Friday, September 18, 2009

mencintai sesama muslim termasuk kesempurnaan iman (1)

Adab tentang akhlaq : عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ خَادِمِ رَسُوْل الله عَنْ النَّبِي قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا “ Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam beliau bersabda: Tidaklah seorang dari kalian sempurna imannya sampai mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya ” Takhrij Hadits ini dikeluarkan oleh Iman Al Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Iman , bab Min Al Iman An Yuhibba Li akhihi ma yuhibbu linafsihi , hadits no. 13. juga Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman , Bab Al Dalil ‘ Ala Ana Min Khishal Al Iman An Yuhibba Liakhihi al muslim ma yuhibbu linafsihi min Al khoir , hadits no. 45. Penjelasan hadits لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ bermakna ‘tidak sempurna iman salah seorang’, karena penafian disini untuk menafikan kesempurnaan bukan menafikan pokok iman. Jika ada yang bertanya: “Apa dalil kamu tentang ta’wil ini, yang merupakan pemalingan kalam dari makna zhahirnya?” Jawabnya: “Dalil kami yang menunjukkan hal ini adalah amalan tersebut tidak mengeluarkan manusia dari iman dan tidak dianggap telah murtad, itu hanya nasehat, sehingga penafiannya disini hanya menafikan kesempurnaan iman”. Jika ada yang menyanggah: “Bukankah kalian mengingkari ta’wil -nya ahli ta’wil ?” Jawabnya: “Kami tidak mengingkari ta’wil -nya ahli ta’wil , akan tetapi mengingkari ta’wil mereka yang tidak didasari dalil, karena jika ta’wil tidak didasari dalil maka dinamakan tahrif (penyimpangan) dan bukan ta’wil. Sedangkan ta’ wil yang berdasarkan dalil maka ia dianggap sebagai bagian dari tafsir kalam (perkataan), sebagaimana sabda Rasulullah dalam mendoakan Abdullah bin Abas : اللهمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَ عَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ “ Ya Allah faqihkanlah ia dalam agama dan ajarilah ia ta’ wil ” [1] Jika ada yang bertanya: dalam firman Allah : فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْءَانَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ “ Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk ” (QS. Al Nahl :98) Jika ‘apabila kamu membaca Al Qur’an’ disini dimaknai ‘ Jika kamu hendak membaca Al Qur’an’, apakah ini termasuk ta’wil yang tercela atau ta’wil yang benar? Jawabnya, ini ta’wil yang benar, karena ditunjukkan oleh dalil yaitu perbuatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam karena beliau ber- ta’awwudz ketika akan membaca dan tidak diakhir bacaan apa-apa. Jika ada yang bertanya: “Dalam firman Allah : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu ” (QS. Al Maidah:6) Bahwa yang dimaksud adalah ‘jika kalian hendak melaksanakan shalat’, apakah ini termasuk ta’wil yang tercela datau yang benar? Jawabnya, ini ta’wil yang benar. Oleh karena itu kita tidak mengingkari semua ta’ wil , namun hanya mengingkari ta’wil yang tidak didasari dalil dan kita namakan tahrif . لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ Iman secara etimologi bahasa Arab bermakna iqrar yang mengharuskan penerimaan dan ketundukan, inilah definisi yang sesuai dengan syari’at. Ada yang mendefinisikannya dengan Tashdiq . Definisi ini lemah, karena perkataan: ( آمَنْتُ بِكَذَا ) dan ( صَدَّقْتُ فُلاَنًا ) dan tidak dikatakan: ( آمَنْتُ فُلاَنًا ). Ada juga yang menyatakan: iman menurut bahasa Arab adalah iqrar . Yang berpendapat demikian berdalil dengan perkataan ( آمَنَ به وَ أَقَرَّ بِهِ ) dan tidak dikatakan: ( آمَنَهَ ) bermakna ( صَدَّقَهُ ). Ketika dua kata kerja ini tidak dapat sama dalam transitif dan intransitifnya, maka diketahui bahwa keduanya tidak bermakna satu. Sehingga iman menurut bahasa yang sebenarnya adalah iqrar hati terhadap apa yang disampaikan dan bukan tashdiq. Terkadang iman juga bermakna tashdiq dengan indikator tertentu, seperti firman Allah : “ Maka Luth membenarkan (kenabian)nya.. ” (QS. Al Ankabut:26) Menurut satu pendapat ulama dengan ada kemungkinan dikatakan : ( فَئَامَنَ لَهُ لُوطٌ ) bermakna tunduk patuh kepadanya -yaitu Ibrahim- dan membenarkan dakwahnya. Adapun makna iman menurut syari’at maka ia sama dengan definisinya menurut bahasa. Sehingga siapa yang mengakui tanpa menerima dan tunduk maka belum mukmin. Berdasarkan hal ini maka orang yahudi dan nashroni sekarang ini bukan mukmin, karena mereka tidak menerima dan tunduk kepada agama islam. Abu Thalib dulu juga mengakui kenabian Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan menyampaikan hal itu dalam pernyataannya: Sungguh mereka mengetahui bahwa anak kita ini tidak didustai Dalam diri kita dan tidak juga mengucapkan perkataan batil. Dan menyatakan juga: Sungguh aku mengetahui agama Muhammad Termasuk agama manusia yang terbaik Seandainya bukan karena celaan dan khawatir dimaki Sungguh kamu melihatku menerima dengan baik agama itu Ini pengakuan yang jelas dan pembelaan terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam . walaupun demikian ia bukanlah seorang mukmin, karena tidak menerima dan tunduk, ia belum menerima dan tunduk kepada dakwah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam , sehingga mati dalam keadaan kafir.

No comments: