Wednesday, February 11, 2009

Safar ke Kuburan (2)

Posted: 28 Jan 2009 09:31 PM CST

Kesimpulan

Uraian panjang di atas, mengenai perbedaan pendapat dalam permasalahan ini membawa kita pada kesimpulan berikut:

1. Wajib memberlakukan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu. Larangan yang tercantum dalam hadits tersebut ditujukan bagi mereka yang sengaja bersafar ke suatu tempat yang diyakini memiliki keutamaan. Hal ini ditunjukkan oleh tindakan Abu Basrah yang mengingkari Abu Hurairah yang mengunjungi bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana untuk mendapat berkah. Tindakan serupa dilakukan oleh sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melarang Qaz’ah tatkala hendak pergi menuju bukit Thursina.

2. Hadits Abu Basrah dan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas merupakan dalil yang mengkuhususkan hadits Abu Sa’id Al Khudri dan yang semisalnya. Larangan tersebut hanya berlaku bagi orang yang sengaja bersafar ke suatu tempat selain masjid yang tiga dalam rangka beribadah. Sehingga larangan bersafar hanya berlaku pada tempat-tempat yang akan digunakan untuk peribadatan, seperti masjid selain masjid yang tiga atau tempat-tempat semisal yang diyakini memiliki keutamaan apabila seorang beribadah di sana seperti bukit Thursina yang dikunjungi oleh Abu Hurairah lalu diingkari oleh sahabat Abu Basrah.

Adapun safar ke suatu tempat dengan tujuan untuk menuntut ilmu, berjual-beli atau safar ke suatu tempat tanpa kepentingan melakukan ibadah disana, maka hal ini tidak tercakup dalam larangan tersebut. Bersafar dengan tujuan menuntut ilmu, berdagang atau mengunjungi saudara jauh karena Allah ta’ala dilakukan untuk menunaikan berbagai hajat tersebut bukan dikarenakan keistimewaan tempat yang akan dikunjungi. Hal ini tentu berbeda dengan orang-orang yang rela bersafar jauh untuk mengunjungi kuburan para wali atau yang semisalnya. Motif yang melatarbelakangi perbuatan tersebut adalah keyakinan yang terpatri di dada mereka bahwa tempat yang akan dikunjungi memiliki keistimewaan dan keutamaan (Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 292). Bagi mereka yang merenungkan hal ini dengan teliti akan mampu membedakannya!

3. Uraian di atas menunjukkan kekeliruan pendapat yang menyatakan maksud larangan dalam hadits Abu Sa’id adalah larangan untuk bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga, dan kekeliruan pendapat yang membolehkan untuk bersafar ke kuburan para wali dan tempat-tempat semisal. Berbagai penjelasan akan kekeliruan tersebut telah diuraikan di atas.

Terdapat kontradiksi lain yang muncul jika larangan bersafar hanya ditujukan untuk masjid. Telah kita ketahui bahwa beribadah di masjid lebih utama ketimbang beribadah di tempat lain, misalnya seorang yang shalat di masjid tentulah lebih utama dibandingkan orang yang shalat di rumah sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

أحب البقاع إلى الله المساجد

“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjid.” (Musnad Asy Syihab nomor 1301 dan Shahihut Targhib nomor 322)

Jika larangan dalam hadits Abu Sa’id hanya mencakup larangan bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga, walaupun masjid tersebut dibangun di atas fondasi ketakwaan seperti Masjid Quba, maka pertanyaan yang patut disodorkan bagi mereka yang berpendapat demikian adalah,

* Mengapa anda justru membolehkan manusia untuk bersafar menziarahi kuburan orang shalih atau tempat-tempat semisal padahal keutamaan tempat-tempat tersebut tentulah tidak lebih utama daripada Masjid Quba dan masjid-masjid lain secara umum?
* Ketika anda berpendapat bahwa maksud larangan tersebut adalah larangan bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga, bukankah larangan tersebut lebih berhak diberlakukan kepada mereka yang bersafar ke kuburan para wali atau tempat-tempat semisal?
* Anggaplah tempat-tempat tersebut memiliki keutamaan yang ditunjukkan oleh nash syari’at, tentulah tidak melebihi keutamaan yang dimiliki masjid-masjid Allah, terlebih masjid Quba yang telah Allah puji dalam firman-Nya dan sabda rasul-Nya. Apakah dapat dinalar, jika syari’at yang bijaksana ini memberikan toleransi bagi pemeluknya untuk bersafar ke kuburan para wali atau tempat semisalnya kemudian melarang bersafar ke masjid Quba?! (Lihat Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha hal. 292, terdapat penjelasan serupa dalam Majmu’ul Fatawa 27/8)

Inilah kontradiksi lain sekaligus sebagai dalil tambahan untuk menggambarkan kekeliruan pendapat para ulama yang berpendapat bahwa maksud larangan dalam hadits Abu Sa’id adalah larangan bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga kemudian mereka membolehkan untuk bersafar ke kuburan orang shalih dan tempat-tempat semisal.

4. Hikmah keumuman larangan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu adalah untuk menutup berbagai jalan yang dapat menghantarkan umat ini ke dalam kubangan kesyirikan. Diantaranya adalah pengultusan individu sehingga menempatkannya sejajar dengan kedudukan Allah ta’ala. Bukankah termasuk tindakan pengultusan dan berlebihan, ketika seorang sengaja bepergian ke suatu tempat yang jauh karena meyakini kuburan fulan bin fulan mampu mendatangkan berkah, atau dengan anggapan beribadah di sana lebih khusyuk ketimbang di masjid Allah, atau meyakini berdoa di tempat tersebut lebih mustajab padahal tidak terdapat dalil yang membenarkan keyakinan mereka tersebut?! Atau justru lebih parah dari itu, seorang bepergian ke sana dalam rangka mengadukan dan meminta berbagai hajatnya kepada penghuni kubur tersebut?! Hal inilah yang terjadi pada umat ini sebagaimana yang dikemukakan Syaikh Waliyullah Adh Dhahawi, beliau menyatakan,

كَانَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة يَقْصِدُونَ مَوَاضِع مُعَظَّمَة بِزَعْمِهِمْ يَزُورُونَهَا وَيَتَبَرَّكُونَ بِهَا ، وَفِيهِ مِنْ التَّحْرِيف وَالْفَسَاد مَا لَا يَخْفَى ، فَسَدَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَسَاد لِئَلَّا يَلْتَحِق غَيْر الشَّعَائِر بِالشَّعَائِرِ وَلِئَلَّا يَصِير ذَرِيعَة لِعِبَادَةِ غَيْر اللَّه وَالْحَقّ عِنْدِي أَنَّ الْقَبْر وَمَحَلّ عِبَادَة وَلِيّ مِنْ أَوْلِيَاء اللَّه وَالطُّور كُلّ ذَلِكَ سَوَاء فِي النَّهْي

“Dahulu kaum musyrikin jahiliyah sering bepergian ke tempat-tempat yang dianggap keramat menurut anggapan mereka. Mereka berziarah ke sana dan bertabarruk dengan tempat-tempat tersebut. Di tempat-tempat itu terjadi berbagai bentuk pelanggaran dan kerusakan secara jelas, tidak tersembunyi. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah kerusakan yang terjadi sehingga syi’ar-syi’ar Islam tidak ternodai dan tercampuri dengan sesuatu yang asing. Tindakan beliau juga bertujuan agar kerusakan yang timbul di berbagai tempat tersebut tidak menjadi sarana yang dapat menghantarkan manusia untuk beribadah kepada selain Allah. Pendapat yang benar menurutku adalah kuburan dan berbagai tempat peribadatan para wali Allah termasuk bukit Thursina, seluruhnya tercakup dalam larangan tersebut.” (Aunul Ma’bud 6/13)

Imam Asy Syafi’i sendiri pernah menyatakan bahwa beliau tidak suka seseorang dikultuskan sehingga kuburnya pun ikut diagungkan. Beliau berkata,

وأكره ان يعظم مخلوق حتي يجعل قبره مسجدا مخافة الفتنة عليه وعلي من بعده من الناس

“Dan aku membenci seorang makhluk dikultuskan sehingga kuburnya dijadikan sebagai tempat peribadatan (masjid) karena aku khawatir fitnah menimpa dirinya dan orang-orang yang hidup setelahnya.” (Al Majmu’ 5/314)

Untuk melihat berbagai kekeliruan dan kemungkaran yang sering dilakukan peziarah kubur, silakan melihat artikel kami “Berbagai kekeliruan dalam Berziarah Kubur”, semoga Allah ta’ala memudahkan kami untuk menyelesaikannya.

Tarjih haramnya sengaja bersafar ke selain masjid yang tiga merupakan pendapat imam Malik rahimahullah dan juga ulama selain beliau seperti imam Abu Muhammad Al Juwaini, Al Qadhi Husain, Al Qadhi ‘Iyadh dan lainnya rahimahumullah . Bahkan imam Malik rahimahullah menganggap makruh penggunaan kata ziarah, seperti seorang yang bersafar ke makam nabi lalu mengatakan, “Aku menziarahi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al Mudawwanatul Kubra 2/132, dinukil dari Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur-an dan As Sunnah jilid 1 hal. 426, dengan sedikit perubahan; Lihat pula Majmu’ul Fatawa 27/245)

Ucapan imam Malik tersebut, secara implisit menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara safar ke kuburan dengan ziarah kubur secara syar’i. Sebagian orang terkadang menyamakan kedua hal tersebut tanpa meneliti secara detail.

Patut dicamkan bahwa hal ini bukan berarti melarang kaum muslimin untuk menziarahi kubur beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ziarah kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang disyari’atkan dan pelaksanaannya pun harus sesuai dengan syari’at. Diantaranya adalah tidak mengadakan safar untuk menziarahi makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri yang menjadi pokok pembicaraan kita.

Sebagian orang kurang teliti dalam membahas permasalahan ini dan menuding bahwa mereka yang berpegang dengan keumuman larangan dalam hadits tersebut dengan tuduhan yang tidak berdasar, yaitu menuduh bahwa mereka telah melarang umat Islam untuk berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tuduhan tersebut tidak berdasar karena yang terlarang adalah jika seseorang sengaja bersafar ke kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini berdasarkan keumuman larangan dalam hadits Abu Sa’id. Namun jika seorang bersafar dengan niat beribadah di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia mengunjungi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan salam kepada beliau maka hal ini disyari’atkan dan tidak terlarang sebagaimana perkataan para ulama.

Pangkal permasalahannya adalah mereka tidak mampu membedakan antara dorongan dan anjuran untuk berziarah kubur tanpa bersafar dengan bersafar ke kuburan tertentu. Perkara yang pertama dianjurkan oleh syariat dan telah ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lakukanlah ziarah kubur! Karena hal itu mengingatkan kalian kepada kematian.” (HR. Muslim kitab Al Janaaiz 7/46, dengan Syarh An Nawawi). Adapun perkara yang kedua merupakan perkara yang terlarang sebagaimana yang telah ditegaskan dalam hadits yang memuat larangan untuk melakukan safar yang jauh dan melelahkan ke suatu tempat tertentu selain tiga masjid dengan tujuan bertaqarrub (mendekatkan diri -ed), seperti wisata-wisata sejarah atau yang dikenal dengan sebutan wisata rohani pada saat ini.

Imam Al Hafizh Ibnu ‘Abdil Hadi mengatakan, “Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bersafar untuk melakukan ziarah kubur dengan berziarah kubur tanpa bersafar. Barang siapa yang keliru, menyamakan status dan hukum kedua permasalahan tersebut, mencela golongan yang membedakan keduanya serta menakut-nakuti manusia agar membenci golongan tersebut, maka (pada hakikatnya dirinyalah) yang diharamkan untuk mendapatkan taufik dan telah menyimpang dari jalan yang lurus.”(Ash Sharimul Manky hal. 27, dinukil dari Khashaishul Musthafa bainal Ghuluw wal Jafa’ hal. 161)

Khusus terkait dengan poin ini, semoga Allah memberi kemampuan bagi penulis untuk menyusun sebuah uraian dalam rangka membantah tuduhan sebagian kalangan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang turut memegang keumuman larangan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu. Tuduhan yang mereka lancarkan hanyalah didasari kedengkian dan diwarnai kedustaan sekaligus menunjukkan ketidakmampuan untuk membedakan antara berziarah kubur tanpa melakukan safar dengan bersafar untuk berziarah kubur.

Demikianlah uraian yang kami ketengahkan berikut pendapat yang benar dalam permasalahan ini. Semoga Allah memberikan manfaat bagi penulis dan mereka yang menelaah tulisan ini. Semoga Allah menjadikan amalan ini ikhlas untuk mengharap Wajah-Nya dan memberikan pahala kepada berbagai pihak yang telah membantu.

والله أعلم, وصلى الله على نبينا محمد وآله وسلم. و الحمد لله رب العالمين.

Segala puji bagi Allah. Selesai disusun pada bulan Dzulhijjah 1428 H

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

No comments: