Tuesday, March 16, 2010

Contoh Loyalitas pada Orang Kafir


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Para pengunjung setia muslim.or.id, berikut adalah lanjutan penjelasan mengenai al wala’ wal baro’, tulisan dari al Ustadz Abdullah Taslim, MA (sedang menempuh S3 di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia). Tulisan kali ini akan mengulas beberapa contoh loyalitas dengan orang kafir. Kami harapkan pembaca juga dapat membaca tulisan di sini yang berisi penjelasan manakah interaksi yang dibolehkan dengan non muslim. Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat.

***

1- Menyerupai mereka dalam berpakaian, berbicara dan lain-lain.

Karena menyerupai mereka dalam hal-hal tersebut menunjukkan kecintaan kepada mereka.

Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka“[1].

Maka diharamkan menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang merupakan kekhususan mereka (yang membedakan mereka dengan orang-orang muslim), berupa adat-istiadat, peribadatan, penampilan dan tingkah laku mereka, seperti mencukur jenggot dan memanjangkan kumis, berbicara dengan bahasa mereka tanpa ada keperluan, model pakaian, tata cara makan, minum dan sebagainya.

2- Bermukim di negeri mereka dan tidak mau pindah (hijrah) ke negeri kaum muslimin untuk keselamatan/kebaikan agama.

Hijrah dalam arti dan untuk tujuan ini wajib bagi seorang muslim, karena bermukim di negeri orang-orang kafir menunjukkan loyalitas kepada mereka.

Oleh karena itulah, Allah mengharamkan bagi seorang muslim untuk tinggal di lingkungan orang-orang kafir kalau dia mampu untuk berhijrah (ke negeri kaum muslimin). Allah Ta’ala berfirman,

{إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا، إلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلاً، فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا}

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisaa’:97-99).

(Dalam ayat ini) Allah tidak memberi uzur untuk bermukim di negeri orang-orang kafir kecuali bagi orang-orang lemah yang tidak mampu berhijrah. Demikian pula orang-orang yang bermukim (di negeri orang-orang kafir) untuk kemaslahatan agama, seperti berdakwah (menyeru manusia) ke jalan Allah dan menyiarkan agama Islam di negeri mereka.

3- Bepergian (berkunjung) ke negeri mereka dengan tujuan rekreasi dan bersenang-senang.

Bepergian ke negeri orang-orang kafir haram (hukumnya) kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti berobat, berdagang, dan mempelajari bidang-bidang (ilmu) tertentu yang bermanfaat (bagi kaum muslimin), yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan bepergian ke (negeri) mereka. Maka ini diperbolehkan sesuai dengan kebutuhan (secukupnya), dan jika telah selesai kebutuhannya wajib (untuk segera) kembali ke negeri kaum muslimin.

Bolehnya bepergian (ke negeri mereka) ini dengan syarat seorang muslim (wajib) menampakkan dan merasa bangga dengan keislamannya, serta menjauhi tempat-tempat yang buruk, dalam rangka mewaspadai tipu daya mereka. Demikian pula bepergian (ke negeri mereka) diperbolehkan atau (bahkan) diwajibkan jika tujuannya untuk berdakwah ke jalan Allah dan menyiarkan agama Islam.

4- Menolong dan membantu mereka (untuk melawan) kaum muslimin, serta memuji dan membela mereka.

Ini termasuk pembatal keislaman dan sebab (yang menjadikan seseorang) murtad (keluar dari Islam), kita berlindung kepada Allah dari semua itu.

5- Meminta tolong, memberikan kepercayaan dan menempatkan mereka pada jabatan-jabatan yang padanya ada rahasia-rahasia kaum muslimin, serta menjadikan mereka sebagai orang kepercayaan dan penasehat.

Allah Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ، هَا أَنْتُمْ أُولاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الأنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُور، إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ}

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang selain kaum muslimin, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu mencintai mereka, padahal mereka tidak mencintai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan” (QS Ali ‘Imran:118-120).

6- Menggunakan penanggalan (kalender) mereka, khusunya penanggalan yang mencantumkan upacara-upacara agama dan perayaan-perayaan mereka, seperti penanggalan masehi.

Penanggalan masehi dibuat untuk mengingat kelahiran nabi Isa al-Masih ‘alaihis salam (menurut persangkaan mereka), yang ini mereka ada-adakan sendiri dan bukan berasal dari ajaran nabi Isa ‘alaihis salam. Maka menggunakan penanggalan ini berarti ikut serta dalam menghidupkan syi’ar agama dan hari raya mereka.

Maka untuk menghindari semua inilah, ketika para sahabat radhiyallahu ‘anhum ingin membuat penanggalan untuk kaum muslimin, di jaman khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, mereka tidak mau menggunakan penanggalan-penanggalan orang-orang kafir, tetapi mereka membuat penanggalan berdasarkan (waktu) hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (penanggalan hijriah), yang ini menunjukkan wajibnya membedakan diri dengan orang-oang kafir dalam hal-hal yang merupakan kekhususan mereka.

7- Ikut berpartisipasi dalam perayaan-perayaan (keagamaan) mereka, atau membantu mereka dalam pelaksanaannya, atau menyampaikan ucapan selamat dalam rangka perayaan tersebut, atau mendatanginya.

Sebagian ulama ahlus sunnah ada yang menafsirkan firman Allah Ta’ala,

{والَّذِيْنَ لا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ}

“Dan orang-orang yang tidak menghadiri (hal-hal yang bersifat) kedustaan/perayaan-perayaan orang-orang kafir” (QS al-Furqan:72).

Artinya: termasuk sifat hamba-hamba Allah (yang bertakwa) adalah mereka tidak menghadiri perayaan-perayaan orang-orang kafir.

8- Memuji dan menyanjung peradaban dan kemajuan (tekhnologi) mereka, serta mengagumi tingkah laku dan kemajuan ilmu pengetahuan mereka, tanpa memandang agama dan keyakinan mereka yang rusak.

Allah Ta’ala berfirman,

{وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى}

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal” (QS Thaaha:131).

Akan tetapi, ini bukan berarti kaum muslimin tidak diperbolehkan mengusahakan sebab-sebab kekuatan (kemajuan) dengan mempelajari (tekhnologi di bidang) industri dan penunjang (bidang) ekonomi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, serta strategi ketentaraan, bahkan ini semua harus diusahakan (oleh kaum muslimin).

Bahkan (pada hakikatnya) semua kemanfaatan dan kebaikan yang tersimpan di alam semesta ini asalnya adalah untuk kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,

{قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ}

“Katakanlah:”Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik”. Katakanlah:”Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” (QS al-A’raaf:32).

9- Menggunakan nama-nama mereka.

Kita dapati sebagian kaum muslimin memberi nama putra-putri mereka dengan nama-nama asing (barat/kafir) dan meninggalkan nama-nama yang telah dikenal di (kalangan) masyarakatnya (masyarakat muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Nama yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah Abdullah dan Abdurrahman“[2].

10. Memintakan ampun dan memohon rahmat (Allah) untuk mereka.

Allah telah mengharamkan perbuatan ini dalam firman-Nya,

{مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ}

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam” (QS at-Taubah:113).

Karena perbuatan ini menunjukkan kecintaan kepada mereka dan membenarkan apa yang ada pada mereka.

Catatan penting

Perlu dicamkan di sini, bahwa sikap al-wala’ dan al-bara’ terhadap orang-orang kafir ini tidak kemudian menjadikan kita berbuat melampaui batas dan menzhalimi mereka, dengan melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam syariat, seperti membunuh/menganiaya orang yang tidak bersalah di antara mereka, mengambil harta mereka tanpa alasan yang benar, dan sebagainya.

Allah Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,

{لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik (dalam urusan dunia) dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS al-Mumtahanah:8).

Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Makna ayat ini: orang-orang kafir yang tidak mengganggu dan memerangi kaum muslimin, serta tidak mengusir kaum muslimin dari negeri mereka, maka kaum muslimin membalas (kebaikan mereka) itu dengan balasan yang sesuai, (yaitu) dengan berbuat baik dan adil dalam urusan dunia, akan tetapi dalam hati kaum muslimin tidak boleh mencintai mereka. Karena (dalam ayat ini) Allah membolehkan berbuat baik (dalam urusan dunia) dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) tersebut”, dan Dia tidak mengatakan (bolehnya) mencintai dan bersikap loyal kepada mereka.

Semakna dengan ini, firman Allah Ta’ala tentang kedua orang tua yang kafir:

{وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ}

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (QS Luqmaan:15).

Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asma radhiyallahu ‘anha ketika ibunya yang kafir datang kepadanya, “Sambunglah (hubungan kekeluargaan) dengan ibumu“[3].

Maka menyambung hubungan keluarga dan balasan (kebaikan) duniawi tidak sama dengan mencintai dan bersikap loyal.

Karena menyambung hubung keluarga dan pergaulan yang baik merupakan daya tarik bagi orang-orang kafir untuk masuk Islam, maka ini termasuk cara untuk mendakwahi mereka. Berbeda dengan sikap loyal dan cinta yang menunjukkan pembenaran dan keridhaan terhadap perbuatan mereka, yang ini justru merupakan sebab untuk tidak mendakwahi/mengajak mereka untuk masuk Islam.

Demikian pula keharaman bersikap loyal kepada orang-orang kafir tidak berarti diharamkannya menjalin hubungan dengan mereka dalam urusan perdagangan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, import barang-barang dan hasil industri (mereka) yang bermanfaat, serta mengambil manfaat dari pengalaman dan penemuan-penemuan mereka.

Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyewa Ibnu Uraiqith al-Laitsi sebagai penunjuk jalan, padahal dia orang kafir. Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berhutang kepada seorang (yang beragama) yahudi.

Dari dulu sampai sekarang kaum muslimin mengimport barang-barang dan hasil idustri dari orang-orang kafir. Kita membeli barang-barang tersebut dari mereka dengan membayar harganya, sehingga sama sekali tidak ada jasa dan kebaikan mereka untuk kita (dalam masalah ini)[4].

Syaikh Abdul Muhsin al-Qasim[5] ketika menjelaskan masalah ini, beliau berkata, “Meskipun (kita wajib) membenci dan memusuhi mereka, serta berlepas diri dari sembahan-sembahan mereka (selain Allah), akan tetapi (agama) Islam mengharamkan (umatnya) membunuh orang kafir yang terjaga (jiwanya), yaitu orang kafir dzimmi[6], mu’aahad[7], dan musta’man[8], dan Islam melarang (kita) merampas harta, menganiaya, atau melampaui batas terhadap mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh (orang kafir) mu’aahad maka dia tidak akan mencium wanginya surga, padahal wanginya bisa tercium dari jarak empat puluh tahun perjalanan“[9].

Bahkan meskipun membenci mereka, kita wajib mendakwahi mereka ke (jalan) Allah dengan hikmah dan ilmu, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang musyrik.

Agama Islam adalah (agama) yang moderat dalam meyakini sikap al-wala’ dan al-bara’. Islam tidak mengajarkan sikap ekstrim dalam masalah ini dengan membunuh orang-orang kafir yang terjaga (jiwanya). (Sebagaimana Islam juga tidak mengajarkan) sikap terlalu longgar dalam masalah ini dengan bersikap loyal yang diharamkan, atau at-tawalli (kecintaan kepada orang-orang kafir) yang menyebabkan pelakunya keluar/murtad dari agama Islam.

Wajib bagi setiap muslim untuk bersikap adil (moderat) dalam menerapkan ibadah yang agung ini, dan menjauhi sikap ekstrim dan longgar (dalam masalah ini). Hendaknya kita menrapkan semua ini berdasarkan ilmu dan petunjuk dalam syariat Islam (al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)[10].

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, dan semoga Allah menjadikan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang Allah teguhkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, serta menempatkan mereka di dalam surga-Nya, Amin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين


Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 23 Ramadhan 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA

Artikel www.muslim.or.id


--------------------------------------------------------------------------------
[1] HR Abu Dawud (no. 4031) dan Ahmad (2/50), dihasankan oleh syaikh al-Albani.

[2] HR Abu Dawud (no. 4949), Ibnu Majah (no. 3728) dll, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[3] HSR al-Bukhari (no. 2477) dan Muslim (no. 1003).

[4] Kitab “al-Wala’ wal bara’” (hal. 12-13) dengan sedikit penyesuaian.

[5] Beliau adalah salah seorang imam dan khatib Mesjid Nabawi di Madinah saat ini.

[6] Yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dengan keharusan membayar jizyah (upeti) kepada pemerintah kaum muslimin dan menjalankan hukum-hukum Islam.

[7] Yaitu orang kafir yang mempunyai ikatan perjanjian (damai) dengan kaum muslimin.

[8] Yaitu orang kafir dari negeri yang diperangi (kaum muslimin), tapi dia masuk ke negeri kaum muslimin dengan (jaminan) keamanan (perlindungan).

[9] HSR al-Bukhari (no. 3166).

[10] Kitab “Taisiirul wushul” (hal. 39-40) dengan sedikit penyesuaian.

No comments: