Sunday, November 27, 2011

Al-Qur’an dan Sastra Arab Jahiliyah (Sebuah Kajian Intertekstualitas antara Kandungan Teks al-Qur’an dan Syair Jahiliyah)

A. Pendahuluan
Al-Qur’an, turun dalam situasi di mana bahasa dan sastra Arab (jahiliyah) mencapai puncak kejayaan. Al-Qur’an tampil dengan berbahasa Arab, agar dapat dipahami oleh manusia pada waktu itu (Q.S. Yusuf:2). Para penyair ketika itu memiliki kedudukan yang sangat terhormat pada setiap kabilah, karena mereka dianggap sebagai penjaga martabat serta kehormatan kabilahnya. Dengan begitu mereka disanjung-sanjung setinggi langit oleh kabilahnya (Farukh, 1997: I: 75-76).

Perang pena antara penyair antar kabilah, telah membawa mereka kepada sebuah kompertisi syair yang di selenggarakan di suatu pasar yang disebut Ukazh (al-Iskandari & ‘Inaniy, tth: 12). Dari perang pena yang terjadi di Ukazh, lahirlah karya-karya sastra luhung yang lebih dikenal dengan sebutan “mu’allaqat”. Disebut mu’allaqat, karena syair yang terpilih menjadi yang terbaik – konon katanya – akan digantungkan di dinding ka’bah dan ditulis dengan tinta mas (Farukh, 1997: I: 75).
Syair jahiliy berkembang di masyarakat pedalaman (badiyah) Arab. Dengan begitu syair-syairnya merupakan gambaran kehidupan masyarakat pedalaman (al-hayat al-badawiyyah), yaitu hanya berbicara sekitar unta (al-jamal) dan puing-puing (al-thalal). Sedikit sekali yang menggambarkan susana kekotaan (hadhar), seperti al-A’sya dan Nabighah yang pernah mengunjungi negeri Persia, Iraq dan Syam (Farukh, 1997: I: 76).
Ada beberapa tujuan yang terkandung dalam syair-syair jahiliy, yaitu, nasib (Penggambaran perempuan dengan segala keindahannya), washf (pelukisan sesuatu), madah (pujian), Ratsa (ratapan), hija (cemoohan atau ejekan), i’tidzar (Pledoi), matsal dan hikmah (Kata-kata bijak dan Pribahasa) (al-Iskandari & ‘Inaniy, tth: 46-50).
Pada abad berikutnya, tepatnya pada masa dinasti Umayah, seorang ulama Basrah yang mencoba merumuskan irama musik (wazan) syair Arab, termasuk syair jahili ke dalam notasi-notasi (taf’ilah) yang kemudian disebut dengan ilmu “Arudh dan Qawafiy”(Wajdiy, tth: III: 781).
Rumusan al-Farahidy inilah yang sampai sekarang dijadikan ciri pembeda antara syair jahiliy dengan yang lainnya termasuk Al-Qur’an, dari segi irama. Kaidah-kaidah itu disajikan dengan sangat ketat. Sehingga seseorang dengan kaidah-kaidah tersebut dapat mengetahui mana syair yang benar dan mana yang salah. Kaidah-kaidah ini membawa syair-syair Arab kepada suatu definisi yang diberikan oleh para kritikus sastra terhadap yaitu perkataan yang berwazan dan berqafiyah.  (Hamid, 1995: 192). Demikian karakteristik syair Arab jahiliyah secara umum, baik dari segi isi maupun bentuk.
Al-Qur’an tentunya bukanlah syair jahiliy. Namun dari sisi irama (baca: gaya bahasa), barangkali ada beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang mirip syair Arab jahili, sehingga banyak orang-orang pada waktu itu (terutama kafir Quraisy) menganggap al-Qur’an adalah syair dan menganggap Muhammad sebagai penyair (QS.  Al-Anbiya:5, al-Shafat:36). Anggapan bahwa al-Qur’an adalah syair, barangkali bisa dipahami. Mereka masih menganggap bahwa al-Qur’an merupakan aforisme-aforisme  yang memiliki daya magis tinggi yang dapat menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya, layaknya sebuah syair.
Bantahan terhadap hal itu datang dari salah seorang sarjana Barat yang sangat serius dalam kajian Al-Qur’an, yaitu Ricahard Bell. Ia  mengemukakan hasil risetnya yang dikutif Montgomery Watt (1995: 109) sebagai berikut:
“Di dalam Al-Qur’an tidak terlihat upaya untuk menghasilkan gaya bersajak tersebut. Dalam syair Arab, setiap bait harus berujung dengan konsonan (huruf/bunyi mati) atau konsonan-konsonan yang dikelilingi oleh vokal (bunyi hidup) yang senada. Penukaran bunyi  i  ke u diperbolehkan, meski hal ini dianggap sebagai kelemahan. Bunyi nada vokal pendek yang mengikuti konsonan-rima lazimnya dipertahankan dan jika dipertahankan, maka akan dibunyikan panjang dipenghujung bait. Hanya dalam kasus-kasus yang luar biasa sajalah barangkali ditemukan jenis rima semacam ini (di dalam Al-Qur’an). Yang dapat ditemukan di dalam kitab suci ini lebih merupakan purwakanti , di mana perubahan nada vokal pendek pada penghujung suatu ayat dikesampingkan; dan unt uk sisanya , vokal-vokal –terutama panjangnya- serta jatuhnya aksen –yakni bentuk kata akhir ayat- lebih dipentingkan daripada konsonan-konsonan.”
Lebih lanjut, Bell menegaskan bahwa kebanyakan surat Al-Qur’an terbagi ke dalam bagian-bagian atau alinea-pendek pendek. Namun panjang bagian atau alinea ini tidak baku, dan tidak pula terlihat mengikuti suatu pola panjang. Panjangnya bagian atau alinea tidak ditentukan oleh pertimbangan bentuk apa pun, tetapi oleh pokok bahasan atau peristiwa (Ibid. 115).
Dari segi isi, -jika asumsi di atas diterima-, apakah kandungan al-Qur’an sama dengan kandungan syair jahiliy? Ataukah berbeda sebagaimana bentuknya hasil penelitian Bell di atas? Di sini saya akan mencoba membandingkan al-Qur’an dan syair jahiliy dalam suatu tema yang sederhana, yaitu lembu dan unta. Dengan kata lain, bagaimana al-Qur’an dan syair jahiliy mendeskripsikan kedua tema tersebut? Tema ini diambil karena seperti telah dikemukakan di atas, banyak dijadikan objek estetika syair jahiliy, dan juga terdapat dalam al-Qur’an, yaitu yang pertama sebagai salah satu nama surat (al-baqarah) dan satu lagi hanya menjadi bahasan di dalam surat.

B. Intertekstualitas
Umberto Eco (1979:7) mendefinisikan semiotika sebagai kajian tentang segala sesuatu yang dianggap sebagai tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili atau menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu yang lain, dengan segala macam yang dapat mengartikan sesuatu hal lainnya (Berger, 2000:1). Bahasa sebagai suatu tanda, karena ia mewakili sesuatu yang lain, misalnya kata “meja” merupakan tanda karena mewakili “suatu benda” yang ada di dalam realitas. Sesuatu yang diwakili itu tidak harus konkrit, dapat juga sesuatu yang abstrak, seperti keadilan, ketulusan, dan sebagainya.
Di dalam perkembangan semiotika, terdapat dua paham (baca: filsafat) yang saling bertentangan, yaitu strukturalisme dan post-strukturalisme. Strukturalisme adalah suatu cara berpikir tentang dunia yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur (Hawkes, 2003: 6, Budiman, 1999:111-112). Strukturalisme menjadi terkemuka berkat adanya aplikasi linguistik Saussurean untuk mengkaji fenomena seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan, dan sebagainya. Fenomena-fenomena ini dapat dipahami sebagai sistem penandaan, dan dengan begitu, terbuka dianalisis secara linguistik (Budiman, 1999: 112).
Strukturalisme dapat diidentifikasi dengan beberapa prinsip salah satunya adalah prinsip imanensi (kehadiran), di mana seorang strukturalis menganalsis struktur di dalam sebuah sistem (Nöth, 1995:295). Sistem itu sangat tertutup dari dunia di sekitarnya. Dalam pengertian ini, teks sebagai suatu sistem hanya dikaji dengan menganalisis unsur-unsur (signifier-signified) di dalam sistem (teks) itu sendiri.
Hal inilah yang ditentang oleh paham post-strukturalisme, yang  salah satu pengikutnya ialah Julia Kristeva. Ia berpendapat bahwa tiap teks dan setiap bacaan tergantung pada kode-kode (yang ada di dalam teks-teks dan bacaan) sebelumnya (Chandler, 2002: 195).  Suatu teks atau karya dibuat dalam ruang dan waktu yang konkrit. Oleh sebab itu mesti ada relasi-relasi antara suatu teks atau karya dengan teks atau karya lainnya dalam ruang, dan dengan teks dan karya lain sebelumnya dalam suatu garis waktu. Dengan demikian, suatu teks atau karya tidak berdiri sendiri (otonom). Ide Kristeva ini dikenal dengan teori “intertekstualitas” (Piliang, 2003, 133).
Teori ini sebenarnya merupakan pengembangan Kristeva dari teori sastra “dialogisme” yang dicetuskan Mikhail Bakhtin, seorang pemikir berkebangsaan Rusia. Ia mengatakan bahwa teks sastra merupakan mosaik kutipan dari banyak teks, membentuk struktur dialogis serta struktur yang beragam suara (makna) (Nöth, 1995:323). Walau ia hidup di awal abad ke-20, namun pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi filsafat post-strukturalisme, terutama yang berkaitan dengan produksi teks (Piliang, 2003, 133).
Dalam pandangan Kristeva, intertektualitas merupakan proses linguistik dan proses diskursif. Dengan kata lain intertektualitas merupakan pelintasan dari suatu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Kristeva menggunakan istilah “transposisi” untuk menjelaskan pelintansan ini, yang di sepanjang pelintasan tersebut satu ata beberapa sistem tanda digunakan untuk merusak satu atau beberapa sistem tanda sebelumnya. Perusakan ini misalnya dapat berupa penghapusan bagian dari sistem tanda yang menjadi referensi, dan menggantinya dengan sistem tanda baru. Perusakan ini bisa juga semata, mencoret, menyilang, bagian dari sistem tanda teks referensi. Atau bisa juga hanya mengubah, mendistorsi atau mempermainkan tanda dengan tujuan kritis sinisme, atau sekedar lelucon (Piliang, 2003, 136)..
Dalam proses transposisi menuju sistem pertandaan baru, menurut Kristeva, sistem pertandaan referensi dan sistem pertandaan baru bisa saja menggunakan material yang sama; atau di lain pihak material tersebut dapat dipinjam dari sumber-sumber yang berbeda. Sebagai contoh karya tulis dapat meminjam material dari kisah dongeng (Piliang, 2003, 136).

C. Al-Qur’an dan syair jahili dalam perspektif Intertekstualitas
Dalam makalah ini penulis akan mengkaji kandungan al-Qur’an dengan dipertentangka dengan teks syair jahiliy, dilihat dari teori intertekstualitas Kristeva yang berasumsi bahwa suatu teks tidak berdiri sendiri tetapi lahir dari teks-teks lain sebelumnya. Dan tema yang akan dibahas adalah tema yang ada dalam kedua teks tersebut yaitu tema tentang lembu dan unta.
!. Lembu
Dalam syair jahiliy terdapat banyak syair yang berisi penggambaran binatang termasuk lembu. Salah seorang penyair jahiliy kawakan yang syairnya digantung di dinding Ka’bah (mu’allaqat), Lubaigd bin Rabi’ah telah menggambarkan lembu dalam syairnya sebagai berikut:
•    Lembu liar itu telah menyia-nyiakan anaknya, sehingga ia diterkam binatang buas. Maka oleh karena itu ia sering berkeliling-keliling, mondar-mandir di tanah keras itu, dari ujung sana ke ujung sana, mencari-cari anaknya dengan lenguhannya yang parau.
•    Lembu itu sungguh-sungguh mencari anaknya yang hilang itu. Maka ia menjatuhkan dirinya di atas tanah berguling-guling. Maka ketika itu, sekonyong-konyong datanglah serigala.
•    Serigala itu langsung menerkamnya, karena lembu itu sedang lalai. Lalu lembu itu berkata: “Sesungguhnya anak-anak panah kematian tidak akan meleset dari bidikannya.”
•    Lembu itu bermalam dalam guyuran huhjan yang lebat. Yang membuat pasir-pasir dapat menumbuhkan pepohonan.
•    Sekujur badannya diguyur oleh hujan yang tak henti-hentinya, di malam yang bintang-bintangnya disaput awan.
•    Ia berlindung di bawah batang-batang pohon dari dingin dan hujan. Yang mana sebetulnya batang-batang itu tak mampu mengusir hawa dingin yang yang menembus tulang sumsumnya, dan tidak pula dapat menahan dari hembusan pasir padanya.
•    Lembu itu bercahaya di malam hari, laksana mutiara seorang pelaut yang baru dibuka dari kulit kerangnya.
•    Sehingga tatkala kegelapan malam sirna dan mentari bersinar,  ia bangkit dari tempat berlindungnya. Tapak-tapak kakinya masih membekas pada tanah karena guyuran hujan semalam.
•    Ia sangat bersedih dan bingung, ke mana ia harus mencari anaknya. Tujuh hari-tujuh malam ia terus-menerus mencari anaknya itu (Zuzani, tth: 143-147).

Pada bait-bait di atas, tampak bahwa Lubaid sang penyair hanya menyajikan romantika kehidupan binatang yang saling memakan. Lalu dengan imajinasinya, ia melukiskan si induk binatang yang anaknya telah hilang diterkam binatang lain, bertingkah seperti manusia yang memiliki perasaan. Syair-syair di atas jelas merupakan pelukisan romantisme si penyair terhadap peristiwa-peristiwa yang menimpa lembu. Dalam batasan ini, si penyair hanya bermaksud melukiskan (washf) dan ratapan (ratsa) binatang lembu tersebut karena kehingan anaknya.
Berbeda dengan syair Arab di atas, penggambaran Al-Qur’an tentang lembu adalah sebagai berikut:
(Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya:”Sesungguhnya Allah menyuruh kaum menyembelih seekor sapi betina”. Mereka berkata:”Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab:”Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil. Mereka menjawab:”Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan sapi betina apakah itu.” Musa menjawab:”Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Mereka berkata:”Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya”. Musa menjawab:”Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. Mereka berkata:”Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu,
karena sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu. Musa berkata:”Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata:”Sekarang barulah kami menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya”. Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu ) (Q.S. al-Baqarah:67-71).

Kutipan ayat-ayat di atas menggambarkan posisi sapi atau lembu itu dalam kehidupan manusia. Sapi itu ditampilkan, sebagai suruhan Allah untuk disembelih, agar mereka tidak menyembah lagi sapi. Ini menyiratkan suatu perintah untuk bertauhid dan tidak berbuat menyekutukan-Nya. Walau penggambaran secara detail tentang sifat-sifat sapi, itu hanya atas permintaan mereka (orang-orang Yahudi) supaya tentu spesifikasinya. Namun sikap tersebut dilarang, karena akan mencelakakan si penanya. Hal itu terbukti dengan apa yang menimpa pada kaum Yahudi selanjutnya.
Ayat-ayat di atas menyuguhkan nilai-nilai religius, yaitu ketauhidan dan etika. Bertauhid dengan tidak meyekutukan Allah dengan menyembah sapi, dan beretika dengan tidak banyak bertanya terhadap suatu perintah. Maka jika demikian, dalam pandangan intertekstualitas, teks syair jahiliy tentang lembu, sebagai teks refensi telah diubah secara total oleh teks al-Qur’an yang datang kemudian. Lembu yang tadinya berada dalam deskripsi imajinatif belaka dalam syair jahiliy, kemudian diubah oleh teks  al-Qur’an posisinya ke deskripsi etika-religius kemanusiaan.

2. Unta
Mengenai penggambaran unta dalam syair Arab, Tharfah bin al-Abdi, yang termasuk penyair “mu’allaqat”, melukiskannya sebagai berikut:

•    ….ia (unta betina) bertemu. Kadang-kadang ia nampak jelas, seperti tambalan-tambalan (diujung gamis untuk memanjangkannya) yang bolong di gamis (baju kurung) yang hampir sobek (karena usang).
•    Lehernya panjang-pangjang jika ia berjalan naik ke atas. Seperti awak-awak kapal layar bushiy di sungai Dajlah yang sedang pasang.
•    Ia memiliki batok kepala (yang keras) seperti landasan palu (dari besi). Seakan-akan ia yang senantiasa menjaga tempat bertemu laron-laron, hingga ujung kikir.
•    Pipinya laksana kertas orang Syam. Dan bibirnya seperti kulit-kulit sapi yang telah disamak dengan daun akasia orang Yaman, yang potongannya tak rapih.
•    Kedua matanya seperti perempuan, yang memerlukan tempat berlindung di gua Hajaj, di bawah batu besar. Yang mana di sana terdapat lubang (cekungan) tempat air menggenang.
•    Kedua matanya banyak mengeluarkan kotoran. Tampak kedua matannya pakai celak (seperti) ketakutan atau (mirip) anak sapi liar.
•    (Ia memiliki dua telinga) yang mendengar dengan jujur, pada waktu perjalanan malam. Bagi telinganya, tidak ada (gerakan) yang samar dan suara yang lantang.
•    Pendengaran (kedua telinganya) setajam tusukan belati. Seperti kedua pendengaran banteng liar yang sedang menyendiri di Haumal.
•    (Ia memiliki hati) yang takut (karena kecerdasannya yang tinggi), sangat lincah, sangat keras (teguh), bagai batu besar dan keras, yang dapat memecahkan batu-batu keras lainnya, pada bebatuan (tulang rusuk) yang kokoh dan terhampar luas.
•    (Ia memiliki) bibir atas yang robek (sumbing) dan hidung yang elastis (lembek)  dan bolong. Hal yang menakjubkan itu ketika ia melempar tanah dengan hidungnya. Sedang kepalanya mengangguk-angguk.
•    Ia tunduk dan jinak. Jika kau mau, kau dapat menjalankannya dengan cepat. Dan jika kau mau, ia dapat berjalan dengan lambat, karena takut pada cambuk kulit bagus yang dililit (anyam).
•    Jika kau mau, kau dapat membuat kepalanya sejajar dengan tengah-tengah pelananya (di tempat tinggi). (Seakan-akan) ia berjalan jauh dengan kedua lengan (kaki) atasnya. Untuk mempercepat jalannya itu, (seperti) memaksa orang yang teraniaya.
•    Aku melewati seperti unta betina ini di beberapa perjalananku. Temanku bertanya: “Alangkah inginnya aku menebusmu dan melepaskan beban yang beratimu. Maka (dengan demikian) aku telah menebus diri sendiri.”
•    Jiwanya (hatinya) telah lenyap, karena rasa takut yang berlebihan. Ia menduga ahwa dirinya telah binasa. Walau pun aku memasuki waktu sore tidak dengan jalan ini (Zuzani, tth: 73-77)

Dalam bait-bait di atas, terlihat si penyair sangat apik dalam pelukisan (washf) pelik-pelik postur tubuh unta mulai pipi sampai kotoran mata. Kemudian untuk lebih memperjelas -dengan imajinasinya yang cukup tinggi- ia mengiaskan semua bagian-bagian tubuh tersebut dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya seperti gamis, kertas orang Syam, sampai perempuan. Ia memuji-muji (madah) kelebihan yang dimiliki unta tersebut, seperti jinak, lincah, hingga kecerdasan yang tinggi.
Pelukisan si penyair terhadapa unta tersebut memang luar biasa. Seakan-akan ia ingin memberitahukan kepada orang lain segala tentang unta, baik lahir maupun batinnya. Jika orang yang membaca syair di atas, sedang dia belum pernah melihat binatang yang disebut unta, maka penulis kira dengan penggambaran yang sejelas itu, ia akan langsung dapat membayangkannya.
Namun untuk apakah kira-kira gunanya pelukisan tersebut bagi pembaca? Apalagi bagi orang Arab yang setiap saat menemuinya? Penulis melihat penyair hanya melakukan pelukisan (washf) dan puji-pujian (madah) semata-mata, tidak atas tujuan lain. Ia hanya melukiskan berdasarkan rasa “kesenangan” (pleasure) saja, tidak berdasarkan “realitas sosial”. Ia hanya melihat unta dari sudut pandang unta, tidak dari sudut manusia. Bahkan dengan “kesenangannya” itu, terkesan ia bermaksud “memanusiakan” unta, dengan majaznya.
Walau demikian, ada penyair lain, yaitu Lubaid bin Rabi’ah, menggambarkan unta dari segi fungsinya, namun lagi-lagi, ia pun –dalam penggambarannya- lebih tidak menekankan pada aspek unta yang memiliki manfaat bagi manusia, tetapi lebih pada sensualitas wanita yang muncul karena melihat unta. Dengan kata lain, ia lebih mengutamakan “kesenangan” daripada realitas.
•    Unta itu membangkitkan rindumu terhadap wanita-wanita kabilah, ketika beberapa kelompok dari mereka masuk haudah  dari katun.
•    Wanita-wanita itu diangkut oleh unta, bagaikan lembu betina liar di atas unta tersebut.
Sedang Al-Qur’an melukisakan unta dalam beberapa konteks:
1. Konteks hukum, seperti ayat berikut:
(Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah:”Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya. Apakah kamu mennyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang berbuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?”. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim).(Q.S. al-an’am:144)

2. Konteks penciptaan, seperti ayat berikut:
(Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?). (Q.S. al-Ghasyiyah: 17-20)

3. Konteks ancaman bagi para pendusta ayat-ayat Allah dan sombong atasnya.
(Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke dala lobang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan). (al-A’rf:40)

Dari ketiga konteks di atas, nampak jelas, bahwa Al-Qur’an dalam melukisakan fenomena unta dalam tataran “realitas” sosial religius. Tak ragu lagi ketiga konteks di atas lahir dari pertimbangan akal sehat, bukan nafsu dan kesenangan. Dalam ayat pertama (konteks hukum), Allah tidak menurunkan hukum kepada manusia dengan aturan-aturan yang sulit, tetapi memberikan kemudahan dan keleluasaan. Aturan yang dipermudah itu dilandaskan pada pertimbangan akal sehat manusia agar dapat diterima dengan baik. Pemilihan baik dan buruk bukan dengan hawa nafsu, karena nafsu hanya akan membawa kepada kesesatan dan kejahatan.
Dalam ayat kedua (konteks penciptaan), Allah menyuruh untuk merenungkan proses dan sumber penciptaan unta. Ini menunjukan bahwa Allah lewat Qur’an mengajak manusia menggunakan akalnya untuk memikirkan realitas di sekitarnya, kendati hal yang dianggap sepele dan biasa seperti unta.
Konteks ketiga (ancaman), Allah menggambarkan unta dalam perumpamaan yang berfungsi sebagai ancaman bagi umat-Nya yang mendustakan ayat-ayat-Nya dan bersikap sombong atasnya. Perumpamaan yang dibuat tidak sekedar perumpamaan biasa tetapi memiliki fungsi yang sangat kuat dalam menggambarkan ancaman.
Jadi antara teks syair jahiliy dan al-Qur’an tentang unta, tak jauh beda dengan uraian tentang lembu di atas. Teks al-Qur’an mencoba merubah teks syair jahiliy, dengan mengubah posisi unta dari pandangan sekedar hewan kesenangan, menjadi hewan yang memiliki fungsi sosial-religuis bagi manusia.

D. Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teks Al-Qur’an melakukan pengubahan terhadap teks syair jahiliy secara isi, dengan menawarkan nilai-nilai etika dan estika baru untuk menuju kehidupan manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Abdul Baqi, Muhammad Fuad, tth, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazhi Al-Qur’ani al-Karimi, Maktabah Dahlan, Indonesia.
Al-Iskandari, Ahmad & ‘Inaniy, Musthafa, tth, Al-Wasith fi al-Adab al’Arabiy wa Tarikhihi, Dar al-Ma’arif, Mesir.
Berger, Arthur Asa, 2000, Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Budiman, Kris, 1999, Kosa Semiotika, LkiS, Yogyakarta.
Chandler, Daniel, 2002, Semiotics: The Basics, Routledge, London.
Eco, Umberto, 1979, A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington.
Farukh, Umar, 1997, Tarikh al-Adab al-‘Arabiy (al-Adab al-Qadim min Mathla’ al-Jahiliyyah Ila Suquth al-Daulah al-Umawiyyah, Dar al-Ilmi Lilmalayin, juz  I, Beirut.
Hamid, Mas’an, 1995, Ilmu Arudh dan Qawafi, Al-Ikhlas, Surabaya.
Hawkes, Terence, 2003, Structuralism and Semiotics, Routledge, London and New York.
North, Winfried, 1995, Handbook of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington.
Piliang, Yasraf Amir, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta.
Soenardjo, dkk., tth, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thiba’at al-Mush-haf asy-Syarif, Madinah Munawwarah.
Wajdiy, Muhammad Farid, tth, Dairah Ma’arif al-Qarni al-‘Isyrin, Dar al-Fikr juz III, Mesir.
Watt, Montgomery, 1995, Pengantar Studi Al-Qur’an (diterjemahkan oleh Taufiq Adnan Amal dari Bell’s Introduction to the Qur’an), Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Zuzaniy, tth, Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’i, Darul Jail, Beirut.

Mengenal Qira’ah


Berdasarkan etimologi (bahasa), qiraat jamak dari qira`ah, yang merupakan isim mas{dar dari qara`a. Qiro’ah artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi (istilah), sebagaimana yang dikemukakan imam al-Zarqani dalam bukunya Manahil al-’Irfan , sebagi berikut:
وفـي الاصطلاح مذهب يذهب إلـيه إمام من أئمة القراء مخالفاً به غيره فـي النطق بالقرآن الكريم، مع اتفاق الروايات والطرق عنه.
” Qira’ah ialah suatu cara membaca al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qira’ah, yang berbeda dengan cara orang lain dalam mengucapkan al-Qur’an al-Karim, sekalipun riwayat (sanad) dan jalannya sama “.
Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya Munjid al-Muqri’in mendefinisikan qira’ah sebagaimana berikut :
القراءات علـم بكيفـيات أداء كلـمات القرآن واختلافهما
“Qira’ah adalah ilmu mengenai cara mengucapkan kalimat-kalimat al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya”.
Imam al-Zarkassi dalam bukunya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an mengingatkan bahwa al-Qira’ah (bacaan) itu berbeda dengan al-Qur’an (yang dibaca). Keduanya merupakan dua fakta yang berlainan. Sebab, al-Qur’an adalah wahyu Allah swt yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw untuk menjadi keterangan dan mukjizat. Sedangkan qira’ah ialah perbedaan cara membaca lafaz-lafaz wahyu tersebut di dalam tulisan huruf-huruf yang menurut Jumhur cara itu adalah mutawatir. Jadi, qira’ah itu ialah cara membaca ayat-ayat al-Qur’an yang berupa wahyu Allah swt, dipilih oleh seorang imam ahli qira’ah, berbeda dengan cara ulama’ lain, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir sandanya dan selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta cocok dengan bacaan terhadap tulisan al-Qur’an yang terdapat dalam salah satu mushaf ‘Usman.
H. Sejarah Timbulnya Qira’ah
Periodesasi Qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi’in. Orang-orang yang menguasai al-Qur’an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam demi imam yang akhirnrnya berasal dari nabi Muhammad saw. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidak bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat di dalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis dengan satu wajah yang lain. Kalangan sahabat sendiri berbeda-beda dalam pengambilannya dari nabi Muhammad saw. Sahabat nabi Muhammad saw terdiri dari beberapa golongan, tiap-tiap golongan mempunyai lahjah (bunyi suara atau sebutan) yang berlainan satu sama lainnya. Manakala mereka menyebut pembacaan atau membunyikan dengan lahjah yang tidak mereka biasakan, suatu hal yang menyukarkan. Maka untuk mewujudkan kemudahan, Allah yang Maha Bijaksana menurunkan al-Qur’an dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh golongan Quraish dan oleh golongan-golongan yang lain di tanah Arab. Oleh karena demikian, jadilah bagi al-Qur’an beberapa rupa (macam) bunyi lahjah.
Diantara para sahabat yang terkenal mengajartkan qiraat ialah Ubai, ‘Ali, Zaid bin Sabit, ibn Mas’ud, Abu Musa al-Ash’ari dan lain-lain. Segolongan sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, diantarnya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa’ib. Ibnu Abbas juga belajar pada Zaid. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai Negara belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada nabi Muhammad saw sampai dengan datangnya masa tabi’in pada permulaan abad ke-2 H kemudian kepada para sahabat itulah sebagian besar tabi’in di setiap negeri mempelajari qiraat.
Diantara para tabi’in tersebut ada yang tinggal di Madinah yaitu ibnu Musayyab, ‘U{rwah, Salim, ‘Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan ‘Aja’ –keduanya putra Yasar, Mu’az bin Haris yang terkenal dengan Mu’az al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Shihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam. Yang tinggal di Makkah adalah: ‘Ubad bin ‘Umar, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan ibn ‘Abu Malikah. Tabi’in yang tinggal di Kufah ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Mashruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Syurahbil, al-Haris bin Qais, ‘Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Sa’id bin Jabir, al-Naha’i, dan al-Sha’bi. Adapun yang tinggal di Basrah ialah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah, Sedang yang tinggal di Syam ialah al-Mughirah bin Abu Shihab al-Mahzumi dan khalifah bin Sa’ad sahabat Abu Darda’. Tidak diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab Qira’ah dan al-Qur’an.
Ketika mengirim al-Qur’an adatau mushaf-mushaf keseluruh penjuru kota, khlifah ‘Usman r.a mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-masing mushaf yang diturunkan setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka ragamlah pengambilan para tabi’ain. Sehingga masalah ini bisa menimbulkan imam-imam Qari’ yang mashur yang berkecimpung di dalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qira’at dengan memberi tanda-tanda seta menyebarluaskannya. Itulah sejarah singkat timbulnya qira’ah dan macam-macamnya.
Macam-macam Qira’at
Qira’at ada macam-macam jenisnya. pendapat tentang qira’at itu sendiri juga sangatlah beragam dan semua pendapat tersebut sangatlah berbobot seperti yang tertera di bawah ini. Pengarang kitab al-Itqan menyebutkan macam-macam qira’at itu ada yang Mutawatir, Mashhur, Shadh, Ahad, Maudu’ dan Mudarraj. Sedangkan Qadi Jalal al-Din al-Bulqini mengatakan: Qira’at itu terbagi ke dalam: Mutawatir, Ah{ad dan Shadh.
Yang mutawatir adalah qira’at tujuh yang mashur. Yang ahad adalah qira’at tsalathah (tiga) yang menjadi pelengkap qira’ah ‘ashrah (sepuluh), yang kesemuanya dipersamakan dengan qira’at para sahabat. Adapun qira’at yang shadh ialah qira’at para tabi’in seperti qira’at A’masy, Yah{ya ibnu Wathab, Ibnu Jubair dan lain-lain.
Imam as-Suyut}i mengatakan bahwa kata-kata di atas perlu ditinjau kembali. Yang pantas untuk berbicara dalam bidang ini adalah tokoh qurra’ pada masanya yang bernama Shaikh Abu al-Khair ibnu al-Jazari dimana beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya al-Nashr: “Semua qira’at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi saja dan sesuai dengan salah satu mushhaf ‘Usmani walaupun hanya sekedar mendekati serta sanadnya benar maka qira’at tersebut adalah sahih (benar), yang tidak ditolak dan haram menentangnya, bahkan itu termasuk dalam bagian huruf yang tujuh dimana al-Qur’an diturunkan. Wajib bagi semua orang untuk menerimanya baik timbulnya dari imam yang tujuh maupun dari yang sepuluh atau lainnya yang bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut di atas tidak terpenuhi maka qira’at itu dikatakan qira’at yang syadz atau batil, baik datangnya dari aliran yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq dari kalangan salaf maupun khalaf.
Adapun tujuh Qari’ yang mashur adalah :
1.      Ibnu ‘Amir
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahsubi seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdu al-Malik. Pannggilannya adalah Abu ‘Imran. Dia adalah seorang tabi’in, belajar qira’at dari al-Mughirah ibnu Abi Shihab al-Mahzumi dari ‘Usman bin ‘Affan dari Rasulullah saw. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisha>m dan Ibnu Dhakwan.
Dalam hal ini pengarang al-Shatibi mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisham adalah sebagai penerus Abdullah. Dhakwan juga mengambil dari sanadnya.
2. Ibnu Kathïr
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Abdullah Ibnu Kathir al-Dari al-Makki, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat ‘Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Ansari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazi wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Al-Shatibi mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Kathir panggilan kaumnya. Ahmad al-Bazi sebagai penerusnya. Juga….. Muhammad yang disebut Qumbul namanya.
3. ‘Asim al-Kufi
Nama lengkapnya adalah ‘Asim ibnu Abi an-Nujud al-Asadi. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Shu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Shatibi dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Asim ibnu Iyasi panggilannya. Shu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasi atau Abu Bakar yang diridhai.
4. Abu Amr
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnu al-’Ala’ ibnu Ammar al-Bashri, seorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah al-Duri wafat pada tahun 246 H. dan al-Susi wafat pada tahun 261 H.
Al-Shatibi mengatakan: “Imam Mazini dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Basri, ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidi. Namanya terkenal bagaikan sungai Evrat. Orang yang paling saleh diantara mereka, Abu Shua’ib atau al-Susi berguru padanya.
5. H}amzah al-Kufi
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah al-Zayyat al-Fardi al-Thaimi seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Mansur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
Shatibi mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, H{alaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.
6. Imam Nafi’.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laithi, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasi wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Shatibi mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Uthman alias Warasi, sahabat mulia yang mengembangkannya.
7. Al-Kisaiy
Nama lengkapnya adalah ‘Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abu al-Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rashid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abu al-Harits wafat pada tahun 424 H, dan al-Duri wafat tahun 246 H.
Shatibi mengatakan: “Adapun Ali panggilannya Kisaiy, karena kisa pakaian ihramnya, Laith Abu al-Haris perawinya, Hafsah al-Dury hilang tuturnya.
Sedangkan yang disebut Qira’ah Ashrah adalah qira’ah yang disandarkan kepada sepuluh orang ahli qira’ah, yaitu tujuh orang yang tersebut dalam qira’ah sab’ah ditambah dengan tiga orang lagi, yaitu:
·         AbuJa’far Yazid Ibnu al-Qa’qa al-Qari (wafat 130 H.) di Madinah.
·         Abu Muhamamad Ya’qub bin Ishaq al-Hadari (wafat 205 H.) di Basrah.
·         Muhammad Khalaf bin Hisham al-’Amasyy (wafat 229 H.)
Selain yang disebutkan di atas, juga ada dikenal dengan qiraat Arba’a ‘Ashrata, yaitu qiraah yang disanadkan kepada 14 orang ahli qira’ah yang mengajarkannya. 14 orang ahli qira’ah tersebut ialah 10 orang ahli qira’ah ‘asrah ditambah empat orang ahli qira’ah yang lain. Empat orang itu adalah sebagai berikut :
·         Hasan al-Basri (wafat 110 H.) dari Basrah.
·         Ibnu Muhaish (wafat 123 H.)
·         Yahya Ibnu al-Mubarok (wafat 202 H.) dari Baghdad.
·         Abu al-Faraj Ibnu Ahmad al-Sambuzi (wafat 388 H.)

Analisis Syair Mu'allaqat


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang Masalah


“Seni paling unggul adalah seni yang mampu membangkitkan hasrat-berkehendak setelah sekian lama tersumbat. Oleh karena itu, seni untuk seni adalah sebuah rekayasa cerdas dari kebobrokan yang mengecoh dan menipu agar kita semakin terasing dari realitas kehidupan dan kekuatan “(S.A Vahid dalam Iqbal, 1916). 


Seni harus menghayati manusia dan segala kehidupannya. Di samping memberi rasa nikmat, seni harus dapat memandu pikiran manusia. Oleh karena itu, tak disangsikan bahwa seni ekspresi estetik paling hulu adalah puisi. Induk segala bentuk ekspresi sastrawi, dan belum ada yang melampauinya. Itu sebabnya, penyair Arab pada masa jahiliyah mempunyai posisi sosial yang tinggi. Mereka termasuk para elite yang sangat diperhitungkan dalam kabilah. Dengan puisi, mereka mengungkapkan kebesaran kabilah. Dengan puisi, mereka sanggah dan mereka lawan tipu daya musuh.


Kekuatan puisi bisa mengobarkan semangat juang di masa perang, tetapi sekaligus dapat menciptakan suasana teduh dalam masyarakat. Karena posisi penyair yang demikian itu, maka kabilah-kabilah sangat bangga dan sangat menghormati para penyair yang muncul di kabilahnya. Penjamuan bagi para penyair sangat besar. Sebagai elit, mereka mempunyai kelebihan, baik dalam segi pengetahuan, wawasan maupun dalam segi pengaruh di tengah-tengah masyarakat. 


Puisi Arab yang paling terkenal pada zaman Jahiliyah adalah puisi-puisi al-Mu’allaqat. Dinamakan al-Mu’allaqat, karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Kakbah. al-Mu’allaqat adalah Qasidah panjang yang indah yang diucapkan oleh para penyair jahiliyah dalam berbagai kesempatan dan tema. Sebagian Al-Mu’allaqot ini diabadikan dan ditempelkan didinding-dinding Ka’bah pada masa Jahiliyah. Para pujangga Al-Mu’allaqat berjumlah tujuh orang, yaitu Umru al-Qais, Amr' bin Kultsum at-Taghlibi dan al-Harits bin Hiliziah al-Bakri dikenal dengan puisinya yang bertemakan Al-Ghozal atau ungkapan cinta bagi sang kekasih, Zuhair bin Abi Sulma dikenal dengan puisinya yang bertemakan Al-Hikam atau kata-kata hikmah/mutiara, Antarah bin Syaddad al-Absi dikenal dengan puisinya yang bertemakan Al-Hamaasah atau semangat yakni untuk membangkitkan semangat ketika ada suatu peristiwa semacam perang atau membangun sesuatu, Tharafah bin Abdul Bakri dan Lubaid bin Rabi'ah al-Amiri dikenal dengan puisinya yang bertema Al-Madh atau pujian.
Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud untuk menganalisis syair-syair dalam mu’allaqat tersebut.












BAB II
ANALISIS SYAIR




2.1 Umru’ al-Qais


Sebagian besar ahli sastra Arab berpendapat bahwa diantara puisi-puisi al-Mu'allaqat, puisi Umru' al-Qais merupakan puisi yang paling terkenal dan menduduki posisi penting dalam khazanah kesusastraan Arab Jahiliyyah. Mu'allaqat Umru' al-Qais merupakan peninggalan yang paling monumental yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan kesusastraan Arab pada masa-masa selanjutnya. Puisi-puisinya seringkali dipakai sebagai referensi dalam kajian ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sharf, maupun balaghah.


Keistimewaan puisi-puisinya, 


pada kekuatan daya khayalnya dan pengalaman dalam pengembaraannya. Bahasa yang digunakan sangat tinggi dan isinya padat. Bait-bait puisinya menggambarkan cerita yang panjang, satu bait puisinya memiliki tujuan yang sangat banyak. Ia juga dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan cara menarik perhatian dengan cara istikafus-Shahby (yaitu cara mengajak orang untuk berhenti pada puing reruntuhan bekas rumah kekasihnya, hanya untuk sekedar mengenang masa percintaan), cara seperti ini sangat menarik bila digunakan dalam puisi ghazal (cara untuk merayu wanita).
Di bawah ini merupakan contoh puisi Umru' al-Qais dalam bab Ghazal yang menceritakan perjalanan bersama kekasihnya yang bernama Unaizah, seperti di bawah ini:


ويوم دخلت الخدر خدر عنيزة ¤ فقالت لك الويلات إنك مرجلى
تقول وقد مال الغبيط بنا معا ¤ عقرت بعيرى يا امرأ القيس فانزل
فقلت لها سيرى وارخى زمامه ¤ ولا تبعدينى من جناك المعلّل


"Suatu hari ketika aku sedang masuk ke dalam Haudat kekasihnya Unaizah, maka Unaizah berkata kepadaku: "Celakalah kamu, jangan kamu beratkan untaku".


"Ketika punggung untanya agak condong ke bawah (karena berat), maka ia berkata kepadaku: "Turunlah hai Umru al-Qais, janganlah kamu ganggu jalan untaku ini".


"Di saat itu, kukatakan kepadanya: "Teruskanlah perjalananmu dan lepaskanlah tali kekangnya, janganlah engkau jauhkan aku dari sisimu".


Analisis pada syair di atas, kita dapat mengetahui bagaimana cara Umrul Qais menggoda Unaizah kekasihnya dengan secara tiba-tiba menaiki unta yang sedang ditunggangi Unaizah. Ketika itu kekasihnya enggan satu tunggangan dengan Umrul Qais maka ia menyuruh Qais untuk turun dari untanya. Akan tetapi Qais tetap berada satu tunggangan dengan Unaizah, kemudian dia berkata "Teruskanlah perjalananmu dan lepaskanlah tali kekangnya, janganlah engkau jauhkan aku dari sisimu" . Bait dalam syair ini dapat kita simpulkan Umrul Qais begitu romantis, yang senantiasa ingin selalu berada bersama kekasihnya. cara seperti itulah yang amat digemari penyair Arab untuk membuka kasidahnya untuk menarik perhatian orang.


Selain itu, penyair ini juga mensifati kecantikan kekasihnya, Unaizah, seperti dalam bait puisi di bawah ini:


فلمّا اجزنا ساحة الحىّ وانتحى ¤ بنا بطن خبت ذى حقاف عقنقل
هصرت بفودى رأسها فتمايلت ¤ على هضيم الكشح ريّا المخلخل
مهفهفة بيضاء غير مفاضة ¤ ترائبها مصقولة كالسّجنجل
وجيد كجيد الرئم ليس بفاحش ¤ اذا هي نصته ولا بمتعطل
وفرع يزين المتن اسود فاحم ¤ انيث كقنو النخلة المتعثكل


"Ketika kami berdua telah melewati perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian orang kampung"


"Maka kutarik dirinya sehingga ia dapat merapat kepadaku, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca".


"Lehernya jenjang bak leher kijangi, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata". 


"Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang korma".
Pada bait puisi di atas Umru' al-Qais menggambarkan kecantikan kekasihnya dengan mengumpamakannya seperti seekor kijang yang panjang lehernya, karena seorang wanita yang panjang lehernya, menandakan sebagai seorang wanita yang cantik. Dengan gayanya yang khas tersebut dan gambaran yang seindah itu tidak dapat terlukiskan, kecuali bagi orang yang mempunyai daya khayal yang tinggi, ditambah dengan pengalaman yang luas, sehingga dengan itu semua ia dapat melukiskan sesuatu dengan berbagai macam perumpamaan dan sepertinya benar-benar terjadi.


Orang yang mempelajari puisi karya Umru' al-Qais dengan mendalam, maka akan ditemukan bahwa keindahan penyair ini terletak pada caranya yang halus dalam puisi ghazal-nya. Ditambah dengan gaya isti'arah (kata-kata kiasan dan perumpamaan). Sehingga banyak yang beranggapan bahwa ialah orang pertama yang menciptakan perumpamaan dalam puisi Arab. Walaupun pemakaian kata-kata kiasan, pengibaran dengan alam, dan simbolisasinya, tidak hanya didominasi oleh puisi-puisi Umru' al-Qais, tetapi dilakukan juga oleh para penyair lain. Akan tetapi, para ahli puisi Arab, berpendapat bahwa ialah orang yang pertama kali menciptakan puisi-puisi kontoversial pada zamannya, dan tidak jarang kata-kata yang bernada sinisme juga dipakai oleh Umu al-Qais dalam puisi-puisinya.


Terkadang ia juga berkata vulgar yang mengarah ke pornografi dalam ungkapan-ungkapan komparasi dan pembicaraannya mengenai wanita. Tercium pula aroma kecerdasan dan kepiawaiannya, serta tersirat pula indikasi-indikasi kepemimpinannya. Hal itu diantaranya terdapat dalam kata-katanya di bawah ini:


فظل العذرى يرتمين بلحمها ¤ وشحم كهداب الدمقس المفتل
وظل طهاة اللحم من بين منضج ¤ صفيف شواء أو قدير معجل


"Gadis-gadis itu terus melahap dagingnya dan lemaknya bagaikan kain sutra putih"
"Mereka terus memasak daging antara yang matang dengan dipanggang, dan ada yang direbus setengah matang"


Contoh lain yang menunjukkan kemahiran penyair ini dalam menggambarkan suatu kejadian dengan gayanya yang khas sehingga bayangan yang ada benar-benar terjadi. Seperti kesusahan yang dialaminya pada malam hari, seperti dibawah ini:


وليل كموج البحر مرخ سدوله ¤ عليّ بأنواع الهموم ليبتلى
فقلت له لمـّا تمطّى بصلبه ¤ واردف اعجازا وناء بكلكل
الا ايّها اللّيل الطويل الا انجلى ¤ بصبح وما الإصباح منك بأمثل


"Di kala gelap malam bagaikan badai laut yang tengah meliputiku dengan berbagai macam keresahan untuk mengujiku (kesabaranku)".


"Di kala malam itu tengah memanjangkan waktunya, maka aku katakan padanya".


"Hai malam yang panjang, gerangan apakah yang menghalangimu untuk berganti dengan pagi hari? Ya walaupun pagi itu pun belum tentu akan sebaik kamu". 


Pada bait-bait puisi di atas, sebenarnya penyair ini ingin mengutarakan betapa malang nasibnya. Di mana keresahan hatinya akan bertambah susah bila malam hari tiba. Karena saat itu ia merasa seolah-olah malam itu sangat panjang sekali. Sehingga ia mengharapakan waktu pagi segera tiba, agar keresahannya dapat berkurang, namun sayang sekali keresahannya itu tidak juga berkurang walaupun pagi hari telah tiba. Puisi di atas, tidak lain merupakan contoh dari kepandaian Umru' al-Qais dalam menggambarkan suatu keadaan. Sehingga seolah-olah itu benar-benar terjadi.


Bait puisinya terkumpul semuanya dalam kasidah mu'allaqat-nya. Mu'allaqat Umru' al-Qais sangat terkenal dikalangan setiap orang yang mempelajari kesusastraan Arab. Penyair ini menciptakan kasidah muallaqadnya tidak lain adalah untuk mengabadikan suatu kejadian yang dialaminya. Seperti kejadian yang dialaminya besama sang kekasih Unaizah.


Pada suatu ketika Umru' al-Qais ingin bertemu kekasihnya, namun keinginannya itu selalu dihalangi oleh pamannya, karena ia takut anak puterinya itu akan terbujuk dengan puisi Umru' al-Qais. Karena itulah, Umru' al-Qais berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan kesempatan agar dapat bertemu dengan anak pamannya yang bernama Unaizah. Dan pada suatu ketika, ia berhasil bertemu dengan Unaizah dan bersepakat bertemu dalam kesempatan lain bila anggota kabilahnya sedang pergi mengambil air. Dan telah menjadi kebiasaan kabilah itu, bila hendak mengambil air kaum lelaki berjalan terlebih dahulu, kemudian barulah diikuti kaum wanita dari belakang.


Sewaktu kaum lelaki pergi ke mata air, Umru' al-Qais tidak keluar bersama mereka, bahkan penyair ini menunggu keberangkatan kaum wanita. Dan ketika kaum wanita keluar menuju mata air, maka Umru' al-Qais keluar mendahului mereka agar dapat sampai lebih dahulu. Sesampainya di mata air yang bernama Juljul yang terletak di daerah Kindah (Nejed), penyair ini langsung bersembunyi di balik batu yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.


Ketika rombongan wanita yang di dalamnya terdapat kekasihnya tiba di mata air Juljul, maka mereka langsung menanggalkan pakaiannya masing-masing, dan meletakkannya di atas batu. Setelah mereka masuk ke dalam air, maka Umru' al-Qais yang tengah asyik memperhatikan dari balik batu, langsung mengambil pakaian mereka semua, dan berjanji tidak mengembalikannya kecuali bila mereka keluar dari mata air itu dengan keadaan telanjang bulat. Melihat kejadian itu, semua kaum wanita terkejut dan meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaian mereka. Namun Umru' al-Qais tetap bersikeras tidak mengembalikan pakaian mereka bila mereka tidak mau keluar dalam keadaan telanjang bulat. 


Akhirnya, dengan keadaan terpaksa kaum wanita itu keluar dari mata air Juljul dalam keadaan telanjang bulat untuk mengambil pakaian mereka dari tangan Umru' al-Qais, tetapi hanya Unaizah yang tidak mau keluar dari mata air, dan ia meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Setelah ia mengetahui bahwa Umru' al-Qais tidak akan mengembalikan pakaiannya, maka dengan terpaksa Unaizah keluar dari mata air dengan keadaan telanjang dan meminta Umru' al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Dan kemenangannya itu, diabadikannya dalam kasidah mu'allaqat-nya.




2.2 Tharfah ibn ‘Abd


أرى الموتً يعتام الكرام ويصطفي ¤ عقيلة مال الفاحش المتشدِّد
أرى العيش كنزاً ناقصاً كل ليلةٍ ¤ وما تَنقُصِ الأيّامُ والدّهرُ يَنفَدِ
لعمرُكَ إنَّ الموتَ ما أخطأ الفتى ¤ لَكالطِّوَلِ المُرخى وثِنياهُ باليَدِ


Aku melihat maut memilih orang-orang terhormat dan memilih orang-orang yang mulia yang hartanya di dapat dengan melakukan tindakan keji


Aku melihat hidup ini adalah tabungan simpanan yang selalu berkurang setiap malam, dan apa-apa yang berkurang karena masa dan hari-hari pasti akan binasa


Demi tuhan pemberi nyawa sesungguhnya kematian tidak akan pernah luput dalam mencabut nyawa, sungguh dia bagaikan tali pengikat binatang yang salah satu ujungnya di genggaman tangan. 




2.3 Zuhair Bin Abi Sulma


Keistimewaan karyanya terletak pada kekuatan bahasa dan susunan kata-katanya, banyak terdapat kata-kata asing (sulit) dalam puisinya, dia berupaya untuk mencari hakekat makna asli untuk mengeluarkannya pada konkrisitas materi yang sebenarnya. Dengan kekuatan akal dan wawasannya dalam penggambaran-penggambaran dan imajinasinya. Pada umumnya, apa yang diungkapkannya tidaklah jauh dari hakekat realitas yang konkret. Zuhair juga termasuk penyair masa Jahiliyyah yang terkenal dalam pengungkapan kata-kata hikmah dan pribahasa. Dalam kehidupannya ia terkenal dengan konsistensi dan kecerdasannya. Pendapatnya sesuai dengan kehidupannya. Posisi kesusastraannya, menurut kebanyakan para kritikus sastra Arab, dibangun atas hikmah dan kata-kata bijak yang dikenal pada masanya (Karum al-Bustani, 1953:6).


وأعلم ما فى اليوم والأمس قبله ¤ ولكنى عن علم ما فى غد عم
ومن يجعل المعروف من دون عرضه ¤ يفره ومن لا يتق الشتم يشتم
ومن يك ذا فضل فيـبخل بفضله ¤ على قومه يستغن عنه ويذمم
ومن يوف لايذمم ومن يهد قلبه ¤ إلى مطمئن البر لا يتجمجم
رأيت المنايا خبط عشواء من تصب ¤ تمته ومن تخطئ يعمّر فيهرم
ومن هاب اسباب المنايا ينلنه ¤ وإن يرق اسباب السماء بسلّم
ومن يجعل المعروف فى غير أهله ¤ يكن حمده ذماّ عليه ويندم


"Aku dapat mengetahui segala yang terjadi pada hari ini dan kemarin, tetapi aku tetap tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok hari"


"Barang siapa berbuat kebaikan dari kedalaman harga dirinya, ia akan terpelihara, dan barang siapa yang tidak melindungi diri dari cercaan, ia akan dicerca" 


"Barang siapa memiliki kelebihan harta, lalu ia bakhil (pelit) dengan hartanya itu terhadap kaumnya, maka ia tidak akan berguna dan akan dicerca"


"Barang siapa memenuhi kewajibannya, ia tidak akan dicerca, barang siapa hatinya mendapat petunjuk menuju ketentraman dalam berbuat kebaikan, maka ia tidak akan terguncang oleh ketegangan"


"Aku lihat maut itu datang tanpa permisi terlebih dahulu, barang siapa yang didatangi pasti akan mati, dan barang siapa yang luput dia akan mengalami lanjut usia". 


"Barang siapa yang takut mati, pasti ia akan bertemu juga dengan kematian itu, walaupun ia naik ke langit dengan tangga"


"Barang siapa yang menolong orang yang tidak berhak untuk ditolong, maka ia akan menerima resikonya dan akan menjadikan penyesalan baginya".


Pada syair diatas banyak mengungkapkan amtsal (pribahasa) dan kata-kata hikmah, sehingga penyair ini dianggap sebagai orang yang pertama dalam menciptakan kata-kata hikmah dalam puisi Arab. Selain itu syair diatas memiliki keistimewaan lain yaitu sebagai berikut:


1. Ijaz-nya bagus dan suka membuang tambahan pembicaraan serta kata-kata yang kurang dipelukan, sehingga ia menciptakan sedikit kata banyak makna.
2. Madah-nya bagus dan menjauhi kedustaan di dalamnya. Dia tidak memuji seseorang melainkan karena akhlaknya dan sifat-sifat terpuji yang diketahuinya.
3. Puisinya sedikit sekali mengandung kata-kata yang buruk. Oleh karena itu, puisi-puisinya bersih dan sedikit sekali adanya cercaan di dalamnya.


Adapun syair lain dalam muallakad Zuhair dibawah ini:


فاقسمت بالبيت الذى طاف حوله ¤ رجال بنوه من قريش وجرهم
يمينا لنعم السيّـــدان وجـدتما ¤ على كل حال من سحيل ومبرم
تداركتما عبسا وذبيان بعدمــا ¤ تفانوا ودقوا بينهم عطر منشم
وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا ¤ بمال ومعروف من القول نسلم
فاصبحتما منها على خير موطن ¤ بعيدين فيها من عقوق ومأثـم
عظيمين فى عليا معدّ هديتمـا ¤ ومن يستبح كنـزا من المجد يعظم


"Aku bersumpah dengan Ka'bah yang ditawafi oleh anak cucu Quraisy dan Jurhum".


Aku bersumpah, bahwa kedua orang (yang telah menginfakkan uangnya untuk perdamaian itu) adalah benar-benar pemuka yang mulia, baik bagi orang yang lemah, maupun bagi orang yang perkasa".


"Sesungguhnya mereka berdua telah dapat kesempatan untuk menghentikan pertumpahan darah antara bani Absin dan Dhubyan, setelah saling berperang diantara mereka".
"Sesungguhnya mereka bedua telah berkata: "Jika mungkin perdamaian itu dapat diperoleh dengan uang banyak dan perkataan yang baik, maka kami pun juga bersedia untuk berdamai".


"Sehingga dalam hal ini kamu berdua adalah termasuk orang yang paling mulia, yang dapat menjauhkan kedua suku itu dari permusuhan dan kemusnahan".
"Kamu berdua telah berhasil mendapatkan perdamaian, walaupun kamu berdua dari keluarga yang mulia, semoga kalian berdua mendapatkan hidayah, dan barang siapa yang mengorbankan kehormatannya pasti dia akan mulia"


Pada bait ini menjelaskan kehidupan zuhair dalam masa terjadinya peperangan yang berlarut-larut selama 40 tahun antara kabilah Abbas dan Bani Dzubyan, yang terkenal dengan peperangan Dahis dan Gabra'. Dalam peristiwa perang ini, ia pun turut ambil bagian dalam usaha mendamaikan dua suku yang sedang berperang tersebut. Dalam usaha perdamaian itu, ia mengajurkan kepada para pemuka bangsa Arab untuk mengumpulkan dana guna membeli tiga ribu ekor unta untuk membayar tebusan yang dituntut oleh salah satu dari kedua suku yang sedang berperang itu. adapun yang sanggup menanggung keuangan itu adalah dua orang pemuka bangsa Arab yang bernama Haram bin Sinan dan Harits bin Auf. Sehingga berkat usaha kedua orang ini, peperangan yang telah terjadi selama 40 tahun dapat dihentikan. Untuk mengingat kejadian yang amat penting itu, Zuhair mengabadikan dalam salah satu puisi muallaqat-nya, Dari beberapa yang kami sebutkan di atas diketahui ketinggian budi penyair dan keikhlasan terhadap kepentingan bangsanya sendiri, sehingga ia disenangi penyair lain. bait syair di atas terdapat kata hikam bahwa barang siapa yang mengorbankan kehormatannya pasti akan mulia.


Penyair ini memang tidak sempat merasakan masa ketika diutusannya Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, penyair ini sudah percaya akan datangnya hari Kiamat dan hari pembalasan. Seperti terlihat pada bait puisinya dalam muallakad dibawah ini:


فلا تكتمنّ الله ما فى نفوسكم ¤ ليخفى ومهما يكتم الله يعلم
يؤخر فيوضع فى كتاب فيدخر ¤ ليوم الحساب أو يعجل فينقم


"Janganlah sekali-kali kalian menyembunyikan kepada Allah (penghianatan dan pelanggaran atas sumpah kalian) dalam hati kalian dengan tujuan untuk menyembunyikannya, tetapi ingatlah!! Walau kalaian sembunyikan, Allah maha mengetahui".


"Ditangguhkan, lalu dicatat dalam buku amal dan disimpan untuk kemudian diungkapkan di hari perhitungan, atau disegerakan pembalasannya dalam kehidupan dunia ini".
Jika benar bait-bait puisi di atas dinisbatkan kepada Zuhair bin Abi Sulma, maka hal itu dapat dijadikan petunjuk bahwa dia termasuk salah seoorang penyair masa Jahiliyyah yang mempunyai kepercayaan yang hanief (lurus), dan kepercayaan keberhalaannya diragukan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa dia termasuk golongan orang-orang yang mengharamkan khamr (arak atau minuman keras), mabuk, dan mengundi nasib dengan panah (Syauqi Dhoif, 1960:303). Zuhair berumur panjang dan meninggal sekitar setahun sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul.




2.4 Lubaid bin Rabiah


إنّا إذا التقتِ المجَامِعُ لم يَزَلْ ¤ منّا لِزَازُ عظيمة ٍ جَشّامُها
وَمُقَسِّمٌ يُعْطِي العشيرة َ حَقَّهَا ¤ وَمُغَذْمِرٌ لحقوقِها هَضَّامُها
فضلاً، وذو كرمٍ يعينُ على النَّدى ¤ سمحٌ كسُوبُ رغائبٍ غنّامُها 
مِنْ معشرٍ سنَّتْ لهمْ آباؤهُمْ ¤ ولكلِّ قومٍ سُنَّة ٌ وإمامُهَا
لا يَطبَعونَ وَلا يَبورُ فَعالُهُم ¤ إِذ لا يَميلُ مَعَ الهَوى أَحلامُها
فاقْنَعْ بما قَسَمَ المليكُ ¤ فإنّمَا قسمَ الخلائقَ بينَنا علاَّمُها
وإذا الأمانة ُ قُسِّمَتْ في مَعْشَرٍ ¤ أوْفَى بأوْفَرِ حَظِّنَا قَسّامُهَا
فبنى لنا بيتاً رفيعاً سمكُهُ ¤ فَسَما إليه كَهْلُهَا وَغُلامُها
وَهُمُ السُّعَاة ُ إذا العشيرة ُ أُفْظِعَتْ ¤ وهمُ فوارِسُهَا وَهمْ حُكّامُها
وهمُ رَبيعٌ للمُجَاورِ فيهمُ ¤ والمرملاتِ إذا تطاولَ عَامُها
وَهُمُ العَشيرة ُ أنْ يُبَطِّىء َ حاسدٌ ¤ أو أن يميلَ معَ العدوِّ لئامُها


“Bila beberapa kabilah sedang berkumpul, maka kaumku akan menandingi mereka dalam berdebat ataupun bertanding.


Kaumku pembagi adil yang memberikan hak keluarganya, dan kaumku sangat murah kepada orang yang merampas hak keluarganya.


Kaumku menolong dengan sukarela, karena mereka suka menolong, suka memaafkan, suka pada suatu kemuliaan.


Kaumku berasal dari keturunan yang suka pada kemuliaan, dan bagi setiap kaum pasti mempunyai adat dan pemimpin tersendiri.


Kaumku tidak pernah merusak kehormatannya dan tak suka mengotori budi pekertinya, karena mereka tidak senang condong pada hawa nafsu.


Bila keluarganya sedang tertimpa musibah, mereka akan membantu, merekalah pahlawan bila keluarga sedang terserang dan mereka yang akan menundukkan musuh.
Kaumku adalah penolong bagi orang yang minta pertolongan dan pembantu bagi janda yang tertimpa kemalangan.”
(Syahrul Muallaqad halaman 137-139)


Para ahli sastra Arab menggolongkannya syairnya dalam kelas tinggi dari segi kesopanan dan lebih condong kepada ketuhanan. Banyak menunjukkan pada sifat mulia dan kemauan keras demi untuk mencapai martabat tinggi. Yang paling menonjol sekali dari syairnya, dia tidak pernah mengejek siapapun dan tidak pernah merendah diri kepada orang besar, karena penyair ini tidakmenjadikan syairnya sebagai modal pencari kedudukan ataupun harta seperti yang dilakukan oleh penyair lainnya. Bahkan penyair ini selalu membanggakan kaumnya yang selalu berusaha untuk mendapatkan kemuliaan dalam menolong orang lemah dan sebagainya.




2.5 Amr bin Kaltsum


وَقَـدْ عَلِمَ القَبَـائِلُ مِنْ مَعَـدٍّ ¤ إِذَا قُبَـبٌ بِأَبطَحِـهَا بُنِيْنَــا
بِأَنَّـا المُطْعِمُـوْنَ إِذَا قَدَرْنَــا ¤ وَأَنَّـا المُهْلِكُـوْنَ إِذَا ابْتُلِيْنَــا
وَأَنَّـا المَانِعُـوْنَ لِمَـا أَرَدْنَـا ¤ وَأَنَّـا النَّـازِلُوْنَ بِحَيْثُ شِيْنَـا
وَأَنَّـا التَـارِكُوْنَ إِذَا سَخِطْنَـا ¤ وَأَنَّـا الآخِـذُوْنَ إِذَا رَضِيْنَـا
وَأَنَّـا العَاصِمُـوْنَ إِذَا أُطِعْنَـا ¤ وَأَنَّـا العَازِمُـوْنَ إِذَا عُصِيْنَـا
وَنَشْرَبُ إِنْ وَرَدْنَا المَاءَ صَفْـواً ¤ وَيَشْـرَبُ غَيْرُنَا كَدِراً وَطِيْنَـا
أَلاَ أَبْلِـغْ بَنِي الطَّمَّـاحِ عَنَّـا ¤ وَدُعْمِيَّـا فَكَيْفَ وَجَدْتُمُوْنَـا
إِذَا مَا المَلْكُ سَامَ النَّاسَ خَسْفـاً ¤ أَبَيْنَـا أَنْ نُقِـرَّ الـذُّلَّ فِيْنَـا
مَـلأْنَا البَـرَّ حَتَّى ضَاقَ عَنَّـا ¤ وَظَهرَ البَحْـرِ نَمْلَـؤُهُ سَفِيْنَـا
إِذَا بَلَـغَ الفِطَـامَ لَنَا صَبِـيٌّ ¤ تَخِـرُّ لَهُ الجَبَـابِرُ سَاجِديْنَـا


Kabilah-kabilah telah mengetahui siapa yang berbahagia


Jika berkemah di dataran luas kamipun membangun perkemahan


Bahwa kami adalah orang-orang yang bisa makan


Bila kami mampu mendapatkan makanan


Dan kami adalah orang yang porak-poranda


Bila kami tak henti diancam bencana


Kami adalah orang-orang yang mampu menahan diri


Tidak sembarangan menggapai apa yang kami kehendaki


Dan kami adalah orang-orang yang ditinggal, dimana kami suka


Kami adalah orang-orang yang meninggalkan sesuatu bila kami tidak suka


Dan kami adalah orang-orang yang mengambil bila kami memang suka


Kami akan minum kalau ada air yang segar


Sedangkan orang lain selain kami meminum air yang kotor dan lumpur


Ketika raja mengungguli manusia dengan perbuatan rendah dihinakan


Kami menolak dan tidak mau berbuat hina


Milik kami adalah dunia Dan kami terkuasa atasnya


Kami menindas ketika mau menindas 


Orang-orang dzalim berbuat kedzaliman sedangkan kami tidak mau di dzalimi


Tetapi kami akan mulai melawan orang-orang yang mendzalimi kami 


Dunia sesak dengan kebaikan kami, 


Kami adalah lautan dan kami memenuhinya dengan perahu-perahu kami


Apabila bayi kami telah selesai umur menyusui


Para penguasa dan diktator akan jatuh tersungkur dan bersujud kepadanya
(Al-Iskandary, 1978:77)




Puisi ini menjelaskan ketika Banyak peperangan yang terjadi dan menimpa Kabilah Taghlib adalah perselisihannya dengan kabilah yang masih tergolong saudara dengan kabilah Taghlib yaitu dengan kabilah Bakr ibn Wail. Peperangan kedua kabilah bersaudara ini sangat terkenal dikalangan masyarakat Arab jahiliyah dengan sebutan perang Basus. Dan Puisi ini menjelaskan tentang Kebanggaan diri kaumnya, yang selalu bertahan, dan selalu berbuat Baik tidak pernah mendzolimi orang lain.




2.6 Antarah Ibn Syaddad Al-Absy


Pada mulanya penyair ini tidak terkenal sebagai penyair ulung, tetapi untungnya sejak muda penyair ini telah menyimpan bakat untuk berpuisi. Dan bakat inilah yang mendorong untuk meningkatkan prestasinya dalam berpuisi. Kebanyakan puisinya dikumpulkan dalam mu'allaqadnya yang sangat panjang. Puisinya dikenal bertemakan Al-Hamaasah atau semangat yakni untuk membangkitkan semangat ketika ada suatu peristiwa semacam perang atau membangun sesuatu.


Adapun beberapa bait syair Antarah dibawah ini:


هلاّ سألت الخيل ياابنة ملك ¤ إن كنت جاهلة بما لم تعلمى
إذ لا أزال على رحالة سابح ¤ نهد تعاوره الكماة مكلّم
طورا يجرّد للطّعان وتارة ¤ يأوى إلى حصد القسىّ عرمرم
يخبرك من شهد الوقيعة أنّنى ¤ اغشى الوغى واعفّ عند المغنم
ومدجّج كره الكماة نزاله ¤ لا ممعن هربا ولا مستسلم
جادت له كفّى بعاجل طعنة ¤ بمثقّف صدق الكعوب مقوّم
فشككت بالرّمح الأصمّ ثيابه ¤ ليس الكريم على القنا بمحرّم
فتركته جزر السّباع ينشنه ¤ يقضمن حسن بنائه والمعصم


"Wahai puteri Malik, tidakkah engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku di medan peperangan, jika engkau tidak tahu?"


"Tidakkah engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku ketika aku sedang berada di atas kuda yang dilukai oleh musuh?"


"Ada kalanya aku bawa kuda itu untuk menyerang musuh, namun adakalanya aku membawa kudaku untuk bergabung dengan pasukan yang banyak"


"Jika kamu bertanya tentang diriku pada orang yang hadir dalam peperangan itu, maka mereka akan memberitahukan kepadamu bahwa aku adalah orang yang selalu maju (berada di depan) dalam setiap peperangan dan aku orang yang tidak tamak dalam pembagian rampasan perang"


"Adakalanya ada ksatria yang berani dan sangat ditakuti oleh musuhnya dan tidak mau menyerah"


"Namun tanganku buru-buru menerkamnya dengan tusukan tombak yang kuat"


"Dan ketika ksatria itu aku tusuk dengan tombak yang keras, yang dapat menembus baju jirahnya. Dan orang bangsawan pun tidak mustahil untuk terbunuh"


"Setelah ksatria itu terbunuh, maka aku tinggalkan begitu saja agar menjadi santapan binatang buas yang akan menghancurkan jari tangan dan lengannya yang bagus itu"


Pada bait syair ini Antarah mengisahkan kegagahannya dalam berperang, semangat dalam berperang yang luar biasa dan tidak pantang menyerah. Gambaran bait dalam syair diatas yang berwarna kuning, bahwa antarah sesosok ksatria yang begitu kejam terhadap musuhnya, ia tidak akan membiarkan musuhnya dalam keadaan hidup, kekejamannya membuat ia sangat ditakuti musuhnya.


Para ahli sastra Arab menggolongkan puisi Antarah ke dalam kelas tertinggi dalam menggambarkan dan mensifati segala kejadian yang dialaminya. Dalam salah satu bait puisinya, penyair ini menerangkan kepada kekasihnya bahwa ia adalah seorang yang baik bila ia tidak diganggu dan dirampas miliknya. Akan tetapi, jika ia diganggu, maka ia akan membalas perbuatan orang itu dengan kekerasan yang dapat dijadikan pelajaran selama hidup orang yang menggangunya. Seperti contoh di bawah ini:


اثنى عليّ بما علمت فإننى ¤ سمح مخالفتى اذا لم اظلم
واذا أظلمت فإنى ظلمى باسل ¤ مرّ مذاقته كطعم العلقم


"Pujilah aku (wahai kekasihku) dari apa yang kamu ketahui dari kelakuan baikku. Sesungguhnya aku adalah seorang yang lemah lembut bila tidak dizalimi oleh siapa pun"


"Namun, jika aku dizalimi oleh seseorang, maka aku akan membalasnya dengan balasan yang lebih keras dari kezalimannya"




2.7 Haris bin Hilza


وَأَتانا عَن الحوادث والأَنبا ¤ ءٌ وَخَطبٌ نُعنى بِهِ وَنُساءُ
إِنَّ إخْوَانَنَا الأرَاقِمَ يَغلُو ¤ نَ علينــا في قيلهــمْ إحفاءُ 
يخلطونَ البريءَ منّـا بذي الذَّنـ ¤ ب وَلاَ يَنْفَعُ الخَلِيَّ الخَلاءُ
زَعَمُوا أَنَّ كُلَّ مَن ضَرَبَ العَي ¤ رَ مَوالٍ لَنا وَأَنّا الوَلاءُ
أَجمَعوا أَمرَهُم بِلَيلٍ فَلَمّا ¤ أَصبَحُوا أَصبَحَت لَهُم ضَوضاءُ
منْ منـادٍ ومنْ مجيبٍ ومِنْ تصـ ¤ ـهَالِ خَيْلٍ خِلاَلَ ذَاكَ رُغاءُ
أيُّــها الناطقُ المرقِّـشُ عنّـا ¤ عِنْدَ عَمْرو وَهَلْ لِذَاكَ بَقَاءُ


Dan telah datang kepada kami berita dan kejadian yang tidak baik
Saudara-saudara kami adalah kabilah” Arraqim” telah melanggar batas dan berkata yang tidak benar tentang kami, 


Mencampur orang-orang yang tidak bersalah dengan orang-orang yang berbuat dosa, tidak berguna, orang yang tidak melakukan dosa


Mereka menyangka bahwa setiap orang yang memukul himar adalah Maula kami, Mereka bersepakat pada malam hari untuk menyerang kami dan ketika datang waktu pagi mereka sudah ribut


Siapa yang menyuruh dan menjawab seruan, 


Kuda-kuda dan ontapun Saling bersautan


Wahai orang yang berbicara tentang kita dengan penuh kebohongan didepan Raja Amru.
Apakah kebohongan itu akan bisa abadi?
(Lajnah, 1962: 87)


Al-Haris ibn Al-Yasykari bil Bakri, diriwayatkan Bahwa Amru ibn Hindi Raja Hirah ingin menjadi mediator perdamaian antara kabilah bakr taghlib setelah terjadi perang al-Basus. Kemudian raja mengambil jaminan sandra dari kedua kabilah tersebut. Pada suatu hari terjadi peristiwa raja memberi izin sandra dari kabilah kabilah taghlib untuk keperluan mereka, ketika ada rombongan datang suku taghlib menyangka mereka adalah kelompok bakar yang akan mencari air kemudian dikepung sampai mati kehausan. Kabilah bakar menyangka mereka diberi minum kemudian ditunjukan jalan yang menyesatkan sampai meninggal. Kedua kabilah kemudian mempermasalahkan tersebut diraja Amru, kemudian hal ini membuat al Haris prihatin sedangkan dia dalam majlis tersebut berada dibalik tabir karena Haris terkena penyakit Kusta, kemudian ia menyandingkan Qasidah puisi tersebut yang membanggakan kaumnya, tentang kejujuran dan kebaikan kaumnya. Maka dari itu puisinya bertemakan maddah, memuji. Kemudian situasi berubah raja kemudian berbalik pada kabilah bakar dan mengangkat Haris sebagai penasehatnya.