Friday, September 18, 2009

mencintai sesama muslim termasuk kesempurnaan iman (2)

Lanjutan adab ttng Akhlaq : Tempatnya iman adalah hati, lisan dan anggota tubuh. Sehingga iman itu dengan hati, lisan dan anggota tubuh, bermakna perkataan lisan dinamakan iman dan amalan anggota tubuh dinamakan iman. Ini semua dengan dalil firman Allah Ta’ala : وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ “ Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.. ” (QS. Al B aq a r a h:143) Para ahli tafsir menyatakan : “Yang dimaksud ’imanmu’ adalah shalatmu menghadap baitul maqdis”. Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam : الإِمَانُ بِضْعُ وَ سَبْعُوْنَ شُعْبَةً فَأَعْلاَهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَ أَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَ الحَيَاءُ “Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang, yang tertinggi adalah kalimat la ilaha illa Allah dan terrenda adalah membuang pengganggu dari jalanan dan malu termasuk cabang dari iman” [2] Tertinggi adalah pernyataan l a ilaha illa Allah , dan ini adalah pernyataan lisan dan terendah adalah membuang pengganggu dari jalanan juga adalah amalan anggota tubuh, serta rasa malu termasuk amalan hati. Adapun pendapat yang menyatakan iman tempatnya hanya diahati saja dan orang yang membenarkan (Islam) , maka telah mukmin, ini adalah pendapat yang salah dan tidak benar. حَتَّى يُحِبَّ Kata ( حَتَّى ) bermakna ‘sampai’, berarti maknanya ‘ sampai mencintai untuk saudaranya’. Kata cinta tidak perlu dijelaskan dan penjelasannya hanya menimbulkan masalah dan ketidak-jelasan. Cinta ya cinta tidak ada kata yang lebih jelas menafsirkannya dari itu. لأَخِيْهِ Bermakna ‘saudara sesama mukmin’ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه Bermakna sesuatu yang ia cintai untuk dirinya dari kebaikan, keselamatan dan pembelaan kehormatan serta yang lainnya. Makna ini juga ada dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَمِ النَّارِ وَ يُدْخّلُ الجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِالله ةَ اليّوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ مَا يُحِبُّ أَنْ يُؤْتى إِلَيْهِ “ Siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan syurga, maka hendaklah meninggal dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan memberikan orang lain seperti ia senang mendapatkannya “ [3] Yang terpenting dalam hadits disini adalah: Sabda beliau: وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ مَا يُحِبُّ أَنْ يُؤْتى إِلَيْهِ “ memberikan orang lain seperti ia senang mendapatkannya ” Faedah Hadits Dapat diambil beberapa faedah dari hadits ini, diantaranya: 1 . Boleh menafikan sesuatu karena tidak sempurna, dengan dalil sabda Rasulullah : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ dan sejenis ini adalah sabda beliau: والله لا يؤمن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل ومن يا رسول الله قال الذي لا يأمن جاره بوايقه “ Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman, Demi Allah tidak beriman. Para sahabat bertanya: “Siapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Seorang yang tetangganya tidak aman dari kejahilannya ( gangguannya) ” [4] Diantara contoh lain pada kebolehan menafikan sesuatu dengan tidak sempurnanya sesuatu itu adalah sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam : لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ “Tidak ada shalat jika makanan telah dihidangkan” Bermakna tidak ada shalat yang sempurna, karena hati orang yang shalat akan sibuk dengan makanan yang telah dihidangkan dan contoh lainnya banyak. 1 . Kewajiban seseorang mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cinta untuk dirinya, karena penafian iman dari orang yang tidak mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cinta untuk dirinya (dalam hadits) menunjukkan kewajiban tersebut, sebab tidak dinafikan iman kecuali karena hilangnya kewajiban iman atau adanya hal yang bertentangan dengannya. 2 . Peringatan dari sikap hasad, karena orang yang hasad tidak mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cinta untuk dirinya, bahkan ia mengharap hilangnya nikmat Allah dari saudaranya seislam. Para ulama berselisih dalam tafsir hasad, sebagian mereka mendefinisikan hasad adalah mengharap hilangnya kenikamtan dariorang lain. Sebagian ulama yang lain menyatakan, hasad adalah ketidak sukaan terhadap nikmat Allah atas orang lain. Ini lah yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika berkata: “Jika seorang hamba membenci kenikmatan yang Allah berikan kepada orang lain maka ia telah hasad kepadanya walaupun tidak sampai mengharap hilangnya nikmat tersebut”. 3 . Hendaklah menyampaikan perkataan yang berisi ajakan beramal, karena itu termasuk kefasihan. Yang menjadi dalil dari hadits adalah sabda Rasulullah Shallallahu’ alaihi Wasallam : لأَخِيْه karena hal ini menunjukkan lemah lembut, kasih dan sayang. Contoh serupa ada pada firman Allah tentang ayat qishash: فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ “ Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik ” (QS. Al Baqarah : 178) Padahal ia yang membunuh untuk menampakan kelembutan dan kasih sayang kepada al mukhathab ( yang ditujukan pembicaraan (edt)). Jika ada yang menyatakan: masalah ini susah, bermakna bahwa mencintai untuk saudara sesuatu yang kamu cintai untuk dirimu dengan pengertian, senang saudara kamu menjadi alim, menjadi kaya, menjadi orang yang banyak harta dan anaknya dan menjadi seorang yang istiqomah adalah perkara yang susah. Jawabnya, ini tidak susah jika kamu telah membiasakan jiwa kamu berbuat demikian, latihlah jiwamu untuk demikian, niscaya akan mudah. Namun jika kamu mentaati jiwa kami dalam hawa nafsunya maka benar hal itu akan menjadi berat. Jika seorang murid bertanya: apah termasuk dalam hal ini saya mencontekkan kepada teman saya dalam ujian, karena saya senang lulus ujian sehingga saya memberikan contekan kepadanya agar ia lulus ujian juga? Jawabnya, tidak. Karena itu adalah penipuan, ia sebenarnya adalah mengganggu saudaramu dan bukan perbuatan baik padanya, katrena kamu telah membiasakan ia berkhianat sehingga ia menjadi biasa dan karena kamu telah membohonginya dimana ia akan mendapatkan ijazah yang ia tidak pantas menyandangnya. Wallahu al Muwaffiq . [Diterjemahkan oleh Ustadz Khalid Syamhudi, Lc. dengan perubahan susunan dari tulisan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin di kitab Syarah Al Arba’in Al Nawawiyah , cetakan pertama tahun 1424 H, Dar Al Tsurayaa, Riyadh, KSA hal 160-164 ] Artikel UstadzKholid.Com [1] HR Ak Bukhari dalam shahih-nya, kitab Al Wudhu’ , Bab Wadh’u Al Ma’ Inda Al Khola’ no. 143. [2] HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Iman, bab Bayaan ‘Adad Syu’abi Al Iman wa Afdholuha wa Adnaha Wa Fadhilah Al Haya wa Kaunihi Min Al Iman no. 35. [3] HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Imarah, Bab Wujub al Wafa’ bi bai’ati Al Khulafai al waal fal awal no. 1844. [4] HR Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab al Adab, Bab Al Itsmu man la Ya’man Jarao Bawaaiqahu no, 6-16.

No comments: