkan agar umat Islam senantiasa menyerahkan urusan mereka kepada waliyul amri di antara mereka. Waliyul amri dari kalangan ulama’ dan juga waliyul amri dari kalangan pemimpin mereka. Allah ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syetan, kecuali sebagian sedikit saja (diantaramu).” (QS. An Nisa’: 83)

Ibnu Katsir mengomentari ayat ini dengan berkata: “Ayat ini mengingkari perbuatan sebagian orang yang terburu-buru dalam mempublikasikan setiap kejadian, padahal ia belum mendapatkan kejelasan dan duduk perkaranya dengan baik.”

Permasalahan Keempat: Perpecahan Umat Islam Biang Kehinaan

Menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam di atas al haq (kebenaran) adalah salah satu prinsip pokok dalam syariat Islam, sebagaimana telah ditegaskan dalam firman Allah ta’ala:

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا الله نعمة الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بينكم فأصبحتم بنعمته إخوانا

“Dan berpegang teguhlah kamu semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran 103)

Lebih detil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan persatuan yang seyogyanya dibina oleh umat islam melalui sabdanya

عن النعمان بن بشير قال : قال رسول الله (مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى) رواه مسلم

“Dari sahabat Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Perumpamaan kaum mukminin dalam hal kecintaan, kasih sayang, dan bahu-membahu sesama mereka, bagaikan satu tubuh, bila ada anggota tubuh itu yang menderita, niscaya anggota tubuh lainnya akan sama-sama merasakan susah tidur dan demam.” (Riwayat Muslim)

Sebaliknya, perpecahan dan perselisihan adalah suatu hal yang terlarang dalam syari’at Islam, sebagaimana ditegaskan pada ayat di atas, dan juga pada firman Allah berikut:

ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وألئك لهم عذاب عظيم يوم تبيض وجوه وتسود وجوه

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang kepada mereka keterangan yang jelas. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula muka yang hitam muram.” (QS Ali Imran 105)

Ayat-ayat yang melarang perpecahan dan memerintahkan persatuan sangatlah banyak. Ini menunjukkan akan betapa pentingnya persatuan bagi kelangsungan umat Islam dan betapa besar kerusakan yang akan menimpa mereka bila mereka berpecah-belah. Bahkan Allah ta’ala telah menegaskan bahwa perpecahan adalah sumber utama bagi kehancuran dan runtuhnya kejayaan umat Islam:

وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, serta janganlah engkau saling berselisih, akibatnya engkau akan mengalami kegagalan dan akan sirna kekuatanmu serta bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal 46)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak kesempatan juga senantiasa mengingatkan umatnya akan kewajiban bersatu di atas kebenaran dan haramnya segala macam bentuk perpecahan.

Walau demikian adanya, umat islam di segala penjuru dunia kurang mengindahkan syari’at Allah ini. Kita dapatkan bahwa umat Islam terpetak-petak ke dalam berbagai kelompok, partai dan sekte. Ini semua membuktikan akan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

(إن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين ثنتان وسبعون في النار وواحدة في الجنة وهي الجماعة) رواه أحمد وأبو داود وابن أبي عاصم والحاكم وصححه الألباني

“Dan (pemeluk) agama ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka, dan (hanya) satu golongan yang masuk surga, yaitu Al Jama’ah.” (HRS Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Abi ‘Ashim dan Al Hakim, dan dishohihkan oleh Al Albani)

Inilah di antara penyebab utama bagi terjadinya petaka yang menimpa saudara kita di Jalur Gaza. Dalam satu negara ada dua kepemimpinan, dan dua partai yang saling bertentangan dan berperang.

Oleh karena itu, solusi pertama yang harus kita tempuh untuk mengentaskan penderitaan saudara kita adalah dengan menyatukan mereka. Sudah saatnya bagi umat Islam untuk menempuh segala macam cara untuk menyatukan berbagai kekuatan dan aliran yang ada di Palestina. Sudah saatnya bagi segala kekuatan yang ada di Palestina untuk meninggalkan segala kepentingan pribadi dan golongan, serta mendahukan kepentingan umat islam.

Sudah saatnya umat Islam untuk kembali meneladani uswah kaum Aus dan Khajraj. Dahlu, kaum Aus dan Khajraj senantiasa berperang dan bertikai demi merebutkan kepemimpinan. Akan tetapi setelah mereka memeluk agama Islam, mereka bersatu dan melupakan segala perbedaan, dendam kabilah dan kepentingan. Mereka bersatu padu, seiya dan sekata, tiada kepentingan yang mereka perjuangkan selain keridhaan Allah.

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka. Lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran 103)

Tidakkah tiba saatnya bagi umat Islam untuk mengambil pelajaran dari jatuhnya kembali bumi Andalus yang indah nan permai ke tangan penyembah salib? Perpecahan antara umat Islam, dan masing-masing kelompok berusaha menjatuhkan kelompok lainnya. Bahkan masing-masing kelompok tidak segan-segan untuk bersekongkol dengan kaum nasrani guna meruntuhkan saudaranya sesama muslim. Suatu fenomena yang memilukan, sampai-sampai salah seorang penyair berkata:

مما يزهدني في أرض أندلس * سماع معتصم فيها ومعتضد

ألقاب مملكة في غير موضعها * كالهر يحكي انتفاخا صولة الاسد

Diantara yang menjadikanku meninggalkan bumi Andalusia

Adanya julukan Mu’tashim dan Mu’tadhid.

Julukan para raja yang tidak pada tempatnya

Bak Kucing yang meniru kegagahan singa.

Demikianlah yang kita rasakan di negeri Islam saat ini, berbagai organisasi yang menamakan dengan nama-nama Islam, partai islam, pembela islam, pejuang islam, persatuan mujahidin dan lainnya. Akan tetapi bila kita periksa dengan seksama, niscaya kita dapatkan tak lebih dari para pengais jabatan dan uang.

Bila ada yang tidak percaya, maka silakan mengoreksi berbagai partai islam dan ormas islam yang ada. Semuanya dipimpin oleh orang yang tidak berilmu, atau kalaupun ada yang berilmu, maka itu hanya sedikit. Penampilan anggotanya tidak mencerminkan sebagai seorang muslim, bahkan tidak jarang sebagian anggotanya dari penganut agama lain, terutama di cabang-cabang yang ada di wilayah Indonesia timur.

Permasalahan Kelima: Berperang Tanpa Mempersiapkan Kekuatan

Andai Allah menghendaki agar para nabi dan pengikutnya berjaya dan menguasai dunia tanpa harus berperang melawan musuh, niscaya hal itu akan terjadi. Akan tetapi Allah ta’ala telah menentukan bahwa dunia adalah alam percobaan dan ujian. Para nabi dan pengikutnya diuji dengan adanya orang-orang yang kufur, orang yang kaya di uji dengan yang miskin, dan demikianlah seterusnya.

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya.” (QS. Yunus 99)

Pada ayat lain Allah berfirman:

ذَلِكَوَلَوْ يَشَاء اللَّهُ لَانتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِن لِّيَبْلُوَ بَعْضَكُم بِبَعْضٍ

“Demikianlah, andai Allah menghendaki, niscaya Allah akan mengalahkan/membinasakan mereka, akan tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain.” (QS. Muhammad 4)

Bila demikian adanya, tidak heran bila pada ayat selanjutnya Allah ta’ala memberikan umat Islam resep yang manjur untuk mengalahkan musuh-musuhnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman,jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu, dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad 7)

Inilah sumber kekuatan pertama yang harus dipersiapkan oleh umat Islam. Umat Islam berjuang dan berperang dengan menggunakan kekuatan iman dan amal sholeh mereka. Mereka senantiasa bertawakkal dan mengharapkan pertolongan kepada Allah.

Inilah yang mendasari Kholifah Umar bin Abdul Aziz untuk berpesan kepada salah seorang panglima perangnya sebagaimana berikut:

“Hendaknya engkau senantiasa bertakwa kepada Allah dalam setiap situasi yang engkau hadapi, karena ketakwaan kepada Allah adalah senjata paling ampuh, taktik paling bagus, dan kekuatan paling hebat. Janganlah engkau dan kawan-kawanmu lebih waspada dalam menghadapi musuh dibanding menghadapi perbuatan maksiat kepada Allah. Karena perbuatan dosa lebih aku khawatirkan atas masyarakat dibanding tipu daya musuh mereka. Kita memusuhi musuh kita dan mengharapkan kemenangan atas mereka berkat tindak kemaksiatan mereka. Kalaulah bukan karena itu, niscaya kita tidak kuasa menghadapi mereka, karena jumlah kita tidak seimbang dengan jumlah mereka, kekuatan kita tidak setara dengan kekuatan mereka. Bila kita tidak mendapat pertolongan atas mereka berkat kebencian kita terhadap kemaksiatan mereka, niscaya kita tidak dapat mengalahkan mereka hanya dengan kekuatan kita.

Jangan sekali-kali kalian lebih mewaspadai permusuhan seseorang dibanding kewaspadaanmu terhadap dosa-dosamu sendiri. Janganlah kalian lebih serius menghadapi mereka dibanding menghadapi dosa-dosa kalian.

Ketahuilah bahwa kalian senantiasa diawasi oleh para malaikat pencatat amalan. Mereka mengetahui setiap perilaku kalian sepanjang perjalanan dan peristirahatan kalian. Hendaknya kalian merasa malu dari mereka, dan berlaku santun dihadapan mereka. Jangan sekali-kali menyakiti mereka dengan tindak kemaksiatan kepada Allah, padahal kalian mengaku sedang berjuang di jalan Allah.

Janganlah sekali-kali kalian beranggapan bahwa: “Sesungguhnya (perbuatan) musuh-musuh kita lebih jelek dibanding kita, sehingga tidak mungkin mereka dapat mengalahkan kita, walaupun kita berbuat dosa. Betapa banyak kaum yang telah dikuasai oleh orang-orang yang lebih jelek, akibat dari perbuatan dosa kaum tersebut.”

Mohonlah pertolongan kepada Allah dalam menghadapi diri kalian, sebagaimana kalian memohon pertolongan kepada-Nya dalam menghadapi musuh kalian. Sebagaimana kamipun turut memohon hal tersebut untuk diri kita dan juga untuk kalian.” (Hilyatul Auliya’, oleh Abu Nu’aim Al Ashbahaany 5/303)

Kekuatan kedua yang belum dipersiapkan oleh umat Islam saat ini ialah kekuatan materi, persenjataan, dan teknologi. Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam dimanapun mereka berada menggantungkan diri kepada musuh-musuh mereka dalam hal persenjataan. Saat ini, Negara Islam terkuat dalam hal persenjataan adalah negara kafir terlemah. Betapa tidak, sebagian besar atau bahkan seluruh persenjataan yang dimiliki oleh negara Islam adalah hasil beli atau bahkan piutang dari negara kafir.

Kita semua ingat tatkala negara kita dikenai embargo persenjataan oleh Amerika dan Inggris, hampir setiap bulan, satu demi satu pesawat tempur kita jatuh, dan yang tidak jatuh pun tidak dapat digunakan.

Dan saya juga yakin bahwa antum juga mengetahui bahwa berbagai radar yang dipasang di negeri kita adalah hasil hibah atau bahkan piutang dari negara-negara kafir.

Sebagaimana kita juga tidak dapat pungkiri bahwa negara kita adalah negara Islam terbesar dan termasuk negara Islam yang cukup kuat bila dibanding dengan negara-negara Islam lainnya.

Saya juga yakin bahwa kita semua tahu bahwa negara kafir tetangga, yaitu Singapura, yang penduduknya tidak sampai satu juta, jauh lebih canggih dan lebih kuat persenjataannya bila dibanding dengan negara Islam manapun.

Bila demikian adanya, maka mana mungkin bagi umat Islam mampu menakut-nakuti negara kafir, apalagi mengalahkannya.

Semua ini kita alami, padahal Allah ta’ala telah memerintahkan kita agar senantiasa membekali diri dengan persenjataan yang dapat menjadikan musuh segan atau takut terhadap kita:

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang dipersiapkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya.” (QS. Al Anfaal: 60)

Syaikh Abdurrahman As Sa’dy berkata: “Apabila pada zaman sekarang telah ada persenjataan yang lebih menakutkan musuh dibanding kuda dan memanah, misalnya: kendaraan tempur darat ataupun udara (pesawat tempur) yang dipersiapkan untuk berperang. Dengan senjata-senjata itu kita lebih mudah untuk meruntuhkan musuh, maka kita diperintahkan untuk mempersiapkan dan berusaha untuk memilikinya. Sampai pun bila persenjataan itu tidak dapat diperoleh melainkan dengan terlebih dahulu mempelajari ilmu perindustrian, maka mempelajari ilmu itu wajib hukumnya. Yang demikian itu berdasarkan kaidah:

ما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب

“Apabila ada suatu hal yang suatu amalan wajib tidak dapat terlaksana melainkan dengannya, maka hal tersebut adalah wajib.”

Apalah gunanya senapan, bebatuan bila berhadapan dengan pesawat tempur, tank lapis baja, kapal perang dan berbagai persenjataan canggih lainnya. Mungkinkah musuh akan merasa takut dan gentar bila berhadapan dengan umat Islam yang hanya berbekalkan senapan, katapel, dan beberapa jenis kendaraan perang ringan?

Berdasarkan penjelasan ini, kita semua dapat menyimpulkan bahwa kejayaan umat Islam bukan hanya menjadi tanggung jawab kelompok tertentu saja. Agama Islam bukan hanya milik para ustadz, atau negara arab saja, akan tetapi agama Islam adalah milik dan tanggung jawab kita bersama. Masing-masing dari kita wajib untuk memperjuangkan agamanya, dan berkorban untuk akidahnya. Kita semua berjuang sesuai dengan potensi kita masing-masing, tanpa perlu saling mendahului, atau berebut.

Para da’i berjuang dengan ilmu agamanya, para konglomerat muslim berjuang dengan hartanya, para ilmuwan berjuang dengan ilmunya, para pejabat berjuang dengan jabatannya, wartawan muslim berjuang dengan penanya, dan demikian seterusnya.

Betapa indahnya gambaran yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kerjasama yang saling melengkapi ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(إن الله عز وجل يدخل بالسهم الواحد ثلاثة نفر الجنة صانعه يحتسب في صنعته الخير والرامي به ومنبله) رواه أحمد وأبو داود وغيرهما.

“Sesungguhnya Allah azza wa Jalla dengan satu anak panah, memasukkan tiga orang ke dalam surga: pembuatnya yang mengharapkan pahala ketika ia membuatnya, pemanahnya, dan orang yang membantu pemanah dengan mengambilkan anak panahnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya)

Kabar Gembira

Sedahsyat apapun musibah yang menimpa umat Islam, sekejam apapun kejahatan musuh-musuh Islam, dan dengan cara apapun mereka berusaha menumpas umat Islam, kejayaan pasti menghampiri umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

يُرِيدُونَ لِيُطْفِؤُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“mereka menginginkan untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir benci.” (QS. As Shaff: 8)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك). رواه مسلم

“Akan terus ada sekelompok dari umatku yang akan berjaya di atas kebenaran, tiada membahayakan mereka perilaku orang-orang yang mengkhianati mereka. Mereka terus berjaya hingga datang urusan Allah (hari kiamat), sedangkan mereka tetap berjaya.” (HR. Muslim)

Berdasarkan ini semua, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk berputus asa, atau keluar dari syariat Allah dalam mengupayakan kejayaan Islam. Marilah kita merajut kembali kejayaan dan kemenangan umat Islam dengan kembali mengobarkan iman dan amal saleh. Kita memulai rajutan ini dari diri kita, keluarga, kerabat, tetangga dan masyarakat sekitar. Hanya dengan demikian, kita dapat mempersiapkan diri bagi turunnya pertolongan Allah dan kerahmatan-Nya:

إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Al Mukmin: 51)

Pada ayat lain Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ

“Dan sungguh-sungguh telah Kami tuliskan (tetapkan) di dalam Zabur sesudah (Kami tuliskan dalam Lauh Mahfuzh) bahwasannya bumi ini akan di warisi oleh hamba-hambaKu yang saleh.” (QS. Al Anbiya’: 105)

Bila masing-masing kita benar-benar telah memulai rajutan iman dan amal saleh, niscaya pertolongan Allah akan segera turun. Tidak sepantasnya bagi umat yang beriman kepada Allah ta’ala untuk berputus asa, berkecil hati, sebagaimana tidak sepantasnya berlaku terburu-buru dalam perjuangan. Sikap terburu-buru hanyalah akan mendatangkan kegagalan.

من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه

“Barang siapa yang tergesa-gesa dalam mencapai sesuatu, niscaya akan diganjar dengan kegagalan.”

Imam Bukhari meriwayatkan dari sahabat Khabbab bin Arat radhiyallahu ‘anhu, bahwa pada suatu hari beliau mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berbaring di bawah naungan Ka’bah berbantalkan selimutnya. Lalu sahabat Khabbab berkata kepada beliau: Tidakkah engkau memohonkan pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami? Maka beliau menjawab: Dahulu pada umat sebelum kalian ada orang yang ditimbun dalam tanah, kemudian didatangkan gergaji, lalu diletakkan di atas kepalanya hingga terbelah menjadi dua. Siksa itu tidaklah menjadikan ia berpaling dari agamanya. Dan ada yang disisir dengan sisir besi, hingga terkelupas daging, dan nampaklah tulang atau ototnya, akan tetapi hal itu tidaklah menjadikan ia berpaling dari agamanya. Sungguh demi Allah, urusan ini akan menjadi sempurna, sehingga akan ada penunggang kendaraan dari Sanaa’ hingga ke Hadramaut, sedangkan ia tidaklah merasa takut kecuali kepada Allah atau serigala atas dombanya. Akan tetapi kalian adalah orang-orang yang terburu-buru.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kisah ini kembali menggugah keimanan Khabbab kepada janji Allah. Sebagaimana Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegur sahabat Khabbab agar meninggalkan sikap terburu-buru dalam perjuangan di jalan Allah.

Sahabat Khabbab radhiyallahu ‘anhu yang hanya meminta agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan pertolongan sebelum ada faktor pendukung terwujudnya kemenangan, dinyatakan sebagai sikap terburu-buru, maka bagaimana halnya dengan sikap banyak dari umat Islam pada zaman ini. Dari mereka ada yang menempuh jalan demonstrasi, pengeboman, pendirian partai politik, dan menggalang dukungan dari siapapun, serta berkoalisi dengan partai apapun, tanpa perduli dengan asas dan ideologinya. Semua ini mereka lakukan di bawah slogan: menyegerakan kejayaan bagi umat Islam?!! Mengusahakan jaminan hidup bermartabat bagi umat Islam?! Memperjuangkan nasib kaum muslimin?!! Bahkan dari mereka ada yang berkata: Bila umat islam tidak masuk parlemen, maka siapakah yang akan menjamin nasib mereka?!

Seakan-akan mereka tidak pernah mendengar jaminan dan janji Allah di atas.

Seusai perjanjian Hudaibiyyah ditandatangani, sahabat Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu yang tidak kuasa melihat sahabat Abu Jandal radhiyallahu ‘anhu diserahkan kembali ke orang-orang Quraisy, berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Bukankah engkau adalah benar-benar Nabiyullah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Ya. Umar pun kembali berkata: Bukankah kita di atas kebenaran, sedangkan musuh kita di atas kebatilan? Nabi pun menjawab: Ya! Umar pun berkata: Lalu mengapa kita pasrah dengan kehinaan dalam urusan agama kita, bila demikian adanya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Sesungguhnya Aku adalah Rasulullah, dan aku tidak akan menyelisihi perintah-Nya, dan Allah adalah Penolongku. Umar kembali berkata: Bukankah engkau pernah mengabarkan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Ka’bah, kemudian berthawaf di sekelilingnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Iya, dan apakah aku pernah mengabarkan bahwa kita akan mendatangi Ka’bah pada tahun ini?Umar pun menjawab: Tidak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpalinya: Sesungguhnya engkau akan mendatanginya, dan akan bertawaf mengelilinginya. (Muttafaqun ‘alaih)

Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha meneguhkan kembali keimanan Umar bin Khatthab kepada janji Allah agar tidak tergoyah. Dan mengingatkannya agar bersabar dalam menanti datangnya pertolongan Allah, yaitu dengan tetap taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah seyogyanya pertolongan Allah ta’ala digapai. Yaitu dengan keimanan yang benar dan kokoh dan kesabaran yang teguh. Allah ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan dari mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, ketika mereka bersabar dan adalah mereka selalu meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah: 24)

Ibnul Qayyim berkata: “Pada ayat ini Allah ta’ala mengabarkan bahwa Ia telah menjadikan mereka (pengikut nabi Musa -pen) sebagai pemimpin-pemimpin yang dijadikan panutan oleh generasi setelah mereka, berkat kesabaran dan keyakinan mereka. Sebab dengan kesabaran dan keyakinan, kepemimpinan dalam hal agama dapat dicapai. Karena seorang penyeru kepada jalan Allah ta’ala, tidaklah akan terealisasi cita-citanya, melainkan bila ia benar-benar yakin akan kebenaran misi yang ia surukan, ia menguasai ilmu tentangnya. Ia juga bersabar dalam menjalankan dakwah menuju jalan Allah, yaitu dengan tabah menahan beban dakwah dan menahan diri dari segala hal yang akan meluluhkan tekad dan cita-citanya. Barang siapa demikian ini halnya, maka ia termasuk para pemimpin yang telah mendapat petunjuk dari Allah ta’ala.”

Pada akhir tulisan ini, saya hanya dapat berdoa kepada Allah ta’ala agar senantiasa melimpahkan taufik dan ‘inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat istiqamah di atas kebenaran.

اللهم ربَّ جبرائيلَ وميكائيلَ وإسرافيلَ فاطَر السَّماواتِ والأرضِ، عالمَ الغيبِ والشَّهادة، أنتَ تحْكُمُ بين عِبَادِك فيما كانوا فيه يَخْتَلِفُون، اهْدِنَا لِمَا اخْتُلِفَ فيه من الحق بإِذْنِكَ؛ إنَّك تَهْدِي من تَشَاء إلى صراط مستقيم. وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. والله أعلم بالصَّواب، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.

“Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami –atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Shalawat dan salam dari Allah semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Dan Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: “segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam”. Amin

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Bin Badri
Artikel www.muslim.or.id

Seputar Gerhana Matahari (2)

Posted: 24 Jan 2009 04:35 AM CST

Hal-Hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana

Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)

Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.

Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)

Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4/10)

Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,

فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا

”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)

Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2/430)

Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria.

Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,

أَتَيْتُ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ

“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari no. 1053)

Bukhari membawakan hadits ini pada bab:

صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ

”Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”

Ibnu Hajar mengatakan,

أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى

”Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari, 4/6)

Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/345)

Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan “ash sholatu jaami’ah” dan tidak ada adzan maupun iqomah.

Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,

أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901). Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.

Kelima: berkhutbah setelah shalat gerhana.

Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan hadits:

عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.

Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”

Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. (Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433)

Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai tata caranya.

Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)

Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)

“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Ringkasnya, agar tidak terlalu berpanjang lebar, tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:

[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.

[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:

جَهَرَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’

[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).

[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.

[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

[11] Salam.

[12] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)

Nasehat Terakhir

Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ ».

Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:

Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. (Syarh Muslim, 3/322)

Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.

Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga kaum muslimin yang lain juga dapat mengetahui hal ini. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dapat beramal sholih dan semoga kita selalu diberkahi rizki yang thoyib.

Pangukan, Sleman, 25 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Seputar Gerhana Matahari (1)

Seputar Gerhana Matahari (1)

Posted: 24 Jan 2009 04:05 AM CST

Ada berita menarik yang kami peroleh dari beberapa situs. Berita tersebut adalah:

Akhirnya, setelah sekian lama, gerhana matahari akan segera menyapa Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, 3 gerhana matahari secara berturut-turut akan melewati Indonesia dalam rentang waktu 2009 - 2010. Sayangnya, tidak semua bagian di wilayah Indonesia dapat melihat fenomena ini. Karena, ketiga gerhana ini cuman melewati bagian barat dan/atau utara indonesia.

Tahun 2009 tercatat ada dua gerhana yang akan melewati Indonesia, yaitu pada tanggal 26 Januari dan 21-22 Juli, sementara itu, gerhana matahari akan kembali menyenggol kita pada tanggal 15 Januari 2010.

Fenomena ini sangat disayangkan untuk dilewatkan, karena gerhana matahari baru akan menyapa kita kembali pada tahun 2016.

Gerhana tanggal 26 Januari dapat dilihat oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia (Dari Banda Aceh sampai Ambon), beruntunglah mereka yang tinggal di daerah Lampung, Samarinda, dan Teluk betung, karena bulan menutup hampir seluruh bagian matahari. Gerhana ini terjadi pada waktu sore hari sekitaran pukul 3 - 4.

Yang perlu diperhatikan dari jenis gerhana ini adalah jenis gerhana ini adalah gerhana matahari anular (bukan total) artinya ukuran bulan tidak cukup besar untuk menutupi seluruh priringan matahari berbeda dengan gerhana matahari total dimana bulan menutupi seluruh piringan matahari. Jadi, untuk melihatnya, perlu digunakan lensa pelindung mata, serta bagi fotografer, ingat untuk melindungi lensa kameranya sebelum mengabadikan fenomena langka ini. (sumber: http://www.indoforum.org)

Bagaimana Islam menghadapi moment semacam ini? Tentu saja, bukan hanya melewatkannya dengan berfoto-foto ria. Islam punya tuntunan sendiri dalam hal ini sebagaimana yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Simak pembahasan berikut ini.

Keyakinan Keliru

Banyak masyarakat awam yang tidak paham bagaimana menghadapi fenomena alami ini. Banyak di antara mereka yang mengaitkan kejadian alam ini dengan mitos-mitos dan keyakinan khurofat yang menyelisihi aqidah yang benar. Di antaranya, ada yang meyakini bahwa di saat terjadinya gerhana, ada sesosok raksasa besar yang sedang berupaya menelan matahari sehingga wanita yang hamil disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur dan masyarakat menumbuk lesung dan alu untuk mengusir raksasa.

Ada juga masyarakat yang meyakini bahwa bulan dan matahari adalah sepasang kekasih, sehingga apabila mereka berdekatan maka akan saling memadu kasih sehingga timbullah gerhana sebagai bentuk percintaan mereka.

Sebagian masyarakat seringkali mengaitkan peristiwa gerhana dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti adanya kematian atau kelahiran, dan kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membantah keyakinan orang Arab tadi. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat gerhana tersebut, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no. 1044)

Memang pada saat terjadinya gerhana matahari, bertepatan dengan meninggalnya anak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Ibrahim. Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, beliau berkata,

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »

”Di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari ketika hari kematian Ibrahim. Kemudian orang-orang mengatakan bahwa munculnya gerhana ini karena kematian Ibrahim. Lantas Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalat dan berdo’alah.’” (HR. Bukhari no. 1043)

Ibrahim adalah anak dari budak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Mariyah Al Qibthiyyah Al Mishriyyah. Ibrahim hidup selama 18 bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki anak kecuali dari Khadijah dan budak ini. Tatkala Ibrahim meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetaskan air mata dan begitu sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan ketika kematian anaknya ini,

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ ، وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا ، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

”Air mata ini mengalir dan hati ini bersedih. Kami tidak mengatakan kecuali yang diridhoi Allah. Sungguh -wahai Ibrahim-karena kepergianmu ini, kami bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303) (Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 2/305, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H)

Itulah keyakinan-keyakinan keliru yang seharusnya tidak dimiliki seorang muslim ketika terjadi fenomena semacam ini. Selanjutnya kami akan menjelaskan mengenai gerhana, shalat gerhana dan hal-hal yang mesti kita lakukan ketika itu. Kami tidak ingin berpanjang-panjang lebar mengenai hal ini. Kami cukup menyampaikan secara ringkas, sehingga pembaca bisa lebih mudah memahami.

Apa yang Dimaksud Dengan Gerhana Matahari?

Kalau dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang pernah kita pelajari dahulu, fenomena gerhana matahari adalah seperti pada gambar ini.

Gerhana Matahari

Posisi gerhana matahari adalah bulan berada di tengah-tengah antara matahari dan bumi. Jadi, bulan ketika itu menghalangi sinar matahari yang akan sampai ke bumi. Ini gambaran singkat mengenai gerhana matahari.

Menurut pakar bahasa Arab, mereka mengatakan bahwa kusuf adalah terhalangnya cahaya matahari atau berkurangnya cahaya matahari disebabkan bulan yang terletak di antara matahari dan bumi. Inilah yang dimaksud gerhana matahari. Sedangkan khusuf adalah sebutan untuk gerhana bulan. (Al Mu’jamul Wasith, hal. 823)

Jadi ada dua istilah dalam pembahasan gerhana yaitu kusuf dan khusuf. Kusuf adalah gerhana matahari, sedangkan khusuf adalah gerhana bulan.

Definisi yang tepat jika kita katakan: Kalau kusuf dan khusuf tidak disebut berbarengan maka kusuf dan khusuf bermakna satu yaitu gerhana matahari atau gerhana bulan. Namun kalau kusuf dan khusuf disebut berbarengan, maka kusuf bermakna gerhana matahari, sedangkan khusuf bermakna gerhana bulan. (Lihat Syarhul Mumthi’ ’ala Zadil Mustaqni’, 2/424, Dar Ibnul Haitsam)

Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin inilah yang akan ditemukan dalam beberapa hadits. Kadang dalam suatu hadits menggunakan kata khusuf, namun yang dimaksudkan adalah gerhana matahari atau gerhana bulan karena khusuf pada saat itu disebutkan tidak berbarengan dengan kusuf.

Wajib atau Sunnahkah Shalat Gerhana?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat ditekankan). Namun, menurut Imam Abu Hanifah, shalat gerhana dihukumi wajib. Imam Malik sendiri menyamakan shalat gerhana dengan shalat Jum’at. Kalau kita timbang-timbang, ternyata para ulama yang menilai wajib memiliki dalil yang kuat. Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shodiq Khoon, dan Syaikh Al Albani rahimahumullah.

Para Ulama Berbeda Pendapat Mengenai Hukum Shalat Gerhana Bulan

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah mu’akkad sebagaimana shalat gerhana matahari (ini bagi yang menganggap shalat gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad, pen) dan dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh ’Atho’, Al Hasan, An Nakho’i dan Ishaq, bahkan pendapat ini diriwayatkan pula dari Ibnu ’Abbas.

Pendapat kedua yang menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah seperti shalat sunnah biasa yaitu dilakukan tanpa ada tambahan ruku’ (lihat penjelasan mengeanai tata cara shalat gerhana selanjutnya, pen). Menurut pendapat ini, shalat gerhana bulan tidak perlu dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Malik.

Manakah yang lebih kuat? Pendapat pertama dinilai lebih kuat, karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan untuk shalat ketika melihat kedua gerhana tersebut tanpa beliau bedakan (Lihat pembahasan ini di Shohih Fiqh Sunnah, 1/432-433, Al Maktabah At Taufiqiyah). Juga ada dalil yang mendukung pendapat pertama tadi. Dalilnya adalah:

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

”Jika kalian melihat kedua gerhana yaitu gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047)

Kita kembali lagi pada pembahasan di atas. Kami nilai sendiri bahwa shalat gerhana adalah wajib sebagaimana yang juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’.

Kalau ada yang mengatakan bahwa shalat yang wajib itu hanyalah shalat lima waktu saja. Maka para ulama yang menyatakan wajibnya shalat gerhana akan menyanggah, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyebut shalat lima waktu itu wajib karena shalat tersebut berulang di setiap waktu dan tempat (maksudnya: shalat lima waktu adalah shalat yang diwajibkan setiap saat dan bukan karena sebab, pen). Adapun shalat gerhana dan tahiyatul masjid (bagi yang menilai hukum shalat tahiyatul masjid adalah wajib) atau shalat semacam itu, maka shalat-shalat ini wajib karena ada sebab tertentu. Maka shalat-shalat ini bukan seperti shalat wajib mutlaq (maksudnya: berbeda dengan shalat lima waktu). Misalnya saja ada seseorang bernadzar akan menunaikan shalat dua raka’at. Shalat karena nadzar ini wajib dia kerjakan walaupun shalat tersebut bukan shalat lima waktu. Shalat ini wajib dikerjakan karena sebab dia bernadzar. Jadi, shalat yang wajib karena sebab tertentu tidak seperti shalat wajib muthlaq yang tanpa sebab.”

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Inilah pendapat yang kami nilai kuat. Namun sangat disayangkan orang-orang malah lebih senang melihat fenomena gerhana matahari atau gerhana bulan dan mereka tidak memperhatikan kewajiban yang satu ini. Semua hanya sibuk dengan dagangan, hanya berfoya-foya atau sibuk di ladang. Kami takutkan, mungkin saja gerhana ini adalah tanda diturunkannya adzab sebagaimana yang Allah takut-takuti melalui gerhana ini. Kesimpulannya, pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat daripada yang menyatakan sekedar dianjurkan.” (Lihat penjelasan yang sangat menarik ini di Syarhul Mumthi’, 2/429)

Jadi bagi siapa saja yang melihat gerhana, maka dia wajib menunaikan shalat gerhana. Wallahu a’lam, wal ’ilmu ’indallah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakannya.

Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana

Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.

Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ

”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904)

Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:

فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ

”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047). Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Tebarkan Salam

Posted: 21 Jan 2009 09:31 PM CST

Syariat Islam yang sempurna mengajarkan kaum muslimin untuk selalu meningkatkan kecintaan terhadap saudara semuslim, merekatkan persaudaraan dan kasih sayang. Dan untuk mewujudkan hubungan persaudaraan dan kasih sayang ini, maka syariat Islam memerintahkan untuk menyebarkan salam.

Syiar Islam yang satu ini adalah termasuk syiar Islam yang sangat besar dan penting. Namun begitu, sekarang ini salam sering sekali ditinggalkan dan diganti dengan salam salam yang lain, entah itu dengan good morning, selamat pagi, selamat siang, salam sejahtera atau sejenisnya. Tentunya seorang muslim tidak akan rela apabila syariat yang penuh berkah lagi manfaat ini kemudian diganti dengan ucapan-ucapan lain. Allah berfirman, “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al Baqarah: 61). Dan sungguh apa yang ditetapkan Allah untuk manusia, itulah yang terbaik.

Perintah dari Allah

Allah berfirman, “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (Qs. An Nur: 61)

Syaikh Nashir As Sa’di berkata, “Firman-Nya: Salam dari sisi Allah, maksudnya Allah telah mensyari’atkan salam bagi kalian dan menjadikannya sebagai penghormatan dan keberkahan yang terus berkembang dan bertambah. Adapun firman-Nya: yang diberi berkat lagi baik, maka hal tersebut karena salam termasuk kalimat yang baik dan dicintai Allah. Dengan salam maka jiwa akan menjadi baik serta dapat mendatangkan rasa cinta.” (Lihat Taisir Karimir Rohman)

Perintah dari Nabi

Baro’ bin Azib berkata, “Rasulullah melarang dan memerintahkan kami dalam tujuh perkara: Kami diperintah untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan menolong orang yang dizholimi, memperbagus pembagian, menjawab salam dan mendoakan orang yang bersin…” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Perintah menjawab salam maksudnya yaitu menyebarkan salam di antara manusia agar mereka menghidupkan syariatnya.” (Lihat Fathul Bari 11/23)

Dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim). Dari Abdulloh bin Salam, Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam di antara kalian, berilah makan sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah ketika manusia tidur malam, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” (Shohih. Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Etika Salam

Imron bin Husain berkata, “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi seraya mengucapkan Assalamu ‘alaikum. Maka nabi menjawabnya dan orang itu kemudian duduk. Nabi berkata, “Dia mendapat sepuluh pahala.” Kemudian datang orang yang lain mengucapkan Assalamu ‘alaikum warahmatullah. Maka Nabi menjawabnya dan berkata, “Dua puluh pahala baginya.” Kemudian ada yang datang lagi seraya mengucapkan Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Nabi pun menjawabnya dan berkata, “Dia mendapat tiga puluh pahala.” (Shohih. Riwayat Abu dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

Dari hadits tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Memulai salam hukumnya sunnah bagi setiap individu, berdasar pendapat terkuat.
2. Menjawab salam hukumnya wajib, berdasarkan kesepakatan para ulama.
3. Salam yang paling utama yaitu dengan mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh, kemudian Assalamu’alaikum warahmatullah dan yang terakhir Assalamu’alaikum.
4. Menjawab salam hendaknya dengan jawaban yang lebih baik, atau minimal serupa dengan yang mengucapkan. Allah berfirman “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (Qs. An Nisa: 86)

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Hendaknya orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan. Yang berjalan kepada yang dduk yang sedikit kepada yang banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam lafazh Bukhari, “Hendaklah yang muda kepada yag lebih tua.” Demikianlah pengajaran Rosul tentang salam. Namun orang yang meninggalkan tatacara salam seperti pada hadits ini tidaklah mendapat dosa, hanya saja dia telah meninggalkan sesuatu yang utama.

Salam Kepada Orang yang Dikenal dan Tidak Dikenal

Termasuk mulianya syariat ini ialah diperintahkannya kaum muslimin untuk member salam baik pada orang yang dikenal maupun orang yang belum dikenal. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat apabila salam hanya ditujukan kepada orang yang telah dikenal.” (Shohih. Riwayat Ahmad dan Thobroni)

(Disadur dari majalah Al Furqon edisi 9 th III)

***

Penulis: Abu Yusuf Johan Lil Muttaqin
Artikel www.muslim.or.id

Perang Belum Usai!!!

Posted: 20 Jan 2009 10:45 PM CST

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus para Rasul dengan membawa hujjah yang nyata untuk mengajak umat manusia bangkit dari kebodohan dan keraguan menuju ilmu dan keyakinan, dari kegelapan syirik menuju cahaya tauhid, dari pahitnya kekafiran menuju manisnya iman. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan teladan akhir zaman Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semoga kita termasuk golongan pengikut beliau yang berjihad dengan hati, lisan dan anggota badan kita untuk menaklukkan hawa nafsu, godaan syaithan serta rongrongan musuh-musuh dari kalangan manusia seperti kaum ahlul bida’ wal ahwaa’. Amma ba’du.

Saudaraku, semenjak iblis la’natullah ‘alaih membangkang perintah Allah untuk sujud kepada ayahanda kita Adam ‘alaihis salam maka sesungguhnya era peperangan antara hamba-hamba Ar-Rahman melawan iblis dan bala tentaranya sedang dikobarkan. Saudaraku, ingatkah engkau betapa pahit hukuman yang harus dirasakan oleh ayah dan ibu kita gara-gara ulah iblis dengan rayuan palsunya. Saudaraku, iblis tidak menawarkan sesuatu yang jelek dan menjijikkan kepada mereka berdua. Akan tetapi dia menawarkan keabadian dan kelezatan kepada mereka. Walaupun pada hakikatnya kesenangan yang ditawarkannya adalah kesenangan yang menipu. Saudaraku seperjuangan, tidak tanggung-tanggung, ternyata iblis sejak diusir dari surga sudah memancangkan tekad kuat dan berani bersumpah di hadapan Rabb tabaaroka wa ta’ala untuk bekerja keras menyesatkan seluruh umat manusia. Dengarkanlah apa yang dikatakannya, “Demi kemuliaan-Mu (ya Allah) sungguh aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas.” Duhai saudaraku, iblis sudah mengobarkan api peperangan kepada kita. Lalu mengapa kita masih terlena dengan kesenangan-kesenangan yang menipu. Waktu kita terbuang sia-sia, energi kita terforsir untuk hal-hal yang tidak bermakna, pikiran kita larut dalam buaian angan-angan kenikmatan semu yang akhirnya menyeret kita ke jurang dosa dan maksiat. Sehingga hari demi hari yang tercatat dari hati kita adalah maksiat, yang keluar dari lisan kita adalah kesia-siaan atau dosa, dan gerak-gerik tubuh kita pun demikian. Sehingga semua yang kita miliki tidak keluar dari empat kategori:

Pertama, kita gunakan untuk beramal tapi tidak ikhlas.

Kedua, kita gunakan untuk hal-hal yang tidak berguna atau sia-sia.

Ketiga, kita gunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.

Keempat, kita gunakan untuk melakukan amal ikhlas dan sesuai petunjuk Nabi-Nya.

Kondisi Medan Sebenarnya

Saudaraku, di manakah posisi kita… Apakah kita termasuk orang yang selalu berada di barisan orang-orang yang beramal shalih dengan ikhlas dan sesuai petunjuk Nabi-Nya dalam setiap perjalanan waktu yang kita lalui???!!! Tanyakan kepada dirimu sendiri… Lihatlah waktumu yang berlalu dengan terbuang percuma. Di atas tempat tidurmu, di atas tempat dudukmu, di atas kendaraanmu, di depan komputermu, di dalam bilik warnet, di dalam kamarmu, di antara teman-teman sepergaulanmu, di antara orang-orang asing yang tidak mengenalimu. Wahai, saudaraku… detik demi detik berlalu sementara iblis dan bala tentaranya mengintaimu dari tempat yang tak tampak olehmu. Mereka lancarkan tipu daya, propaganda, bisikan dan ancaman untuk bisa menyeretmu ke jurang kehancuran dunia dan akhirat. Mereka ingin agar engkau condong dan larut dalam godaan syahwat. Mereka ingin agar engkau tenggelam dalam kerancuan pemikiran dan aqidah yang sesat. Mereka ingin agar engkau menjauh dari ilmu dan para ulama. Mereka ingin agar engkau malas menuntut ilmu agama. Mereka ingin agar engkau jauh dari kawan-kawan yang shalih. Mereka ingin agar engkau mengisi waktumu dengan maksiat dan kesia-siaan. Di atas tempat tidur engkau bermaksiat. Di atas kursi engkau bermaksiat. Di depan komputer engkau bermaksiat. Di dalam kendaraanmu kau pun bermaksiat. Dengan mata, engkau melihat perkara-perkara yang haram untuk dilihat. Dengan telinga, engkau nikmati suara-suara yang haram untuk didengar. Dengan lisanmu, engkau berkata-kata dengan pembicaraan yang haram dan mengundang dosa. Dengan kakimu engkau melangkah menuju arena maksiat. Dengan tanganmu engkau pun menyentuh sesuatu yang haram untuk kau jamah.

Saudaraku, iblis dan bala tentaranya sama sekali tidak akan menaruh belas kasihan kepadamu. Hari demi hari mereka jalani dengan rencana-rencana baru. Waktu demi waktu korban berjatuhan. Hati demi hati manusia mereka jajah dan cabik-cabik. Peperangan belum usai, saudaraku…!!! Kapankah kita sadar dengan tipu daya dan makar setan kepada kita. Di tengah waktu sibuk kita, setan pun datang menggoda kita. Di waktu senggang kita, setan pun datang untuk merayu kita. Dia datang dari depanmu. Dia datang dari sebelah kananmu. Dia datang dari sebelah kirimu. Dan dia datang dari belakangmu. Gempuran bertubi-tubi telah mereka lancarkan kepadamu. Sementara engkau lalai dan tidak menyadari sekian banyak ‘rudal’ dan ‘peluru’ telah membumihanguskan daerah kekuasaanmu. Musuh bercokol di balik benteng pertahananmu. Sementara pandanganmu kabur oleh kabut dosa dan angan-angan semu. Sementara musuhmu terus merangsek, maju dan memperisapkan taktik dan strategi baru. Saudaraku, siapakah panglima kita? Manakah peta pertempuran kita? Apakah yang bisa kita gunakan untuk membalas serangan mereka? Siapakah teman seperjuangan kita? Siapakah penunjuk arah yang akan membantu kita menempuh rute-rute kemenangan kita? Siapakah antek-antek musuh kita supaya kita tidak tertipu oleh penampilan mereka? Persiapkanlah, persiapkanlah senjatamu, siapkanlah bekalmu, atur strategimu, kumpulkanlah bala tentaramu, mari kita hadapi musuh-musuh itu dengan semangat jihad berapi-api, jihad menundukkan hawa nafsu, jihad melawan syaitan, jihad menundukkan kepentingan dunia, jihad dengan hujjah wal bayan, jihad dengan sabar dan keyakinan.

Jihad dan Hidayah

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad di jalan kami sungguh Kami akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabuut: 69)

Allah subhanahu mengaitkan petunjuk dengan jihad. oleh sebab itu orang yang paling sempurna petunjuknya adalah yang paling besar jihadnya. Dan jihad yang paling wajib adalah berjihad menundukkan diri, memerangi hawa nafsu, memerangi syaitan dan menundukkan dunia. Barang siapa yang berjihad melawan keempat hal ini di jalan Allah maka Allah memberikan petunjuk kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang akan mengantarkannya ke surga. Dan barang siapa yang meninggalkan jihad maka dia akan kehilangan petunjuk berbanding lurus dengan banyaknya jihad yang ditinggalkan. Al Junaid berkata, “Orang-orang yang berjuang menundukkan hawa nafsu mereka di jalan Kami dengan senantiasa bertaubat maka akan Kami tunjukkan kepadanya jalan-jalan menggapai keikhlasan. Tidak ada orang yang sanggup tegar melawan musuh secara fisik yang dihadapinya kecuali orang yang berhasil melawan musuh-musuh ini secara batin. Barang siapa yang mendapatkan pertolongan sehingga mampu mengalahkannya maka dia akan sanggup melawan musuh secara fisik. Akan tetapi barang siapa yang justru bertekuk lutut pada hawa nafsunya maka musuhnyalah yang akan mengalahkannya.” (Fawaa’idul Fawaa’id, hal. 177).

Syaitan, Musuhmu yang Nyata

Syaitan adalah musuh manusia, seperti yang difirmankan Allah ta’ala,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuhmu maka jadikanlah dia sebagai musuh, sesungguhnya dia hanya akan menyeru golongannya untuk menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Faathir: 6)

Allah subhanahu juga berfirman,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf: 5)

Permusuhan syaitan melawan manusia sudah berlangsung sejak dahulu kala yaitu semenjak Allah ‘azza wa jalla menciptakan Adam ‘alaihi salam; karena syaitan menyimpan kedengkian kepada Adam ‘alaihi salam dan dia enggan untuk sujud kepadanya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepadanya dan dia berhasil mengelabuinya sehingga Adam terjatuh dalam kedurhakaan kepada Rabbnya dan akhirnya Adam dikeluarkan dari surga meskipun permusuhan antara syaitan dan manusia ini telah berlangsung sejak dahulu kala tapi ternyata kita dapatkan kebanyakan manusia telah melupakan permusuhan tersebut, dan mereka justru membenarkan syaitan, menyucikannya dan mencintainya dan menaatinya sebagai tandingan bagi Allah, bahkan mereka pun menyembahnya sebagai sekutu bagi Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya, “Bukankah Aku telah mengambil janjimu wahai anak keturunan Adam supaya kamu tidak menyembah syaithan, sesungguhnya dia adalah musuhmu yang nyata.”

Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap hamba untuk terus menerus bersungguh-sungguh melawan syaitan dan memeranginya, dan menolak bisikan-bisikan serta bujuk rayunya dan jangan sampai dia bersamanya untuk berdamai atau memberikan loyalitas apapun, tetapi apabila dia telah terjerumus dalam tindakan menaatinya maka segeralah bertaubat, kembali kepada Allah dan meminta perlindungan kepada-Nya agar tidak terjerumus lagi ke dalamnya sebagaimana firman Allah ta’ala,

وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-A’raaf: 200). (dinukil dari ‘Isyruuna ‘uqbatan fii thariiqil muslim).

Tingkatan Jihad Melawan Syaitan

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jihad melawan syaitan itu ada dua tingkatan, Tingkatan pertama, berjihad melawannya dengan cara menolak segala syubhat dan keragu-raguan yang menodai keimanan yang dilontarkannya kepada hamba. Tingkatan kedua, berjihad melawannya dengan cara menolak segala keinginan yang merusak dan rayuan syahwat yang dilontarkan syaitan kepadanya. Maka tingkatan jihad yang pertama akan membuahkan keyakinan sesudahnya. Sedangkan jihad yang kedua akan membuahkan kesabaran. Allah ta’ala berfirman,

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Maka Kami jadikan di antara mereka para pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami karena mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24)

Allah mengabarkan bahwasanya kepemimpinan dalam agama hanya bisa diperoleh dengan bekal kesabaran dan keyakinan. Kesabaran akan menolak rayuan syahwat dan keinginan-keinginan yang merusak, sedangkan dengan keyakinan berbagai syubhat dan keragu-raguan akan tersingkirkan.” (dinukil dari ‘Isyruuna ‘uqbatan fii thariiqil muslim).

Mintalah Pertolongan Allah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba, sebagaimana dirinya senantiasa memerlukan Allah untuk memberikan pertolongan kepadanya, mengabulkan do’anya, memberikan permintaannya serta memenuhi segala kebutuhannya maka dia pun sangat membutuhkan Allah untuk membimbingnya untuk meraih hal-hal yang berguna baginya dan hal-hal yang ingin dicapai dan diharapkannya. Sesuatu yang harus didapatnya itu adalah perintah, larangan dan syariat. Karena jika seandainya kebutuhan yang dicari dan diinginkannya itu adalah sesuatu yang tidak berguna baginya maka tentunya hal itu justru mendatangkan bahaya baginya. Meskipun ketika dia merasakannya dia mendapatkan kenikmatan dan sedikit manfaat akan tetapi yang dijadikan patokan adalah manfaat yang murni atau yang lebih dominan. Hal ini telah disampaikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya melalui perantara para Rasul dan Kitab-KitabNya. Para Rasul mengajarkan, menyucikan dan memerintahkan mereka dengan hal-hal yang berguna untuk mereka. Para Rasul pun melarang mereka dari hal-hal yang membahayakan diri mereka. Mereka menerangkan kepada umat bahwa sesungguhnya apa yang mereka cari dan harapkan serta sosok yang semestinya mereka ibadahi hanya Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana Allah semata Rabb dan Pencipta mereka, dan apabila mereka meninggalkan ibadah kepada-Nya atau mempersekutukan sesuatu dengan-Nya maka pastilah mereka akan mengalami kerugian yang sangat nyata dan sangat jauh tersesat. Meskipun mereka memiliki kekuatan, ilmu pengetahuan, kedudukan, harta dan lain sebagainya (meskipun dalam hal itu pun mereka juga sangat miskin di hadapan Allah, senantiasa butuh pertolongan Allah untuk bisa mendapatkannya dan mereka juga mengakui rububiyah-Nya) maka pada hakikatnya itu semua akan mengundang bahaya dan mereka kelak akan menempati seburuk-buruk tempat kembali dan rumah yang terjelek (neraka)…” (Majmu’ Fatawa, Islamspirit.com, freeprogram).

Mintalah Petunjuk dari Allah

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berhajat terhadap hidayah Allah menuju jalan yang lurus. Maka dari itu dia sangat memerlukan tercapainya maksud di balik doa ini. Karena sesungguhnya tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari azab dan bisa menggapai kebahagiaan kecuali dengan hidayah ini. Barang siapa yang kehilangan hidayah maka dia akan termasuk golongan orang yang dimurkai atau golongan orang yang sesat. Dan petunjuk ini tidak akan diraih kecuali dengan petunjuk dari Allah. Ayat ini pun (Ihdinash-shirathal mustaqim) menjadi salah satu senjata pembantah kesesatan mazhab Qadariyah.

Adapun pernyataan orang, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayah kepada mereka (umat Islam) oleh sebab itu mereka tidak perlu meminta hidayah!!” beserta jawaban orang untuk pertanyaan itu bahwa “Yang dimaksud dengan ayat ini adalah permintaan agar hidayah itu terus menerus menyertai hamb”, maka itu semua merupakan ucapan orang yang tidak paham hakikat hukum sebab akibat dan tidak mengerti isi perintah Allah. Karena sesungguhnya hakikat jalan yang lurus (shirathal mustaqim) itu adalah seorang hamba melakukan perintah Allah yang tepat di setiap waktu yang dijalaninya baik hal itu ilmu maupun amal. Dan juga hendaknya dia tidak menerjang larangan Allah. Nah, hidayah semacam ini sangat diperlukan di setiap saat agar bisa berilmu dan beramal sebagaimana apa yang diperintahkan Allah serta meninggalkan larangan-Nya pada kesempatan tersebut. Dan hidayah itu pun dibutuhkan hamba agar bisa memiliki tekad yang bulat dalam rangka menjalankan perintah. Demikian pula halnya diperlukan rasa benci yang amat dalam agar bisa meninggalkan hal-hal yang dilarang. Apalagi ilmu dan tekad yang lebih spesifik ini sulit terbayang bisa dimiliki seseorang di saat yang sama. Bahkan pada setiap waktu hamba sangat membutuhkan pertolongan Allah untuk mengaruniakan ilmu dan tekad ke dalam hatinya sehingga dia akan bisa berjalan di atas jalan yang lurus.” (Majmu’ Fatawa, Islamspirit.com, freeprogram).

Muslim Perlu Petunjuk [?]

Memang benar bahwa seorang muslim telah memperoleh petunjuk global yang menerangkan bahwa Al Quran adalah benar, Rasul pun benar dan agama Islam adalah benar. Anggapan itu memang benar. Akan tetapi petunjuk yang masih bersifat global ini belumlah cukup baginya apabila dia tidak mendapatkan petunjuk yang lebih rinci dalam menyikapi segala perkara parsial yang diperintahkan kepadanya dan dilarang darinya di mana mayoritas akal manusia mengalami kebingungan dalam hal itu. Sehingga hawa nafsu dan syahwat mengalahkan diri mereka dikarenakan hawa nafsu dan syahwat itu telah mendominasi akal-akal mereka. Pada asalnya manusia itu tercipta sebagai makhluk yang suka berbuat zalim lagi bodoh. Sehingga sejak dari permulaan manusia itu memang tidak punya ilmu dan cenderung melakukan hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsunya yang buruk. Oleh sebab itu dia selalu membutuhkan ilmu yang lebih rinci untuk bisa mengikis kebodohan dirinya. Selain itu dia juga memerlukan sikap adil dalam mengendalikan rasa cinta dan benci, dalam mengendalikan ridha dan marah, dalam mengendalikan diri untuk melakukan dan meninggalkan sesuatu, dalam mengendalikan diri untuk memberikan dan tidak kepada seseorang, dalam hal makan dan minumnya, dalam kondisi tidur dan terjaga. Maka segala sesuatu yang hendak diucapkan atau dilakukannya membutuhkan ilmu yang menyingkap kejahilannya dan sikap adil yang menyingkirkan kezalimannya. Apabila Allah tidak menganugerahkan kepadanya ilmu serta sikap adil yang lebih rinci -sebab jika tidak demikian- maka di dalam dirinya tetap akan tersisa kebodohan dan kezaliman yang akan menyeretnya keluar dari jalan yang lurus. Allah ta’ala berfirman terhadap Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah terjadinya perjanjian Hudaibiyah dan Bai’at Ridhwan,

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحاً مُّبِيناً لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطاً مُّسْتَقِيماً

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang nyata.” hingga firman-Nya,”Dan Allah menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 1-2)

Kalau keadaan beliau di akhir hidupnya atau menjelang wafatnya saja seperti ini (tetap memerlukan hidayah-pent) lalu bagaimanakah lagi keadaan orang selain beliau? (Majmu’ Fatawa, Islamspirit.com, freeprogram).

Manfaatkan Waktu Sebaik-Baiknya

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiah yaitu barang siapa yang meninggalkan apa yang bermanfaat baginya, padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya, maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan madharat terhadap dirinya. Barang siapa meninggalkan ibadah kepada Ar Rahman, niscaya dia akan disibukkan dengan ibadah kepada berhala-berhala. Barang siapa meninggalkan cinta, harap dan takut kepada Allah maka niscaya dia akan disibukkan dalam kecintaan kepada selain Allah, berharap dan takut karenanya. Barang siapa tidak menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah niscaya dia akan menginfakkannya dalam menaati syaitan. Barang siapa meninggalkan merendahkan diri dan tunduk kepada Rabb-nya niscaya dia akan dicoba dengan merendahkan diri dan tunduk kepada hamba. Barang siapa meninggalkan kebenaran niscaya dia akan dicoba dengan kebatilan.” (Tafsir surat Al Baqarah ayat 101-103, Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 60-61).

Maka bergegaslah wahai saudaraku kerahkan kesungguhanmu, singkirkan debu-debu kebiasaan banyak tidur dan tinggalkan bermalas-malasan, raihlah apa yang sudah luput darimu dengan menuntut ilmu dan beramal, bebaskanlah dirimu dari kelemahan akibat berbuat jahat dengan bertaubat, menyesali dosa dan beristighfar dengan tekad yang tulus demi melepaskan diri dari rintangan-rintangan ini, satu demi satu. Sampai tidak tersisa lagi di hadapan syaitan kecuali rintangan teror dan intimidasi musuh-musuhnya kepadamu, dan rintangan yang satu ini tidak akan pernah ada orang yang bisa selamat darinya kecuali dengan kesabaran dan keyakinan dan dengan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah ‘azza wa jalla serta berjuang melawan musuhnya, dan apabila hal itu bisa kau raih maka niscaya engkau akan mendapat anugerah martabat yang mulia dan derajat yang tinggi di surga Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa tinggal di dalam taman-taman surga dan sungai-sungai di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang berkuasa.” (QS. Al Qamar: 54-55). (dinukil dari ‘Isyruuna ‘uqbatan fii thariiqil muslim).

***

Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi
Murojaah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id