Monday, September 21, 2009

Pembagian Tauhid Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah (5)


Tentang masalah sifat-sfat Allah, Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah mengimaninya tanpa merubah (tahrif), mengingkari (ta’thil), menanyakan bagaimana (takyif), dan tidak pula menyerupakan (tasybih) dengan sifat makhluk-Nya.

Tanpa tahrif (merubah) artinya tdak merubah makna yang terkandung dalam sifat tersebut. Seperti perkataan Jahmiyyah tentang sifat istiwaa’ (bersemayam), mereka rubah menjadi istaulaa’ (menguasai). Juga perkataan sebagian ahlul-bid’ah tentang makna al-ghadlab (marah) diartikan dengan iradatul-intiqaam (kehendak untuk menyiksa); dan makna ar-rahmah dirubah menjadi iradatul-in’am (kehendak untuk memberi nikmat). Semuanya ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa makna istiwaa’ bagi Allah adalah bahwa Allah mempunyai sifat ketinggian dan berada dalam ketinggian yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Begitu pula dengan al-ghadlab dan ar-rahmah, adalah sifat bagi Allah secara hakekat sesuai dengan kemuliaan Allah dan keagungan-Nya.

Tanpa ta’thil (menolak) adalah tidak mengingkari sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pengingkaran atas hal ini adalah seperti yang dilakukan oleh Jahmiyyah dan semisalnya. Perbuatan mereka merupakan puncak kebatilan. Padahal dalam Al-Qur’an dan As-Sunah banyak sekali diterangkan sifat-sifat Allah yang sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.

Tanpa tasybih (menyerupakan) adalah tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Untuk itu kita tidak boleh mengatakan bahwa sifat Allah itu adalah seperti sifat kita. Hal itu dikarenakan Allah sudah menyatakan tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatupun.

Adapun makna tanpa takyif (menanyakan bagaimananya) adalah tidak menanyakan bagaimana hakekatnya. Seperti menanyakan bagaimana istiwaa’-nya Allah? Atau menanyakan bagaimana wajah dan tangan Allah? Yang seharusnya kita lakukan adalah kita beriman akan keberadaan sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an maupun As-Sunnah sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menanyakan bagaimana hakekat sifat itu, karena Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengkhabarkan bagaimana hakekat sifat tersebut.

Pedoman yang harus dipegang oleh setiap muslim adalah :

1. Semua sifat Allah adalah sifat yang paling sempurna, tidak memiliki kekurangan sama sekali dari segi apapun.

2. Sifat Allah dibagi menjadi dua :

Sifat tsubutiyyah, yaitu sifat yang ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya dalam Al-Qur’an atau melalui lisan Rasul-Nya. Semuanya adalah sifat yang sempurna, tidak ada unsur kekurangan sama sekali.

Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang di-nafi-kan (ditiadakan) oleh Allah untuk diri-Nya, baik peniadaan tersebut termuat dalam Al-Qur’an mapun As-Sunnah. Semuanya yang di-nafi-kan tersebut berupa sifat-sifat kekurangan seperti sifat mati, bodoh, lemah, dan lain-lain. Untuk itu wajib bagi kaum muslimin untuk meniadakan sifat-sifat tersebut dari Allah subhaanahu wa ta’ala dan menetapkan sifat kesempurnaan lawan sifat tersebut.

3. Semua sifat Allah harus berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada tempat bagi akal untuk menentukannya. 


Dari dalil-dalil pada pembagian di atas dapat diketahui oleh siapa saja tentang kebenaran pembagian tauhid menjadi tiga, yaitu :

- Tauhid Rububiyyah.
- Tauhid Uluhiyyah.
- Tauhid Asmaa’ wa Shifat.

Orang yang mengingkari pembagian tauhid ini adalah orang yang mengingkari sesuatu tanpa ilmu dan berbicara atas nama Allah tanpa didasari ilmu. Karena orang yang mempunyai ilmu sedikit saja dari kalangan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dimana saja ia berada dan kapan saja, mesti akan mengetahui kebenaran pembagian tersebut. Seseorang tidak dikatakan beriman kalai ia tidak mengimani tiga macam tauhid di atas. Barangsiapa mengimani tauhid rububiyyah saja, maka ia belum dikatakan mukmin. Demikian juga kalau dia hanya mengimani tauhid uluhiyyah atau tauhid asmaa’ wa shifaat saja. Jadi, seseorang dikatakan mukmin kalau dia mengimani ketiga macam tauhid di atas.

Wallaahu a’lam bish-shawwab.


Diketik ulang oleh Abul-Jauzaa’ dari tulisan Zainul Arifin bin An-Nawawi yang termuat dalam Majalah Salafy edisi lama (XIII/Sya’ban-Ramadlan 1417-1997) halaman 37-41 – dengan sedikit perubahan dan penambahan.


http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/10/pembagian-tauhid-menurut-ahlus-sunnah.html

No comments: