Thursday, February 4, 2010

Keutamaan Shalat Isyroq


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »

“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid[1] – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna“[2].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan duduk menetap di tempat shalat, setelah shalat shubuh berjamaah, untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian melakukan shalat dua rakaat[3].

Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

Shalat dua rakaat ini diistilahkan oleh para ulama[4] dengan shalat isyraq (terbitnya matahari), yang waktunya di awal waktu shalat dhuha[5].
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… sampai matahari terbit“, artinya: sampai matahari terbit dan agak naik setinggi satu tombak[6], yaitu sekitar 12-15 menit setelah matahari terbit[7], karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ketika matahari terbit, terbenam dan ketika lurus di tengah-tengah langit[8].
Keutamaan dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai melakukan shalat shubuh, beliau duduk (berzikir) di tempat beliau shalat sampai matahari terbit dan meninggi”[9].
Keutamaan dalam hadits ini adalah bagi orang yang berzikir kepada Allah di mesjid tempat dia shalat sampai matahari terbit, dan tidak berbicara atau melakukan hal-hal yang tidak termasuk zikir, kecuali kalau wudhunya batal, maka dia boleh keluar mesjid untuk berwudhu dan segera kembali ke mesjid[10].
Maksud “berzikir kepada Allah” dalam hadits ini adalah umum, termasuk membaca al-Qur’an, membaca zikir di waktu pagi, maupun zikir-zikir lain yang disyariatkan.
Pengulangan kata “sempurna” dalam hadits ini adalah sebagai penguat dan penegas, dan bukan berarti mendapat tiga kali pahala haji dan umrah[11].
Makna “mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah” adalah hanya dalam pahala dan balasan, dan bukan berarti orang yang telah melakukannya tidak wajib lagi untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah jika dia mampu.
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA

Artikel www.muslim.or.id


--------------------------------------------------------------------------------
[1] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (no. 7741), dinyatakan baik isnadnya oleh al-Mundziri.
[2] HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403).

[3] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “at-Targhib wat tarhib” (1/111-shahih at-targhib).

[4] Bahkan penamaan ini dari sahabat Ibnu Abbas t, lihat kitab “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).

[5] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/157) dan “Bughyatul mutathawwi’” (hal. 79).

[6] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158).

[7] Lihat keterangan syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam “asy-Syarhul mumti’” (2/61).

[8] Dalam HSR Muslim (no. 831).

[9] HSR Muslim (no.670) dan at-Tirmidzi (no.585).

[10] Demikian keterangan yang kami pernah dengar dari salah seorang syaikh di kota Madinah.

[11] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (3/158).

Kemuliaan, Hanya dengan Kembali kepada Manhaj Salaf


Segala puji adalah milik Allah. Pujian dan keselamatan semoga terlimpah kepada Nabi akhhir zaman Muhammad bin Abdullah, para sahabatnya, dan segenap pengikut mereka yang setia. Amma ba’du.

Saudaraku, semoga Allah menyadarkan hati kita dari kelalaian dan penyimpangan, sesungguhnya kemuliaan yang didambakan oleh kaum muslimin tidak akan pernah diraih kecuali dengan menjunjung tinggi ajaran al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya- telah mengabarkan kepada kita, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian orang dengan sebab kitab ini dan akan merendahkan sebagian yang lain dengan sebab kitab ini pula.” (HR. Muslim)

Barang siapa yang menyangka kebangkitan dan kemuliaan Islam akan bisa diraih dengan meninggalkan al-Qur’an dan memecah belah kaum muslimin menjadi bergolong-golongan serta membiarkan mereka hanyut dalam kebid’ahan maka sungguh dia telah salah. Sebab Allah jalla wa ‘ala –yang ucapannya adalah ucapan yang paling jujur dan paling sesuai dengan realita- telah berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa’: 115). Maka mengikuti jalan para sahabat –yang mereka itu adalah jajaran terdepan kaum mukminin pengikut Nabi- merupakan sebuah keniscayaan. Inilah jembatan emas yang akan mengantarkan kaum muslimin yang cinta kepada Allah dan rasul-Nya untuk meraih surga di akhirat dan kejayaan di dunia.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya dan Allah sediakan untuk mereka surga-surga, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100). Inilah ayat yang akan memecahkan telinga para hizbiyyun dan ahli bid’ah. Sebuah ayat yang meleraikan segala pertikaian yang dikobarkan oleh syaitan dari kalangan jin dan manusia di tengah-tengah barisan umat Islam. Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan dan jangan kalian mereka-reka ajaran baru. Sebab sesungguhnya kalian telah dicukupkan dengan tuntunan yang ada.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul dan juga ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang sesuatu hal maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. an-Nisa’: 58-59). Maka mengikuti pemahaman para sahabat dalam beragama merupakan sebuah keniscayaan. Bagaimana tidak? Sementara mereka adalah orang yang paling paham tentang sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan orang-orang yang paling besar pembelaannya kepada perjuangan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tidak bisa menemukan solusi semata-mata dengan mencomot ayat dan hadits –untuk membela pendapat kita- tanpa mengikuti metode para sahabat dalam memahami dalil-dalil yang ada. Sebuah generasi yang telah mendapatkan tazkiyah/rekomendasi dari utusan Rabb semesta alam, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian sesudahnya, dan kemudian sesudahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka seruan sebagian orang -yang tidak tahu diri- untuk meninggalkan manhaj para sahabat dengan alasan sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan jaman yang ada, atau dengan alasan mereka sudah tinggal kenangan saja, sungguh merupakan penghinaan kepada al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidakkah kita ingat bagaimana pembelaan Allah kepada para sahabat ketika orang-orang munafik mengatakan bahwa mereka –para sahabat- adalah orang-orang yang dungu [?!]. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila dikatakan kepada mereka (orang munafik), Berimanlah sebagaimana orang-orang itu –para sahabat- beriman. Maka mereka menjawab, Akankah kami beriman sebagaimana orang-orang dungu itu beriman? Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah –orang munafik- orang-orang yang dungu…” (QS. al-Baqarah: 13).

Kaum muslimin sekalian –semoga Allah meneguhkan kaki kita di atas kebenaran- sesungguhnya mengikuti jalan hidup para sahabat adalah perjuangan yang akan selalu digembosi oleh musuh-musuh Sunnah. Mereka tahu bahwa apabila kaum muslimin kembali kepada pemahaman para sahabat maka makar mereka untuk memporak-porandakan barisan kaum muslimin akan menjadi sia-sia. Tidakkah kita ingat ucapan emas dari Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang memperbaiki generasi awalnya.” Mereka –musuh-musuh Sunnah- sangat takut apabila kaum muslimin kembali kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya. Mereka kira kaum muslimin bisa ditipu dengan ucapan-ucapan batil mereka yang dipoles sedemikian rupa dengan kutipan ayat dan hadits. Mereka lupa bahwa kaum muslimin senantiasa mengingat pesan Nabi mereka, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafau’ur rasyidin yang berada di atas petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya. Dan gigitlah ia dengan gigi geraham, dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, disahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’).

Oleh sebab itu, mereka –musuh-musuh Sunnah- sangat gatal telinganya apabila kaum muslimin senantiasa mendengungkan ucapan Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di masanya, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Beliau berkata, “Barang siapa yang menentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya dia berada di tepi jurang kehancuran.” Ucapan beliau ini didukung oleh Imam Nashir as-Sunnah/Sang pembela Sunnah asy-Syafi’i rahimahullah yang dengan tegas mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah jelas baginya Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan Sunnah itu hanya karena mengikuti perkataan seseorang.” Mereka –musuh-musuh Sunnah- juga sangat geram apabila kaum muslimin senantiasa mengingat nasihat Imam Syafi’i rahimahullah dalam ucapannya, “Apabila suatu hadits itu sahih maka itulah madzhabku.” Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah anda temui seorang ahli bid’ah pun kecuali dia pasti memendam rasa benci kepada sunnah yang tidak sesuai dengan bid’ahnya.”

Oleh sebab itu –ikhwah sekalian- para ulama ahli hadits adalah benteng-benteng keimanan di atas muka bumi ini. Salah seorang ulama salaf berkata, “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit, sedangkan para ahli hadits adalah penjaga-penjaga bumi.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan tentang jati diri golongan yang mendapatkan pertolongan Allah, “Apabila mereka itu bukan ahli hadits maka aku tidak tahu lagi siapakan mereka itu.” Imam Bukhari rahimahullah mengatakan bahwa mereka itu –golongan yang selalu mendapatkan pertolongan Allah- adalah ahli ilmu. Inilah bukti kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka dia akan dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah bukti yang gamblang tentang kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menimba ilmu –agama- maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.” (HR. Muslim).

Tidakkah kita ingat prestasi para sahabat di sisi Allah ta’ala? Orang-orang yang telah dikabarkan akan menghuni surga sementara jasad-jasad mereka masih berjalan di atas muka bumi. Sebuah generasi yang diabadikan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan ukiran prestasi yang harum dan menakjubkan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang beriman ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. al-Fath: 18).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya. Demikianlah sifat-sifat mereka yang diungkapkan di dalam Taurat dan sifat-sifat mereka yang diungkapkan di dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir…” (QS. al-Fath: 29).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan di dalam Tafsirnya tentang ayat ini, “Berdasarkan ayat ini Imam Malik rahmatullah ‘alaih -dalam sebuah riwayat yang dinukil dari beliau- mengambil kesimpulan hukum untuk mengkafirkan kaum Rafidhah/Syi’ah yang mereka itu membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Imam Malik beralasan, ‘Sebab para sahabat itu telah membuat mereka -yaitu orang Syi’ah- menjadi murka. Maka barang siapa yang marah kepada para sahabat, itu artinya dia telah kafir menurut ayat ini.’.”

Alangkah indah dan tegas ucapan Imam Malik. Inilah petir yang akan menghanguskan segala upaya musuh-musuh Sunnah untuk memadamkan cahaya kebangkitan dakwah salafiyah di bumi pertiwi ini, yakinlah apabila kita benar-benar membela agama Allah maka Allah tidak segan-segan untuk mengerahkan bala tentara-Nya demi membela pasukan-pasukan Sunnah. Namun sebaliknya, apabila ternyata perjuangan kita telah terkotori oleh motif-motif yang rendah dan hina maka jangan salahkan siapa-siapa atas keterpurukan nasib kita. Bukankah Allah ta’ala telah mengingatkan kita (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11).

Ikhwah sekalian, apa yang kita lakukan ini belum seberapa apabila dibandingkan dengan jasa besar para sahabat dalam menegakkan dakwah Islam di muka bumi ini. Janganlah kita lupa daratan dan menganggap diri kita suci. Para sahabat telah mencontohkan kepada kita bahwa sedikit saja noda syirik mengotori hati manusia maka kekalahan tidak jauh dari mereka, ingatlah kejadian di perang Hunain, ketika banyaknya jumlah pasukan Islam telah membuat hati sebagian mereka ujub dan bangga diri seolah tak akan terkalahkan. Mereka lupa bahwa kemenangan bukan di tangan mereka, namun kemenangan itu adalah milik Allah yang akan diberikan-Nya kepada hamba-hamba yang bertauhid dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia akan memberikan kekuasaan kepada mereka sebagaimana yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia akan meneguhkan agama yang telah Dia ridhai untuk mereka, serta Dia akan menukar rasa takut mereka dengan keamanan, mereka beribadah kepada-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nur: 55). Inna wa’dallahi haqq, walakinna aktsaran naasi laa ya’lamuun.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

Tanda-Tanda Haji Mabrur


Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para ulama dengan maqashid syari’ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.

Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits qudsi),

قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

“Allah berfirman (yang artinya): Telah Aku siapkan untuk hamba-hambaKu yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terdetik di hati manusia.” [1]

Untuk haji secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.”[2]

Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu dengan ulama dan keuntungan berdagang.

Di samping itu, Allah juga memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga ia bisa menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.

Tidak Semua Orang Meraih Haji Mabrur


Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Ta’ala.

Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik lantaran jamaah haji yang baik.” [3]

Tanda-Tanda Haji Mabrur

Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.

Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:

Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal,[4] karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik. [5]

Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair [6]:

Jika anda haji dengan harta tak halal asalnya.

Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.

Allah tidak terima kecuali yang halal saja.

Tidak semua yang haji mabrur hajinya.

Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam . Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusnya yang telah ditentukan.

Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.” [7]

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah.[8]

Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.

Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.[9]

Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab,

إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ

“Memberi makan dan berkata-kata baik.” [10]

Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram.

Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.

Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah berfirman,

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.” [11]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [12]

Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.

Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.[13]

Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.

Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.

Kelima: Setelah haji menjadi lebih baik



Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.[14]

Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.

Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.

Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrur.

Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.”[15] Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”[16]

Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.” [17]


Penutup

Sekali lagi, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah. Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah, dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfar dan memperbaiki amalan anda. Wallahu a’lam.




Referensi:

Al-Quran al-Karim.
Shahih al-Bukhari, Tahqiq Musthofa al-Bugha, Dar Ibn Katsir.
Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ Turats.
Musnad Imam Ahmad, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth, Muassasah Qurthubah.
Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
At-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari, Tahqiq Sayyid Hasyim an-Nadawi, Darul Fikr.
Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali, Darul Ma’rifah Beirut.
Lathaiful Ma’arif fima li Mawasil ‘Am minal Wazhaif, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Maktabah asy-Syamilah.
Qutul Qulub, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Maktabah asy-Syamilah.


Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA

Artikel www.muslim.or.id


--------------------------------------------------------------------------------

[1] HR. al-Bukhari (3073) dan Muslim (2824).

[2] HR. al-Bukhari (1683) dan Muslim (1349).

[3] Lathaiful Ma’arif Fima Li Mawasimil ‘Am Minal Wazhaif 1/68.

[4] Lihat: Ihya Ulumiddin 1/261.

[5] HR. Muslim (1015).

[6] Lathaiful Ma’arif 2/49.

[7] Lathaiful Ma’arif 1/257

[8] Ibid.

[9] Lathaiful Ma’arif 1/67.

[10] HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahih oleh al-Hakim dan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 3/262 (no. 1264)

[11] QS. Al-Baqarah 197.

[12] HR. Muslim (1350) dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad di Musnad (7136)

[13] Ihya Ulumiddin 1/261

[14] Lathaiful Ma’arif 1/68.

[15] At-Tarikh al-Kabir 3/238.

[16] Lathaiful Ma’arif 1/67.

[17] Qutul Qulub 2/44.

Kesesatan Ajaran “Penyatuan Agama”

Segala puji hanyalah milik Allah semata. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad yang tidak ada lagi Nabi setelahnya, kepada keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan.


Amma ba’du:

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Saudi Arabia, pen) telah disodorkan beberapa pertanyaan mengenai permasalah yang tersebar di berbagai negeri yaitu dakwah penyatuan agama: Islam, Yahudi dan Nashrani. Dari pemikiran ini muncul pendapat tentang bolehnya membangun masjid kaum muslimin, gereja Nashrani dan tempat ibadah Yahudi dalam satu area secara bergandengan. Dakwah penyatuan agama ini juga membolehkan penerbitan tiga kitab (berisi Al Quran, Taurat dan Injil) sekaligus dalam satu cover. Masih banyak dampak dari dakwah ini dengan adanya perkumpulan dan berbagai pertemuan di belahan dunia barat dan timur.

Pertama: Di antara keyakinan pokok dalam Islam yang sudah pasti diketahui dan telah disepakati oleh seluruh (ulama) kaum muslimin (baca: ijma’) bahwa tidak ada di muka bumi ini agama yang paling benar selain agama Islam. Agama ini adalah penutup seluruh agama. Agama ini menghapus seluruh ajaran agama-agama sebelumnya. Tidak lagi tersisa di muka bumi yang menyembah Allah dengan benar selain agama Islam. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imron: 19)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron: 85)

Yang dimaksud dengan Islam setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ajaran yang dibawa oleh beliau dan bukan yang dimaksud dengan ajaran selainnya.

Kedua: Yang juga termasuk pokok aqidah Islam yaitu Kitabullah (Al Qur’anul Karim) adalah kitab terakhir yang diturunkan oleh Allah, Rabb semesta alam. Al Qur’an adalah penghapus kitab Taurat, Zabur, Injil dan seluruh kitab yang diturunkan sebelumnya. Al Qur’an adalah sebagai hakim (ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya, pen). Tidak ada satu pun kitab yang diturunkan saat ini yang memberi petunjuk untuk beribadah pada Allah dengan benar selain Al Qur’anul Karim. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai hakim terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah: 48)

Ketiga: Seorang muslim wajib mengimani bahwa taurat dan injil telah dihapus dengan Al Qur’anul Karim Perlu diketahui bahwa Taurat dan injil telah mengalami penyelewengan, penggantian, penambahan dan pengurangan sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam Al Qur’anul Karim. Di antaranya kita dapat melihat pada ayat,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat).” (QS. Al Maidah: 13)

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. ” (QS. Al Baqarah: 79)

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui. ” (QS. Ali Imron: 78)

Oleh karena itu, setiap ajaran yang benar yang ada dalam kitab-kitab sebelum Al Qur’an, maka ajaran Islam sudah menghapusnya (menaskh-nya). Selain ajaran yang benar tersebut berarti telah mengalami penyelewengan dan penggantian. Ada riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah ketika Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu melihat-lihat lembaran taurat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا بْنَ الخَطَّابِ؟ أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ؟! لَوْ كَانَ أَخِيْ مُوْسَى حَيًّا مَا وَسَعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي رواه أحمد والدارمي وغيرهما.

“Apakah dalam hatimu ada keraguan, wahai Ibnul Khottob? Apakah dalam taurat (kitab Nabi Musa, pen) terdapat ajaran yang masih putih bersih?! (Ketahuilah), seandainya saudaraku Musa hidup, beliau tetap harus mengikuti (ajaran)ku.” (HR. Ahmad, Ad Darimi dan selainnya)[1]


Keempat: Di antara keyakinan pokok dalam Islam yaitu nabi dan rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan rasul. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)

Oleh karena itu, tidak ada rasul yang wajib diikuti selain Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya ada salah satu Nabi dan Rasul Allah hidup ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka ia pun harus mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi tersebut diharuskan mengikuti beliau, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya“. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. ” (QS. Ali Imron: 81)

Begitu pun dengan Nabi Allah ‘Isa ‘alaihis salam. Ketika beliau turun kembali di akhir zaman, beliau akan mengikuti Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan berhukum dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung. ” (QS. Al A’rof: 157)

Begitu pula yang termasuk pokok keyakinan dalam Islam yaitu diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umum untuk seluruh manusia. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“ Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS. Al A’rof: 158) Dan masig banyak ayat lainnya yang serupa dengan ini.

Kelima: Yang juga termasuk ajaran pokok dalam agama ini adalah wajib diyakini bahwa setiap orang yang tidak masuk Islam baik Yahudi, Nashrani dan lainnya, maka mereka itu kafir. Penamaan kafir pada mereka adalah setelah datang penjelasan (hujjah) pada mereka. Mereka adalah musuh Allah dan Rasulullah serta musuh orang-orang beriman. Mereka nantinya termasuk penghuni neraka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al Bayyinah: 1).

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ

“Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (QS. Al An’am: 19)

هَذَا بَلَاغٌ لِلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوا بِهِ

“(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya.” (QS. Ibrahim: 52)

Ada sebuah riwayat dalam shahih Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang pun dari umat ini (yaitu Yahudi dan Nashrani), lalu ia mati dalam keadaan tidak beriman pada wahyu yang aku diutus dengannya, kecuali ia pasti termasuk penduduk neraka.”[2]

Oleh karena itu, siapa saja yang tidak mengkafirkan Yahudi dan Nashrani, maka ia juga ikut kafir. Hal ini berdasarkan kaedah syar’iyah,

مَنْ لَمْ يَكْفُر الكَافِرَ بَعْدَ إِقَامَةِ الحُجَّةِ عَلَيْهِ فَهُوَ كَافِرٌ

“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir setelah ditegakkan hujjah (penjelasan) baginya, maka ia kafir.”


Keenam: Setelah mengedapankan pokok-pokok keyakinan seorang muslim di atas, maka dakwah penyatuan agama dan pendekatan agama (lebih dikenal dengan pluralisme agama, pen) adalah dakwah yang menyesatkan. Tujuan dari dakwah semacam ini adalah ingin mencampurkan al haq (kebenaran) dan kebatilan, serta menghancurkan Islam dan pondasinya. Perbuatan semacam ini sama saja ingin mengajak seseorang murtad secara total. Hal ini dibenarkan dengan firman Allah Ta’ala,

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.” (QS. Al Baqarah: 217)

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). ” (QS. An Nisa’: 89)

Ketujuh: Dampak dari dakwah yang menyesatkan ini adalah meniadakan perbedaan antara Islam dan kekafiran, kebenaran dan kebatilan, perbuatan baik dan kemungkaran, serta menghancurkan perbedaan antara muslim dan kafir. Dakwah ini akan meniadakan keyakinan wala’ (loyal) dan baro’ (benci). Dakwah ini pun akan meniadakan berbagai jihad dan peperangan untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. ” (QS. At Taubah: 29)

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. ” (QS. At Taubah: 36)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imron: 118)

Kedelapan: Sesungguhnya dakwah penyatuan agama (lebih dekat dengan istilah: pluralisme agama, pen) jika ini muncul dari seorang muslim, maka ini adalah suatu bentuk kemurtadan dari agama Islam dengan sangat nyata karena dakwah ini dapat betul-betul menggoyahkan keyakinan seorang muslim. Sunguh, dakwah ini telah meridhoi kekufuran pada Allah, membatalkan kebenaran Al Qur’an, menghapus ajaran syari’at dan agama sebelum Islam. Dari sini kita dapat menilai bahwa pemahaman ini tertolak mentah-mentah secara syar’i. Pemikiran semacam ini pun diharamkan secara pasti dengan berbagai dalil syar’i, baik Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ (konsensus ulama kaum muslimin).

Kesembilan: Berdasarkan pemaparan yang telah lewat, maka kami katakan,

Tidak boleh bagi seorang muslim yang meyakini bahwa Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan Rasul mengajak, mendorong dan menunjuki pada pemikiran sesat semacam ini di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan seseorang tidak boleh menerima dakwah ini, mengikuti muktamar, perkumpulan atau menyebarkan dakwah semacam ini.
Tidak boleh bagi seorang muslim menerbitkan taurat dan injil secara bersendirian. Lebih-lebih lagi jika keduanya dicetak dalam satu sampul bersama Al Qur’anul Al Karim? Barangsiapa yang melakukan hal ini atau menyeru padanya, maka ia berarti telah berada dalam kesesatan yang nyata karena ia telah mencampur adukkan antara al haq (kebenaran) yang ada pada Al Qur’anul Karim dengan kitab yang telah mengalami penyelewengan atau kebenarannya telah dimansukh (dihapus) yaitu pada Taurat dan Injil.
Sebagaimana pula tidak boleh seorang muslim menerima ajakan untuk membangun masjid, gereja dan tempat ibadah lainnya dalam satu area secara berdampingan karena hal ini sama saja mengakui ajaran agama selain Islam yang menyembah Allah tetapi bukan lewat jalan Islam dan ini sama saja mengingkari kebenaran agama Islam atas agama-agama lainnya.
Sedangkan dakwah yang mengajak pada penyatuan tiga agama (Islam, Yahudi dan Nashrani) dan menyatakan bahwa siapa saja boleh beragama dengan salah satu dari tiga agama tersebut, juga menyatakan bahwa ketiga-tiganya itu sama-sama benarnya, dan Islam sendiri tidak menghapus agama-agama sebelumnya, maka tidak diragukan lagi bahwa mengakui dan meyakini atau ridho pada ajaran semacam ini adalah suatu kekafiran dan kesesatan. Alasannya, karena hal ini telah menyelisihi banyak ayat Al Qur’anul Karim yang begitu tegas, menyelisihi As Sunnah yang suci dan Ijma’ (konsensus) ulama kaum muslimin. Begitu juga termasuk kesesatan jika ada yang menyandarkan penyelewengan Yahudi dan Nashrani pada Allah, -Maha Suci Allah dari hal ini-. Contohnya, menyebut gereja dan tempat ibadah mereka dengan baitullah (rumah Allah) atau menganggap bahwa orang yang beribadah di tempat tersebut adalah orang yang menyembah Allah dan ibadahnya itu diterima di sisi Allah. Ini semua jelas tidak dibolehkan. Karena ibadah yang mereka lakukan bukan menempuh jalan Islam. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron: 85).

Bahkan kita katakan bahwa tempat ibadah mereka adalah tempat ibadah yang di mana di dalamnya terdapat perbuatan kufur pada Allah, sedangkan kita meminta perlindungan pada Allah dari kekufuran dan pelakunya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa (22/162) mengatakan, “Tempat ibadah Yahudi dan gereja Nashrani sama sekali bukanlah rumah Allah (baitullah). Yang termasuk rumah Allah hanyalah masjid. Tempat ibadah mereka adalah tempat yang berlangsung kekufuran pada Allah, walaupun mereka berdzikir di dalamnya. Yang namanya tempat ibadah adalah tergantung orang yang beribadah di dalamnya. Orang yang beribadah dalam gereja atau rumah ibadah tersebut adalah orang-orang kafir. Maka lebih pantas disebut tempat ibadah orang kafir.”

Kesepuluh: Yang patut diketahui bahwa mendakwahi orang kafir secara umum dan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) secara khusus adalah kewajiban kaum muslimin berdasarkan dalil tegas dari Al Qur’an dan As Sunnah. Namun hal ini dilakukan dengan memberikan penjelasan dan saling berargumen dengan cara yang baik, tidak sampai mengorbankan ajaran Islam. Jalan ini ditempuh agar mereka bisa tunduk dan masuk Islam atau sebagai hujjah bagi mereka. Dari sini, celakalah siapa saja yang enggan mengambil petunjuk dan selamatlah yang benar-benar mengikuti petunjuk. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. ” (QS. Ali Imron: 64)

Namun apabila berargumen, mengadakan diskusi dan debat dengan mereka dilakukan agar kaum muslimin bisa mengikuti kemauan dan maksud mereka sehingga membatalkan ikatan Islam dan Iman seseorang, maka ini adalah suatu kebatilan. Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sungguh mencela sikap semacam ini. Semoga Allah melindungi kita dari apa yang mereka perbuat.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al Maidah: 49)

Al Lajnah Ad Daimah telah menetapkan beberapa hal yang telah disebutkan sebagai peringatan untuk setiap muslim. Ini adalah nasehat untuk kaum muslimin secara umum dan orang yang berilmu secara khusus agar mereka selalu bertakwa pada Allah, merasa selalu diawasi oleh-Nya, dan berusaha memperjuangkan Islam dan melindungi aqidah kaum muslimin dari berbagai kesesatan, ajakan kesesatan, kekufuran dan pelakunya. Mereka pun hendaklah memerintahkan kaum muslimin untuk berhati-hati dengan ajaran kekufuran dan sesat yaitu ajaran yang mengajak pada penyatuan agama, jangan sampai terikat dengan jaring-jaringnya. Kami memohon perlindungan pada Allah agar setiap muslim terselematkan dari berbagai kesesatan yang hadir dan tersebar di negeri-negeri kaum muslimin.

Kami memohon pada Allah dengan nama-nama-Nya yang husna (terbaik), dan sifat-Nya yang mulia agar melindungi seluruh kaum muslimin dari berbagai kesesatan dan fitnah (musibah). Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang mendapat petunjuk. Semoga Allah melindungi umat ini dengan memberi petunjuk dan cahaya iman sampai kita bertemu dengan Rabb kita dalam keadaan Dia ridho.

Wa billahit taufiq, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.

Yang menandatangani fatwa ini:

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiyyah dan Fatwa Saudi Arabia)

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh

Anggota: Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Sholih Al Fauzan.

Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’ no. 19402, 12/275-284, Darul Ifta’

Pangukan-Sleman, 6 Shofar 1431 H.

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


--------------------------------------------------------------------------------
[1] HR. Ahmad (3/387), Ad Darimi dalam Al Muqoddimah (1/115-116), Al Bazzar dalam Kasyful Astar (1/78-79) no. 124, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah (1/27) no. 50, Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih (Bab Menelaah Kitab Ahli Kitab dan Riwayat dari Mereka) 1/24.
[2] HR. Muslim dalam Al Iman (153), Musnad Ahmad bin Hambal (2/317)

“ Fitnah” dan Penanggulangannya


Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah. Kami memujinya. Kami memohon pertolongan kepadaNya. Kami juga memohon ampunan dan bertaubat kepadaNya. Kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa kami dan keburukan amal perbuatan kami.

Barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Demikian pula, barang siapa yang Allah sesatkan maka tiada satupun yang bisa memberi hidayah kepadanya.
Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata tanpa ada sekutu bagiNya.
Aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
Semoga Allah memuji dan memberi keselamatan untuknya, keluarganya dan seluruh shahabatnya.
Wahai hamba-hamba Allah yang merupakan orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan yakinilah bahwa takwa adalah asas kebahagiaan dan jalan keberuntungan di dunia dan di akherat.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)
Yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS ath Thalaq:2).
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (٤)
Yang artinya, “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam semua urusannya.” (QS ath Thalaq:4).

Hasil akhir yang baik itu selalu berpihak kepada orang-orang yang bertakwa.
Ketahuilah bahwa berbagai perkara yang mengerikan dan berbagai peristiwa yang datang silih berganti menimpa manusia itu berfungsi untuk menyingkap watak asli manusia, mengetahui sifat manusia dan memperlihatkan klasifikasi manusia dalam ketaatan kepada-Nya. Ketika ujian tiba manusia terbagi ke dalam berbagai kelompok. Di antaranya adalah sebagaimana yang Allah firmankan,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (١١)
Yang artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di pinggiran. Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS al Hajj: 11).
Kelompok kedua adalah orang yang menyembah Allah dengan dasar ilmu, pengetahuan, iman yang kokoh dan akidah yang bersih. Jika dia mendapatkan musibah maka dia bersabar dan sabar itu yang lebih baik baginya. Setelah itu dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk melakukan berbagai sarana dan cara yang dibenarkan oleh syariat untuk membebaskan diri dari masalah dan melindungi diri dari dampak negatif masalah tersebut.
Lain halnya, jika dia mendapatkan nikmat maka dia bersyukur maka itulah yang lebih baik baginya. Setelah itu dia pergunakan nikmat tersebut untuk mentaati Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sungguh berbahagia seorang yang memiliki sifat semacam ini.

Iman yang benar dan akidah yang lurus itu memiliki pengaruh yang besar dan peran yang sangat vital untuk membantu mengatasi dan menyikapi berbagai kejadian dan musibah serta ujian yang menimpa manusia. Hal itu dikarenakan seorang yang memiliki iman dan akidah yang benar mendapatkan berbagai prinsip dan kaedah penting dari agamanya. Dengan seizin Allah, kaedah tersebut membantu orang tadi untuk bisa tetap tegar menghadapi bencana dan memiliki sikap yang tepat yang bertitik tolak dari akidah yang benar dan keimanan kepada Allah.
Dalam kesempatan kali ini akan kami sebutkan prinsip dan kaedah tersebut dalam rangka saling mengingatkan akan adanya prinsip-prinsip tersebut. Diharapkan setelah mengetahuinya seorang mukmin memiliki ilmu tentang apa yang seharusnya dilakukan ketika mendapatkan ujian.

Pertama, seorang mukmin meyakini bahwa pencipta alam semesta adalah Allah. Oleh karena itu Dia memiliki hak penuh untuk mengatur makhluk ciptaan-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Dia putuskan apa yang Dia inginkan tanpa yang bisa memprotes dan menolak ketetapan-Nya. Apa yang Allah kehendaki itulah yang terjadi dan apa yang tidak Allah kehendaki tentu tidak akan terjadi. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah, zat yang maha tinggi dan maha agung. Allah berfirman
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١٢٠ )
Yang artinya, “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya. Dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu” (QS al Maidah:120).

Kedua, seorang mukmin yakin bahwa Allah telah memberikan jaminan untuk membela orang-orang yang beriman, menjaga agama ini, memuliakan pemeluknya dan meninggikan agama-Nya
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ (٤٧)
Yang artinya, “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman” (QS ar Ruum:47).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (٧)
Yang artinya, “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad:7).
Agar mendapatkan pertolongan Allah kita harus menolong agama-Nya. Kita harus bisa menundukkan jiwa dan nafsu kita sendiri. Kita harus bisa menundukkan dunia dan gemerlapnya. Kita harus beriman dan percaya kepada Allah serta memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Kita harus rutin melakukan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Kita harus berhasil mengalahkan jiwa dan nafsu syahwat kita sendiri. Kita harus berhasil mengalahkan godaan dunia dan glamournya dengan secara tulus memberikan perhatian hati kepada Allah, menerapkan aturan-aturan-Nya pada diri kita, rutin mentaati-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Siapa yang beriman dan mentaati Allah maka Allah pasti akan menjaganya, membelanya, meneguhkan dan menjaganya dari segala bentuk keburukan.

Ketiga, sesungguhnya Allah berjanji untuk tidak menolong orang-orang kafir, menghancurkan dan menjadikan mereka sebagai materi pelajaran bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran. Allah memberi tempo kepada orang yang zalim namun Allah itu sama sekali tidak akan membiarkan orang yang zalim. Jika Allah menyiksa orang yang zalim maka Dia akan menyiksanya dengan tiba-tiba.
وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ (١٠٢ )
Yang artinya, “Dan Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS Huud:102).

Keempat, seorang mukmin itu yakin dengan seyakin-yakinnya tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa seorang itu tidak akan mati sampai ajalnya tiba dan jatah rezekinya habis.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ (٣٤)
Yang artinya, “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (QS al A’raf:34).
Ajal itu ada batas akhirnya. Waktu hidup itu telah ditakdirkan dan terbatas. Kematian itu tidak bisa dimajukan sebagaimana juga tidak bisa ditunda. Jika seorang mukmin menyadari hal tersebut maka dia akan selalu bersiap-siap untuk mati yang merupakan awal perjumpaan dengan Allah. Seorang mukmin itu tidak akan tergoda dengan dunia bahkan dia yakin bahwa dunia itu fana dan akan meninggalkannya. Seorang itu pasti berjumpa dengan tuhan baik berumur panjang ataupun berumur pendek.

Kelima, karena demikian percaya dan bertawakal kepada Allah, seorang mukmin tidak akan terpengaruh dan merasa takut dengan berbagai propaganda. Bahkan seorang mukmin itu jika ditakut-takuti dengan berbagai sesembahan selain Allah maka dia akan semakin beriman, percaya dan yakin kepada Allah sebagaimana para sahabat.
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (١٧٣)فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ (١٧٤ )
Yang artinya, “(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia[yaitu orang-orang Quraisy] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar (QS Ali Imran:173-174).
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Sahihnya dari Abdullah bin Abbas, “Ucapan hasbunallah wani’mal wakil adalah ucapan Ibrahim, kekasih Allah ketika akan dilemparkan ke dalam api dan ucapan Muhammad ketika ada orang yang berkata kepada beliau, “Sesungguhnya manusia[yaitu orang-orang Quraisy] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung” [QS Ali Imran:173].

Keenam, seorang mukmin itu selalu bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada Allah. Dia serahkan semua urusannya kepada Allah
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ (٣)
Yang artinya, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS ath Thalaq:3).
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٣)
Yang artinya, “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS al Maidah:23).
Barang siapa yang bertawakal dan menyandarkan hatinya kepada Allah maka Allah akan menjaganya dan melindunginya dari segala keburukan serta segala fitnah meski demikian besar dan demikian hebat.
Dalam sebuah hadits yang hsahih disebutkan ada seorang yang mengambil pedang Nabi saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur beristirahat dalam sebuah perjalanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas terbangun dan mengarahkan pandangannya ke atas ternyata orang tersebut berdiri tepat di atas kepala Nabi sambil berkata, “Siapa yang akan melindungimu dariku?” sedangkan pedang dalam posisi terhunus di tangannya. Dengan penuh keteguhan hati dan kekuatan iman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Allah”.
Tiba-tiba pedang tersebut jatuh dari tangan orang tersebut yang segera diambil oleh Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas balik berkata, “Siapa yang akan melindungimu dariku?”.

Siapa saja yang bertawakal kepada Allah maka Allah akan menjaga dan melindunginya dari berbagai mara bahaya.
Akan tetapi tawakal harus diiringi dengan melakukan usaha dengan benar dan berbagai sarana yang diperbolehkan oleh syariat. Itulah berbagai sarana yang diajarkan oleh syariat Allah agar terjaga dari fitnah dan terhindar dari berbagai keburukan. Usaha yang paling penting adalah menjaga ‘Allah’ dengan berkomitmen untuk mentaati-Nya, menjauhi larangan-Nya dan mentaati segala perintah-Nya.

Ketujuh, seorang muslim itu akan menjauhi segala penyebab timbulnya fitnah dan segala faktor pemicu terjadinya perpecahan serta demikian semangat untuk menjaga persatuan kaum muslimin, kesatuan hati mereka dan utuhnya barisan mereka untuk mentaati Allah dan mengikuti berbagai perintah-Nya.
Di antara doa ma’tsur ada yang bunyinya, “Ya Allah, perbaikilah hubungan di antara kami, satukanlah hati kami dan tunjukkanlah kepada kami jalan-jalan keselamatan”.
Seorang mukmin yang memiliki iman yang benar tentu sangat antusias untuk menjaga persatuan di antara saudara-saudaranya sesama orang yang beriman dan menjauhi sejauh-jauhnya berbagai perkara yang menyebabkan timbulnya perpecahan, percekcokan, perbedaan dan hilangnya satu kata diantara orang-orang yang beriman.

Kedelapan, tidak menyebarkan semua berita yang didengar, terlebih berita yang bisa menimbulkan kekhawatiran atau rasa aman di tengah-tengah masyarat.
Sebagian orang ketika timbul fitnah (baca: kerusuhan dan perbedaan pendapat) sangat bersemangat untuk menyebarkan berita apa pun keadaannya dan menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar tanpa mengecek berita yang benar dan berita yang salah. Demikian juga tanpa mempertimbangkan dampak yang timbul jika berita tersebut disebarluaskan.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan menyikapi adanya suatu berita.
memastikan keabsahan berita
sumber berita atau penyampai berita merenungkan dan menimbang-nimbang apakah menyebarluaskan berita itu bermanfaat bagi manusia baik dari sisi agama ataupun dunia ataukah malah menimbulkan bahaya berupa masyarakat menjadi ketakutan, merasa resah dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk berita semacam ini Allah berfirman,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلا قَلِيلا (٨٣ )
Yang artinya, “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)” (QS an Nisa’:83).

Berdasarkan ayat ini maka jika kita mendapatkan berita yang bisa menimbulkan keresehan atau rasa aman di tengah masyarakat maka kita berkewajiban untuk tidak tergesa-gesa menyebarluaskannya di tengah masyarakat. Kita memiliki kewajiban untuk mengembalikannya kepada rasul yaitu kepada sunah rasul dan mengembalikannya kepada ulil amri yaitu para ulama yang memiliki ilmu, pengetahuan dan pemahaman yang mendalam. Jika memang menyebarkan berita tersebut bermanfaat untuk umat tentu para ulama akan menyarankannya. Jika tidak maka para ulama akan melarang kita untuk memupublikasikannya supaya kita tidak menanggung beban tanggung jawabnya yang berupa menyakiti banyak pihak karena tersebarnya berita tersebut.
Oleh karena itu terdapat riwayat shahih dari amirul mukminin Ali bin Abi Thalib, beliau mengatakan, “Janganlah kalian menjadi orang-orang yang ‘ujulan, madzaayi’ dan budzron. Sesungguhnya di belakang kalian terdapat bencana yang menyakitkan”.

Yang dimaksud dengan ‘ujulan adalah orang yang suka tergesa-gesa dalam berbagai perkara dan tidak mau bersikap tenang.
Sedangkan madzayi’ adalah orang yang suka dan bersemangat besar untuk menyebarkan berita apapun kondisinya.
Adapun budzron adalah orang yang menebar perpecahan dan berbagai sebab perpecahan dan konflik di tengah-tengah masyarakat.

Kesembilan, urgensi berkonsultasi dengan para ulama yang mendalam ilmunya dengan bertanya kepada mereka, sejalan dengan perkataan mereka, memperhatikan wejangan-wejangan mereka dan tidak menentang mereka. Tidak semua orang boleh berbicara tentang masalah agama karena hal itu adalah kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya dan benar-benar memahami agama. Merekalah orang-orang yang mengetahui hukum halal dan haram serta mengusai hukum-hukum agama secara umum. Merekalah orang-orang yang menetapkan hukum berdasarkan firman Allah dan sabda rasul-Nya.
Orang yang paling berani dalam memberi fatwa adalah orang yang paling berani untuk masuk neraka.
Karenanya pada saat terjadi fitnah (baca: perselisihan paham yang sengit) kita berkewajiban untuk berkonsultasi dengan para ulama, mengambil manfaat dari ilmu mereka dan sejalan dengan perkataan mereka serta tidak berani berbicara dalam bidang yang tidak dikuasai.
Diantara tanda baik keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna dan tidak membicarakan bidang yang tidak dikuasai dengan baik. Hal ini dilakukan dalam rangka agar tidak membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Siapa yang mengarahkan orang lain pada perkara yang tidak benar maka dosanya itu ditanggung oleh yang mengarahkan”.
Kesepuluh, seorang mukmin itu menyakini bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, mendengar seruan dan mengabulkan doa mereka, menolong orang yang kesusahan dan menghilangkan kesulitan.
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ (٦٢)
Yang artinya, “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya)” (QS an Naml:62).

Seorang mukmin itu yakin bahwa Allah itu dekat dengan-Nya, mendengar doanya, akan mewujudkan harapannya dan memberikan permintaannya. Oleh sebab itu seorang muslim sering mengadu kepada Allah dengan penuh ketulusan dan dengan berulang kali agar kaum muslimin dijauhkan dan dipalingkan dari berbagai fitnah. Serta berdoa agar Allah memberikan untuk negeri kaum muslimin rasa aman, keimanan, keselamatan dan keislaman serta terjaga dari berbagai keburukan dan bencana. Doa adalah kunci segala kebaikan di dunia dan di akherat.
Kami memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang luhur agar Allah meneguhkan hati kita semua untuk selalu mentaatiNya, melindungi kita semua dari berbagai fitnah yang yang nampak ataupun yang tersembunyi, menjaga agama, keamanan dan keimanan kita. Semoga Allah tidak memasrahkan kita kecuali hanya kepada-Nya dan melindungi kita dari berbagai mara bahaya yang ditimbulkan oleh musuh.
Ya Allah, kami menjadikan-Mu di leher-leher mereka dan kami memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan mereka.
Terdapat suatu hadits dalam Sunan Abu Daud bahwa Nabi jika merasa takut dengan sekelompok orang maka beliau akan berdoa, “Ya Allah, kami menjadikan-Mu di leher-leher mereka dan kami memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan mereka”.
Yang bisa kami sampaikan adalah apa yang telah kalian dengar. Aku memohon ampunan untukku dan kalian serta seluruh kaum muslimin dari seluruh dosa.
Mohonlah ampunan kepada-Nya niscaya Dia akan mengampuni kalian sesungguhnya Dia maha pengampun lagi maha penyayang.

Khutbah Kedua

Segala puji itu milik Allah. Dialah dzat yang memiliki kebaikan yang sangat besar dan anugrah serta kedermawanan yang sangat luas.
Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah semata, tanpa ada sekutu baginya.
Aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan untuknya, keluarganya dan semua shahabatnya.
Wahai hamba-hamba Allah, bertakwalah kalian kepada Allah. Siapa saja yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan melindunginya dan membimbingnya untuk melakukan yang terbaik dalam masalah agama dan dalam masalah dunia.

Ketahuilah bahwa takwa adalah asas keselamatan dalam menghadapi berbagai fitnah, jalan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan akherat.
Ketika terjadi fitnah di zaman tabiin sebagian orang menemui Thalq bin Habib lantas bertanya kepadanya, “Bagaimana cara melindungi diri dari fitnah dan menyelamatkan diri dari keburukan fitnah?”
Thalq mengatakan, “Lindungilah diri kalian dari fitnah ini dengan bertakwa kepada Allah”.
Mereka bertanya, “Tolong jelaskan kepada kami apa itu takwa!”.
Beliau mengatakan, “Bertakwa kepada Allah adalah menjalankan ketaatan kepada Allah dengan dasar iman kepada Allah karena mengharap pahala dari Allah serta meninggalkan berbagai bentuk maksiat kepada Allah dengan dasar iman kepada Allah karena merasa takut dengan siksa-Nya”.

Betapa agungnya jalan takwa. Betapa mulia pengaruhnya. Betapa banyak manfaat takwa bagi pemiliknya di dunia dan di akherat.
Hendaknya kita hadapi berbagai fitnah dengan bertakwa kepada Allah. Caranya kita berkomitmen untuk mentaati-Nya, rutin beribadah kepada-Nya dan kita jauhi berbagai kemaksiatan agar dijaga, dibantu dan ditolong oleh Allah.
Moga Allah menjadikan kita semua sebagai bagian dari orang-orang yang bertakwa dan melindungi kita semua dari segala keburukan dan mala petaka. Sungguh Dia adalah maha mendengar dan maha mengabulkan doa.
Hendaknya kalian mengucapkan sholawat dan salam untuk Muhammad bin Abdillah sebagaimana yang Allah perintahkan dalam kitab-Nya
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Yang artinya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS al Ahzab:56).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang bershalawat untukku sekali maka Allah akan bershalawat untuknya sebanyak sepuluh kali”.

Ya Allah, berikanlah shalawatMu untuk Muhammad dan untuk keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat untuk Ibrahim dan untuk keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau itu maha terpuji dan maha agung. Berilah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi berkah untuk Ibrahim dan untuk keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau itu maha terpuji dan maha agung.
Ya Allah berikan ridhoMu untuk empat khulafaur rasyidin yang mendapatkan hidayah yaitu Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali. Demikian pula ya Allah berikanlah ridhoMu untuk semua shahabat dan tabiin serta semua orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Kiamat nanti. Demikian juga berikanlah ridhoMu untuk kami dengan anugrah, kemurahan dan kebaikanMu, wahai zat yang maha pemurah.
Ya Allah muliakanlah Islam dan kaum muslimin.
Ya Allah muliakanlah Islam dan kaum muslimin.
Ya Allah muliakanlah Islam dan kaum muslimin dan hinakanlah kemusyrikan dan para pelakunya, hancurkanlah para musuh agama dan lindungilah daerah kaum muslimin wahai pemilik semesta alam.
Ya Allah, tolonglah orang yang menolong agama-Mu.
Ya Allah, tolonglah orang yang menolong agama-Mu.
Ya Allah, tolonglah orang yang menolong agama-Mu.
Ya Allah tolonglah saudara-saudara kami, kaum musliman yang berjihad di jalan-Mu yang berada di semua tempat.
Ya Allah, tolonglah mereka dengan pertolongan yang kuat.
Ya Allah kuatkanlah mereka dengan bantuan-Mu dan jagalah mereka dengan penjagaan-Mu, lindungilah mereka dengan perlindungan dan perhatian-Mu, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah bereskanlah musuh-musuh agama karena mereka tidak akan mampu mengalahkan-Mu.
Ya Allah cabik-cabiklah mereka sehancur-hancurnya.
Ya Allah, buatlah hati mereka berselisih dan cerai beraikan persatuan di antara mereka dan timbulkanlah rasa takut di hati mereka, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah, kami menjadikan-Mu di leher-leher mereka dan kami memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan mereka.
Ya Allah, berikanlah rasa aman untuk kami di negeri kami sendiri dan perbaikilah para penguasa dan pemimpin kami.
Ya Allah, jadikanlah pemimpin kami adalah orang yang merasa takut dan bertakwa kepada-Mu serta mengikuti ridho-Mu wahai pemilik alam semesta.
Ya Allah, berilah taufik kepada penguasa kami untuk melakukan apa yang Kau cintai dan Kau ridhoi, bantulah mereka untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan, bimbinglah perkataan dan tindak tanduk mereka, berilah mereka kesehatan badan dan afiat, berikanlah untuk mereka para pembisik yang baik dan yang menghendaki kebaikan untuknya, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah berikan taufik-Mu kepada semua penguasa kaum muslimin agar mengamalkan kitab-Mu dan mengikuti sunah Nabi-Mu, Muhammad – shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan jadikanlah mereka wujud kasih sayang-Mu untuk hamba-hamba-Mu yang beriman.
Ya Allah, berilah mereka pemikiran yang benar dan perkataan yang tepat yang bermanfaat untuk Islam dan kaum muslimin, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah, berikanlah kepada jiwa kami ketakwaan. Sucikanlah jiwa kami. Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikan jiwa karena Engkau adalah zat yang mengatur jiwa manusia.
Ya Allah, perbaikilah agama kami yang merupakan pegangan hidup kami. Perbaikilah dunia kami karena di sanalah kami hidup. Perbaikilah akherat kami karena ke sanalah kami akan kembali. Jadikanlah hidup kami di dunia ini sebagai tambahan kebaikan untuk kami dan jadikanlah kematian sebagai sarana istirahat kami dari berbagai keburukan.
Ya Allah perbaikilah hubungan di antara kami, satukanlah hati kami dan tunjukilah kami jalan-jalan menuju keselamatan, keluarkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya.
Berkahilah pendengaran kami, penglihatan kami, istri-istri kami, harta kami, anak keturunan kami dan jadikanlah kami orang-orang yang diberkahi dimana saja kami berada.
Ya Allah, ampunilah seluruh dosa kami baik yang kecil apalagi yang besar, yang dahulu ataupun belakangan, yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan.
Ya Allah, ampunilah apa yang telah kami lakukan dan apa yang belum kami lakukan, apa yang kami lakukan dengan sembunyi-sembunyi maupun yang kami lakukan dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih tahu dari pada kami. Engkaulah yang memajukan dan Engkaulah yang mengundurkan. Tiada sesembahan yang pantas disembah melainkan diri-Mu.
Ya Allah, ampunilah dosa orang yang punya dosa di antara kaum muslimin, terimalah taubat dari orang-orang yang bertaubat.
Ya Allah hilangkanlah kesusahan orang yang susah dan penderitaan orang-orang yang menderita, lunasilah hutang dari orang-orang yang berhutang serta sembuhkanlah orang-orang yang sakit di antara kami dan semua kaum muslimin yang sakit.
Ya Allah kami memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, terjaganya kehormatan dan kecukupan rizki.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu hidayah dan tindak tanduk yang benar.
Ya Allah, kami memohon perlindungan dengan ridho-Mu dari murka-Mu, dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu, dengan-Mu dari-Mu. Kami tidak mampu menyanjung-Mu sebagaimana sanjungan yang Kau berikan untuk diri-Mu sendiri.
Ya Allah sesungguhnya kami memohon ampun kepadaMu. Sungguh Engkau adalah maha pengampun. Oleh karena itu turunkanlah hujan yang deras kepada kami.
Ya Allah turunkan hujan untuk kami, turunkan hujan untuk kami, turunkan hujan untuk kami.
Ya turunkanlah hujan yang manfaat, berlimpah dan penuh kebaikan kepada kami. Janganlah Kau turunkan hujan yang membahayakan kami baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan datang.
Ya Allah suburkan hati kami dengan iman dan suburkanlah negeri kami dengan hujan.
Ya Allah turunkan hujan untuk kami dan janganlah Kau jadikan kami sebagai orang-orang yang berputus asa.
Ya Allah turunkan hujan untuk kami dan janganlah Kau jadikan kami sebagai orang-orang yang berputus asa.
Ya Allah, janganlah Kau hukum kami disebabkan perbuatan orang-orang yang usil di antara kami.
Ya Allah, kabulkanlah doa kami, wujudkanlah harapan kami dan berikanlah apa yang menjadi permintaan kami, wahai zat yang memiliki keagungan dan kemuliaan.
Bukankah Engkau telah berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (١٨٦)
Yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS al Baqarah:186).
Ya Allah, kami telah beriman dan kami telah memenuhi perintah-Mu.
Ya Allah turunkan hujan untuk kami, turunkan hujan untuk kami, turunkan hujan untuk kami.
Ya Allah berilah kenikmatan dari kami, janganlah Kau cegah kami dari kenikmatan, tambahilah nikmat untuk kami dan janganlah Kau kurangi, utamakanlah kami dan janganlah Kau utamakan orang lain dari pada kami.
Seruan kami yang terakhir adalah ucapan alhamdu lillahi rabbil ‘alamin.
Moga Allah memuji, memberi keselamatan, keberkahan dan nikmat untuk hamba Allah dan utusanNya yaitu nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh shahabatnya.

Khutbah Jum’at Syaikh ‘Abdur Rozaq bin Abdil Muhsin Al Abbad Al Badr, tanggal 18 Muharram 1424 H

Catatan:
Yang dimaksud dengan istilah fitnah dalam hal ini adalah makna fitnah dalam bahasa Arab yang bisa berarti ujian berupa musibah, kerusuhan dan perselisihan yang tajam di tengah-tengah masyarakat. Ini semua tergantung konteks kalimat yang ada.

Penerjemah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Air yang Digunakan untuk Berwudhu


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Kita telah mengetahui bersama bahwa di antara syarat sah shalat diharuskan untuk berwudhu terlebih dahulu. Untuk berwudhu tentu saja memerlukan air. Lalu air seperti saja yang boleh digunakan untuk berwudhu? Itulah yang akan kami angkat dalam pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat.

Ada Dua Macam Air

Perlu diketahui bahwa air itu ada dua macam yaitu air muthlaq dan air najis.


Pertama: Air Muthlaq

Air muthlaq ini biasa disebut pula air thohur (suci dan mensucikan). Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya. Air ini adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari langit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al Furqon: 48)

Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju, embun, dan air sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama dibiarkan atau karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut tidak disebut lagi air muthlaq.

Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai air laut, beliau pun menjawab,

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Air laut tersebut thohur (suci lagi mensucikan), bahkan bangkainya pun halal.” [1]

Air-air inilah yang boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi tanpa ada perselisihan pendapat antara para ulama.


Bagaimana jika air muthlaq tercampur benda lain yang suci?

Di sini ada dua rincian, yaitu:

1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya sedikit, sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap disebut air (air muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu. Misalnya, air dalam bak yang berukuran 300 liter kemasukan sabun yang hanya seukuran 2 mm, maka tentu saja air tersebut tidak berubah dan boleh digunakan untuk berwudhu.

2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air tersebut tidak lagi disebut air (air muthlaq), namun ada “embel-embel” (seperti jika tercampur sabun, disebut air sabun atau tercampur teh, disebut air teh), maka air seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi).


Kedua: Air Najis

Air najis adalah air yang tercampur najis dan berubah salah satu dari tiga sifat yaitu bau, rasa atau warnanya. Air bisa berubah dari hukum asal (yaitu suci) apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu berubah warna, rasa atau baunya.

Dari Abu Umamah Al Bahiliy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ

“Sesungguhnya air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya.”

Tambahan “selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya” adalah tambahan yang dho’if. Namun, An Nawawi mengatakan, “Para ulama telah sepakat untuk berhukum dengan tambahan ini.” Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit maupun banyak jika terkena najis dan berubah rasa, warna dan baunya, maka itu adalah air yang najis.” Ibnul Mulaqqin mengatakan, “Tiga pengecualian dalam hadits Abu Umamah di atas tambahan yang dho’if (lemah). Yang menjadi hujah (argumen) pada saat ini adalah ijma’ (kesepakatan kaum muslimin) sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i, Al Baihaqi, dll.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka itu pasti terdapat nashnya (dalil tegasnya). Kami tidak mengetahui terdapat satu masalah yang telah mereka sepakati, namun tidak ada nashnya.”[2]

Intinya, air jenis kedua ini (air najis) tidak boleh digunakan untuk berwudhu.[3]


Bolehkah Air Musta’mal Digunakan untuk Bersuci?

Yang dimaksud air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota wudhu orang yang berwudhu. Atau gampangnya kita sebut air musta’mal dengan air bekas wudhu.

Para ulama berselisih pendapat apakah air ini masih disebut air yang bisa mensucikan (muthohhir) ataukah tidak.

Namun pendapat yang lebih kuat, air musta’mal termasuk air muthohhir (mensucikan, berarti bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi) selama ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau tidak menjadi najis disebabkan tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah bau, rasa atau warnanya. Inilah pendapat yang dianut oleh ‘Ali bin Abi Tholib, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, sekelompok ulama salaf, pendapat yang masyhur dari Malikiyah, merupakan salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[4]

Dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air musta’mal masih termasuk air yang suci:

Pertama: Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap.”[5]

Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah air yang suci.”[6]

Kedua: Dari Miswar, ia mengatakan,

وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau.”[7]

Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan kembali untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta’mal itu najis, lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits-hadits ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air musta’mal itu najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil berkahnya?”[8]

Ketiga: Dari Ar Rubayyi’, ia mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”[9]

Keempat: Dari Jabir, beliau mengatakan,

جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ، وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ، فَعَقَلْتُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[10]

Kelima: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau mengatakan,

كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا

“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.”[11]

Keenam: Dari Ibnu ‘Abbas, ia menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah.”[12]

Ibnul Mundzir mengatakan, “Berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal adalah air yang suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.”[13]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Begitu pula air musta’mal yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.”[14]

Sedangkan sebagian ulama semacam Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya, Imam Malik, Al Auza’i dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air musta’mal.[15] Namun pendapat yang mereka gunakan kurang tepat karena bertentangan dengan dalil-dalil yang cukup tegas sebagaimana yang kami kemukakan di atas. Wallahu a’lam.

Catatan: Ada beberapa hadits yang melarang menggunakan air bekas bersucinya wanita semisal hadits dari Al Hakam bin ‘Amr. Beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berwudhu dari air bekar bersucinya wanita.”[16] Agar hadits ini tidak bertentangan dengan hadits, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah” atau hadits, “Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain”, maka kita bisa melalui jalan kompromi. Kita katakan bahwa larangan dalam hadits Al Hakam bin ‘Amr yang dimaksud adalah larangan tanzih (makruh) dan tidak sampai diharamkan. Jadi menggunakan air bekas bersucinya wanita dihukumi makruh dan bukan haram. Wallahu a’lam.[17]


Apakah Air Kurang dari Dua Qullah Jika Kemasukan Najis Menjadi Najis?

Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl ‘Iraqi yang seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan 93,75 sho’[18]. Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1 m x 0,2 m.

Sebagian ulama memiliki pendapat bahwa jika air kurang dari dua qullah dan kemasukan najis sedikit ataupun banyak, baik airnya berubah atau tidak, maka air tersebut menjadi najis. Alangkah bagusnya jika kita dapat melihat pembahasan berikut ini.

[Hadits Air Dua Qullah]

Adapun hadits mengenai air dua qullah adalah sebagai berikut.

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah” dan Ad Darimi)[19]

[Jika Air Lebih Dari Dua Qullah]

Dari hadits dua qullah ini, secara mantuq (tekstual), apabila air telah mencapai dua qullah maka ia sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika air tersebut berubah rasa, bau atau warnanya karena najis, maka dia menjadi najis berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).

Misalnya: air bak kamar mandi (jumlahnya kira-kira 300 liter –berarti lebih dari dua qullah-) kena percikan air kencing, maka air bak tersebut tetap dikatakan suci karena air dua qullah sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika kencingnya itu banyak sehingga merubah warna air atau baunya, maka pada saat ini air tersebut najis.

Inilah mantuq (makna tekstual) dari hadits di atas. Namun secara mafhum dari hadits ini (makna inplisit yaitu bagaimana jika air tersebut kurang dari dua qullah lalu kemasukan najis), para ulama berselisih pendapat. Perhatikan penjelasan selanjutnya.

[Jika Air Kurang Dari Dua Qullah]

Sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad dan pengikut mereka menyatakan bahwa jika air kurang dari dua qullah, air tersebut menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis walaupun tidak berubah rasa, warna atau baunya.

Jadi menurut pendapat ini, jika air lima liter (ini relatif sedikit) kemasukan najis (misalnya percikan air kencing), walaupun tidak berubah rasa, bau atau warnanya; air tersebut tetap dinilai najis. Alasan mereka adalah berdasarkan mafhum (makna inplisit) dari hadits dua qullah ini yaitu jika air telah mencapai dua qullah tidak dipengaruhi najis maka kebalikannya jika air tersebut kurang dari dua qullah, jadilah najis.

Namun ulama lainnya seperti Imam Malik, ulama Zhohiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb dan ulama Najd menyatakan bahwa air tidaklah menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis. Air tersebut bisa menjadi najis apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu rasa, warna atau baunya.

Alasan pendapat pertama tadi kurang tepat. Karena ada sebuah hadits yang menyebutkan,

إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ

“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[20]

Hadits ini secara mantuq (makna tekstual), air asalnya adalah suci sampai berubah rasa, bau atau warnanya. Sedangkan pendapat pertama di atas berargumen dengan mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama telah menggariskan suatu kaedah, “Makna mantuq lebih didahulukan daripada mafhum.” Maksudnya, makna yang dapat kita simpulkan secara tekstual (mantuq) lebih utama untuk diamalkan daripada makna yang kita simpulkan secara inplisit (mafhum). Inilah kaedah yang biasa digunakan oleh para ulama.

Alasan lainnya, hukum itu ada selama terdapat ‘illah (sebab). Jadi kalau ditemukan sesuatu benda suci berubah rasa, warna dan baunya karena benda najis, barulah benda suci tersebut menjadi najis. Jika tidak berubah salah satu dari tiga sifat ini, maka benda suci tersebut tidaklah menjadi najis. Oleh karena itu, dengan alasan inilah pendapat kedua lebih layak untuk dipilih dengan kita tetap menghormati pendapat ulama lainnya. Wallahu a’lam bish showab.[21]

Kesimpulannya: Najis atau tidaknya air bukanlah dilihat dari ukuran (sudah mencapai dua qullah ataukah belum). Jika air lebih dari dua qullah kemasukan najis, lalu berubah salah satu dari tiga sifat tadi, maka air tersebut dihukumi najis. Begitu pula jika air kurang dari dua qullah. Jika salah satu dari tiga sifat tadi berubah, maka air tersebut dihukumi najis. Jika tidak demikian, maka tetap dihukumi sebagaimana asalnya yaitu suci.

Bolehkah Menggunakan Air Musyammas (Air yang Terkena Terik Matahari)?

Komisi Fatwa di Saudi Arabia, yaitu Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanyakan mengenai hal ini, lalu para ulama yang duduk dalam komisi tersebut menjawab:

لا نعلم دليلا صحيحا يمنع من استعمال الماء المشمس.

“Kami tidak mengetahui satu dalil shahih yang melarang menggunakan air musyammas (air yang terkena terik matahari).”

Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan selaku anggota, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua. (Soal keenam dari Fatwa no. 7757)[22]

Intinya, air musyammas masih boleh digunakan untuk berwudhu.

Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan berkat nikmat Allah di saat turun berkah hujan di Pangukan-Sleman, 3 Shofar 1431 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


--------------------------------------------------------------------------------
[1] HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Irwa’ul Gholil no. 9.
[2] Dinukil dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Ali Basam, 1/114, Darul Atsar

[3] Lihat penjelasan pembagian air ini di kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/103-104, Al Maktabah At Taufiqiyah. Pembagian seperti ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.

[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/104.

[5] HR. Bukhari no. 187.

[6] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/295, Darul Ma’rifah, Beirut.

[7] HR. Bukhari no. 189.

[8] Fathul Bari, 1/296.

[9] HR. Abu Daud no. 130. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[10] HR. Bukhari no. 194.

[11] HR. Bukhari no. 193.

[12] HR. Muslim no. 323.

[13] Al Awsath, Ibnul Mundzir, 1/254, Mawqi’ Jaami’ Al Hadits.

[14] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20/519, Darul Wafa’.

[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/106.

[16] HR. Abu Daud no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[17] Cara kompromi dalil semacam ini ditempuh oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah -Syaikh Sayid Sabiq-. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/107, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[18] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/116, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H.

[19] Para ulama berselisih mengenai keshahihan hadits air dua qullah. Sebagian ulama menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib (termasuk dalam golongan hadits dho’if/lemah) baik secara sanad maupun matan (isi hadits).
Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An Nawawiy dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mayoritas pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela (melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/116)

[20] HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478

[21] Pembahasan ini disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/118 dan Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/33-34, Dar Ibnil Haitsam.

[22] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 7/54, Darul Ifta’.